Pemerintah Didesak Bebaskan Tapol-Napol Makar

TEMPO Interaktif, Jakarta – Menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-65, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) beserta sejumlah elemen lain yaitu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak pemerintah untuk membebaskan tahanan politik-narapidana politik (tapol-napol) yang diduga melakukan makar.

Alasannya, sejumlah tapol-napol ditahan hanya karena melakukan aksi damai, seperti mengibarkan bendera. Penahanan tapol-napol ini  dinilai menyalahi prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). "Pemerintah harusnya bisa membedakan,  mana yang gerakan separatis bersenjata,  mana yang aktivitas politik damai," ujar Dedi Ali Ahmad dari PBHI , di Jakarta, Kamis (12/8).

Berdasarkan data yang dihimpun PBHI, saat ini ada 36 tapol-napol di Maluku, tiga di Aceh, dan 34 di Papua. "Ketiga daerah tersebut dari dulu sampai sekarang distigmatisasi sebagai akar gerakan separatis," ujar Dedi.

Selain itu, PBHI juga menengarai terjadi ketidakadilan dalam proses penangkapan hingga penahanan tapol-napol. Nurkholis dari LBH Jakarta mengisahkan, "Waktu saya berkunjung ke Nusa Kambangan, tapol-napol di sana sulit sekali mendapat akses kesehatan. Setelah ada foto yang dipublikasikan di media, barulah mereka dibawa ke rumah sakit,"  ujarnya.

Sri Spriyati dari Kontras menambahkan, pada 9 Agustus kemarin ada dua orang di Maluku yang salah ditangkap atas tuduhan makar. "Padahal mereka sudah disiksa," ujarnya.

Dedi mengatakan, pihaknya telah menyampaikan desakannya pada Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar. Menurutnya, ketika mengunjungi tapol-napol di Maluku Juli lalu, Patrialis berjanji untuk memberikan grasi pada yang ditahan karena mengibarkan bendera.

ADISTI DINI INDRESWARI