Tanggapan atas Tulisan Juniper Silitonga; HAM, Gerakan Bersama Kelompok Teater dan Masyarakat Sipil

Bono Emiry

Sebagai produk pemikiran yang berakar dari kebiasaan masyarakat, sepantasnya seni drama tidak melepaskan diri dari kondisi riil lingkungan sosialnya.

Kelompok-kelompok teater sebagai pengusung seni drama, harus memanfaatkan panggung pertunjukan sebagai media penggugah kesadaran masyarakat dalam menyikapi kondisi riil secara kritis. Lebih jauh lagi, kelompok teater idealnya terlibat aktif dalam gerakan masyarakat sipil untuk perubahan.

Partai Komunis Indonesia (PKI) -terlepas dari cita-cita komunisme internasional- adalah lembaga yang memahami kekuatan seni drama. PKI memanfaatkan pertunjukan drama rakyat sebagai media propaganda. Propaganda panggung ini terbukti berhasil menggugah pandangan masyarakat waktu itu, ada satu “kesalahan” yang harus diperbaiki demi pemerataan kesejahteraan. Cara ini menjadi salah satu kunci sukses PKI menempatkan diri dalam empat besar peraih suara terbanyak Pemilu 1955.

Bagaimana dengan kelompok-kelompok teater khususnya di Sumatera Utara dan Medan? Sudahkah memiliki kesamaan nilai dalam melihat peran seni drama sebagai media perbaikan kesalahan-kesalahan yang terus bermunculan dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan terutama berkaitan dengan hak asasi manusia?

Juniper Silitonga dalam tulisannya menyebutkan, kelompok teater di Sumut belum mengerti pemahaman terkait persoalan HAM di kota dan negeri ini alias kering wacana. Dia menyimpulkan, dari para peserta Pelatihan Issue HAM dalam Penulisan Naskah Teater yang difasilitasi Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumut, 24-26 Juni lalu. Benarkah peserta pelatihan yang kering wacana HAM ini merepresentasikan kelompok teater di Sumut?

Naskah Drama Berperspektif HAM

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis menyajikan pengalaman menonton dan terlibat langsung dalam penggarapan beberapa drama panggung. Pertama, pementasan Teater Rujuk di Festival Teater Sumut tahun 2002. Kelompok bentukan almarhum Muhammad Aris Sumampin Damanik ini membawa naskah Lomba Bunuh Diri yang menyinggung kerusakan lingkungan dan dampak banjir bandang akibat pembalakan hutan oleh pemilik modal.

Naskah Telepati Keluarga HP yang dibawa Padang Bulan Teater (PBT) juga menyiratkan adanya permasalahan HAM di negeri ini. Meski mengundang kritikan dari seniman, budayawan dan penonton, naskah ini cukup menggelitik kesadaran adanya masyarakat yang menjadi korban kesewenang-wenangan kekuasaan.

Berikutnya adalah Teater Anak Negeri (TAN). Naskah Halte (2003) dan Yang Terasing (2004) secara gamblang menyajikan bentuk-bentuk penindasan HAM yang dilakukan negara terhadap warganya.

Baik itu ketidakmampuan negara menjaga harga kebutuhan pokok masyarakat, pengabaian negara terhadap pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja, maupun penghilangan orang-orang yang dianggap lantang menentang kebijakan negara. Melalui naskah drama komedi SOK yang dibawa pada Sabtu Ketawa tahun 2007 pesan-pesan penegakan HAM tetap disuarakan oleh Teater Anak Negeri (TAN).

Naskah drama monolog Perempuan karya Aishah Basar yang diproduksi TAN bercerita tentang penderitaan seorang perempuan yang harus menghadapi sendiri penculikan anak-anaknya oleh penguasa.

Tak hanya bersuara melalui produksi sendiri. TAN juga giat melakukan kerjasama dengan lembaga lain dalam upaya penegakan HAM. Seperti dengan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), KontraS Sumut, dan Teater O USU dalam monolog Matinya Seorang Pejuang A Tribute To Munir oleh aktor Whani Darmawan.

Pementasan-pementasan Teater Blok dalam naskah Orang-Orang Tercecer dan Orang-Orang Terasing pun kental dengan isu-isu HAM. Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) tempat Juniper Silitonga bergiat juga dikenal aktif menghadirkan pertunjukan sarat HAM dan bekerjasama dengan lembaga lain dalam isu-isu HAM. Sebut saja naskah Si Boru Tumbaga dan Pulo Batu yang menggambarkan kepedihan menjadi perempuan di masyarakat patriarkhi dan perlawanan terhadap penjajahan.

Siboru Tumbaga juga sukses ketika pentas di Padang. Atau, kerjasama PLOt dengan Teater Prung Bandung dalam pementasan keliling drama monolog tentang korban Tragedi 1965, Black Box, di Medan, Pematangsiantar, dan Tuktuk.

HAM Dalam Realitas Kelompok Teater

Deklarasi Universal HAM, Statuta Roma, Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, Protokol Opsional Konvensi Antipenyiksaan, Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, atau Deklarasi Beijing mungkin terdengar asing bagi peserta Pelatihan Issue HAM dalam Penulisan Naskah Teater dan sebagian besar penggiat teater di Sumut.

Pemahaman HAM boleh jadi tidak dikuasai secara teoritis oleh para penggiat teater seperti aktivis PKPA maupun organisasi masyarakat sipil lain. Disadari atau tidak baik oleh penggiat teater sendiri maupun penonton, isu-isu HAM kerap muncul dalam pementasan drama. Meski masih berupa selipan dan belum menjadi tema utama.

Tipikal penonton yang haus tontontan sekadar hiburan ringan ditambah kerumitan memikirkan biaya produksi menjadi pertimbangan mengapa kelompok-kelompok teater sungkan mengangkat isu HAM yang diangap berat dalam naskah pertunjukannya. Hal ini masih dipengaruhi peninggalan stigma kiri dan makar warisan Orde Baru terhadap kelompok-kelompok teater yang membawa naskah menggugat pemerintah seperti yang menimpa Teater Koma, Satu Merah Panggung, dan W.S. Rendra.

Di sinilah pentingnya pihak eksternal menyadarkan kelompok-kelompok teater atas hakekat seni drama yang harus tetap berakar pada masyarakatnya dan menjadi bagian dalam mengatasi berbagai persoalan termasuk isu-isu HAM. PKPA Sumut telah memulai langkah ini. Organisasi masyarakat lain yang berkepentingan terhadap penegakan HAM saatnya mengambil langkah serupa, sehingga tercipta sebuah sinergi antara seni dan pergerakan sosial dalam penegakan HAM.

Juniper Silitonga tidak memberi gambaran rinci materi yang diberikan kepada peserta pelatihan. Jika PKPA Sumut dan organisasi masyarakat sipil lain tergerak untuk melaksanakan pelatihan-pelatihan sejenis, materi kesetaraan gender harus mendapat tempat utama. Sebab bicara HAM pertama-tama adalah bicara kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Tak bisa dipungkiri, mayoritas kelompok-kelompok teater di Sumut masih patriarkhi dan cenderung mengkultuskan pimpinannya adalah laki-laki.