PERISTIWA 27 JULI, RIWAYATMU KINI?

Pada hari Selasa, 27 Juli 2010, kita kembali diingatkan pada sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi empat belas tahun lalu. Sebuah catatan sejarah yang sulit untuk dilupakan, namun sakit jika terlintas dalam ingatan, khususnya bagi mereka yang menjadi korban. Mungkinkah kebenaran peristiwa ini terungkap?

Sebagai sebuah awalan, saya hendak menyegarkan kembali ingatan kita tentang tragedi ini. Sejauh ini, banyak pihak menyebut kasus 27 Juli 1996 dengan istilah tragedi atau peristiwa atau bahkan pelanggaran HAM berat, namun apapun itu, terpenting bagi kita adalah terus mengingatkan publik terhadap kebenaran sejarah yang masih tersembunyi dan keadilan yang masih menggantung. Ironisnya keadilan seakan sulit dihadirkan di negeri ini. Sepertinya pemerintahan transisi demokrasi kesulitan menghadirkan keadilan bagi warisan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia.

Reproduksi Ingatan
Dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah peristiwa untuk mendaur ulang ingatan kita yang sudah lewat empat belas tahun lamanya. Publik, selama ini lebih mengenal peristiwa ini dengan nama Kudatuli (Kudeta Dua Puluh Tujuh Juli), sebuah peristiwa yang belum jelas maknanya hingga kini, apakah penyerangan, kudeta. Bahkan, sejarah versi orde baru menuliskan bahwa peristiwa ini adalah pengambilalihan kantor oleh penguruh PDI yang sah terhadap pengurus pimpinan Megawati yang dinyatakan tidak sah.

Namun apapun itu, gedung di Jalan Diponegoro Nomor 58 Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu bagi peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di tempat itu. Gedung yang saat ini nampak kurang terawat tersebut, seolah masih menyimpan rapat-rapat kebenaran sejarah empat belas tahun lalu.
Terlepas dari fakta tersebut, sejarah mencatat bahwa pengambilalihan kantor DPP PDI tersebut terjadi setelah Kongres Luar Biasa (KLB) yang dihelat di Surabaya, dari tanggal 2-6 Desember 1993 dengan keputusan akhir mengukuhkan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum DPP PDI.

Kemelut sejarah mulai menyalak, sesaat setelah hasil KLB di Surabaya diumumkan, perdebatan demi perdebatan terjadi, hingga puncaknya pada tanggal 27 Juli 1996 massa PDI kubu Soerjadi dengan â??leluasaâ? menyerang massa kubu Megawati Soekarno Putri yang berada di dalam gedung tanpa hadangan dan upaya serius dari aparat keamanan (TNI/ POLRI) untuk mencegah pecahnya bentrokan.

Akibat peristiwa tersebut, banyak jatuh korban dan kerugian, namun kasus ini baru terangkat ke permukaan setelah reformasi 1998. Pada bulan Agustus tahun 2003, Komnas HAM memasukkan peristiwa 27 Juli ke dalam kajian terhadap kejahatan Soeharto dalam kesimpulannya kasus ini dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat dan direkomendasikan pembentukan tim penyelidik pro justisia.

Versi temuan Komnas HAM menyebutkan, akibat penyerangan oleh massa kubu Soerjadi dan pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan, khususnya yang sedang bertugas saat itu, mengakibatkan sekitar lima orang meninggal, masing-masing atas nama Asmayadi Soleh, Suganda Siagian, Slamet, Uju Bin Asep dan Sariwan. Selain itu, Komnas HAM juga mencatat 11 orang meninggal di RS Pusat Angkatan Darat, kemudian 149 orang luka-luka dan 124 orang ditahan secara paksa.

Terakhir, dalam laporan pemantauan dan pengkajian, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kasus ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, namun tidak nampak upaya lanjutan dari rekomendasi tersebut.

Menjala Kakap, Dapat Teri
Tujuh tahun berselang, tepatnya pasca reformasi, sepanjang 2002-2003 pemerintah menggelar pengadilan Koneksitas untuk kasus 27 Juli. Namun pengadilan ini hanya menghadirkan para terdakwa yang bertanggungjawab di tingkat lapangan.

Mereka yang dihadapkan ke pengadilan koneksitas antara lain, Kolonel CZI Purn Budi purnama, pada saat peristiwa sebagai Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya. Kemudian Kapten INF Suharto selaku Danki C Detasemen. Lalu dari kalangan sipil yang dihadirkan di antaranya Muhammad Tanjung dan Rahimmi Ilyas alias Buyung yang bekerja sebagai buruh perusahaan swasta serta Yonathan Marpaung yang berprofesi wiraswasta.

Walhasil, pengadilan ini tidak mampu menghadirkan rasa keadilan bagi korban. Para terdakwa ataupun saksi yang dihadirkan belum merepresentasi pemegang orotitas pemerintahan baik sipil maupun militer yang bertanggungjawab secara administrasi dan keamanan dalam pemerintahan, ketika peristiwa 27 Juli meletus.

Sekedar menyegarkan ingatan, bahwa mereka yang memegang tanggungjawab keamanan di Ibu Kota pada saat itu adalah Letjen TNI Sutiyoso selaku Pangdam Jaya, Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, selaku Kepala BIA, Letjen TNI Syarwan Hamid selaku Kepala Staf bidang Sosial Politik ABRI dan Jenderal (Purn) Soesilo Bambang Yudhoyono selaku mantan Kasdam Jaya.

Jalan Liku Meretas Harapan
Setelah peristiwa tersebut, kubu Megawati Soekarno Putri kemudian mendeklarasikan PDI Perjuangan dan partai ini kemudian memenangi Pemilu legislatif pada tahun 1999 hingga mengantarkan Megawati menjadi wakil Presiden mendampingi KH Abdurrahman Wahid (Gusdur).

Seiring menguatnya posisi PDIP dan Megawati, harapan keluarga korban dan masyarakat juga turut menguat atas penyelesaian peristiwa 27 Juli. Puncaknya ketika Megawati Soekarno Putri menggantikan Gusdur menjadi Presiden RI ke -5. Namun harapan tersebut tak kunjung menjadi kenyataan, sepanjang Megawati dan PDIP berkuasa, praktis belum menunjukan indikasi serius bahwa kasus ini akan dibuka, meski hasil kajian dan pemantauan Komnas HAM menyebutkan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat.

Pun demikian kondisinya, pasca Megawati lengser dan digantikan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI ke-6, praktis tidak nampak geliat serius untuk membuka kembali kasus ini. Memang tidak menutup mata bahwa sejauh ini muncul riak-riak kecil untuk menuntut penyelesaian kasus ini, namun tidak bertahan lama karena suaranya hanya sayup-sayup terdengar di tengah hiruk-pikuk isu politik yang terus muncul dan mendera negeri ini.

Justru nampak sebaliknya, mereka yang menjadi korban dalam peristiwa ini menjadi balada kaum yang terpinggirkan karena tidak mendapat tempat dalam sejarah yang masih dituliskan oleh penguasa. Peristiwa 27 Juli akhirnya hanya menggenapi katalog hitam catatan kemanusiaan di negeri ini, tak lebih dari itu.

Empat belas tahun, tentu bukanlah waktu yang pendek bagi mereka yang jadi korban untuk terus menunggu. Empat belas tahun juga bukanlah waktu yang direncanakan oleh mereka yang jadi korban untuk terus mengingat. Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan menekankan bahwa kejahatan kemanusiaan di masa lalu tidak bisa dikubur dan dilupakan begitu saja, jika negeri ini ingin membangun masa depan yang lebih baik, maka peristiwa masa lalu haruslah dilihat dan diperlakukan secara proporsional dengan memusatkan perhatian kepada mereka yang menjadi korban. Hal ini penting, agar ke depan peristiwa-peristiwa serupa tidak terulang dan impunitas tidak menjadi penyakit akut di negeri ini.