540 Petisi untuk Polri dan Kejaksaan

BAGAIMANA cara memperbaiki kinerja aparat kepolisian? Sebuah pertanyaan yang begitu sulit dijawab oleh rakyat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menutup mata betapa buruk kinerja aparat kepolisian. Tentu sebagai seorang kepala negara, SBY tidak bisa melakukan tindakan secara semena-mena mengganti semua personel di tubuh Polri.

Menggunakan rekayasa manajemen kepemerintahan, SBY pun secara halus ‘mengingatkan’ kepada jajaran Polri dengan cara membentuk sebuah ‘lembaga semi-ekstra’ bernama satuan tugas (Satgas), satu di antaranya adalah Satgas Pemberantas Mafia Hukum.

Karena menyangkut mafia hukum, maka gerak dan langkah satgas ini adalah memberantas perilaku penyelewengan hukum mulai dari tubuh Polri, Kejaksaan hingga ke pengadilan. Plus minus atas kebijaksanaan Presiden ini tentu ada, akan tetapi sebetulnya ini hanyalah ‘sindiran’ kepada aparat penegak hukum. Celakanya mulai dari aparat kepolisian dan kejaksaan yang berada di lingkup eksekutif ternyata tidak ada perubahan.

Rasa-rasanya kejengkelan masyarakat terhadap perilaku penegak hukum itu sudah tertimbun lama dan semakin besar, akan tetapi secara hukum rakyat tidak boleh melakukan perbaikan kebobrokan itu dengan cara melawan hukum. Setiap koreksi dan pengawasan di tubuh aparat hukum harus disalurkan lewat cara-cara yang yuris, legal dan tidak menimbulkan kekacauan baru.

Minggu (22/8) kemarin, sebanyak 50 orang membacakan Petisi Keprihatinan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Mereka mewakili 540 pendukung petisi untuk mendesak Presiden SBY mencopot petinggi Polri yang terlibat praktik mafia hukum.

"Kami meminta kepada Presiden SBY untuk mengambil tindakan luar biasa, yang berani, tegas dan menyentuh akar persoalan, untuk mencopot petinggi kepolisian yang terlibat praktik mafia peradilan rekayasa hukum," kata juru bicara petisi, Taufik Basari, Minggu (22/8).

Petisi menuntut SBY membersihkan tubuh Polri dan membenahi struktur Polri agar negeri kita mempunyai polisi yang jujur, profesional dan bertanggung jawab. Dalam aksi ini, mereka membentangkan spanduk 3×3 meter berwarna putih. Spanduk itu bergambar telapak tangan tanda berhenti dan tulisan, "Cukup sudah mafia hukum, mafia pajak, rekening gendut, dan rekayasa kasus, pembiaran kekerasan. Kembalikan negara hukum, selamatkan Polri."

Menurut Taufik, sudah ada 540 tokoh dari berbagai latar belakang yang menandatangani petisi ini. Mereka juga akan menggalang dukungan lewat SMS, Facebook dan Twitter selama 5 hari ke depan. "Untuk selanjutnya kita serahkan kepada Presiden SBY agar mendengar keluhan masyarakat," jelasnya.

Mantan Ketua PP Muhamadiyah Buya Ahmad Syafii Ma’arif, sastrawan Acep Zamzam Noer, aktivis Fadjroel Rahman disebut-sebut termasuk yang ikut tanda tangan. Dalam aksi ini, dipasang juga pohon harapan. Pohon ini adalah pohon imitasi setinggi 50 cm. Pohon ini pada batangnya digantung kertas-kertas kritikan dan harapan masyarakat terhadap Polri, antara lain bertuliskan, "Pak polisi, jangan suka minta uang kami", "Kapolri harus berani berantas Markus di polisi", dan "Polisi kok korupsi?".

Turut hadir dalam acara ini sejumlah aktivis dari berbagai elemen antara lain mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Harjapamekas, pengacara Taufik Basari, Koordinator Indonesia Coruption (ICW) Watch Danang Widoyoko, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, hingga Koordinator Kontras, Haris Azhar.

Tokoh-tokoh yang mengenakan pakaian berwarna putih ini juga mengumpulkan tanda tangan yang isinya berupa dukungan terhadap isi petisi keprihatinan dan menuntut perbaikan penegakan hukum di Indonesia terutama di tubuh Kepolisian. Dalam kesempatan tersebut, telah terkumpul tandatangan dari sedikitnya 540 aktivis di berbagai bidang.

"Kenapa kita tegaskan di Kepolisian, karena kami ingin spesifik. Kalau polisinya baik, maka Kejaksaan dan yang lain juga akan semakin baik. Next, Kejaksaan juga harus berbenah," kata Erry Riyana Harjapamekas

Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji dianggap telah berbohong mengenai bukti rekaman pembicaraan Deputi Penyidikan KPK Ade Rahardja dengan tersangka penyuapan Ari Muladi. Sebagai konsekuensinya, Presiden SBY diminta mencopot dari jabatan masing-masing.

Keduanya pernah mengaku memiliki rekaman pembicaraan per telepon antara Ade dengan Ari Muladi, dan bukti itulah yang membawa dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah tersangka atas laporan Anggoto Widjojo. Namun ketika, KPK membalikkan kasusnya, Anggodo dalam kasus dugaan menghalang-halangi penyididkan kasus korupsi, Polri dan Kejaksaan Agung tidak dapat menghadirkan barang bukti.

Apakah dengan cara santun lewat petisi semacam ini akan menjadi sebuah obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit kronis yang disebut dengan praktik mafia hukum di Indonesia? Rasa- rasanya ini baru langkah awal, dibutuhkan tekanan dan perbaikan secara menyeluruh dan radikal untuk memperbaiki kinerja lembaga-lembaga ini. Mari kita dukung perubahan perilaku di tubuh Polri dan Kejaksaan di negeri ini. (*)