Calon Kapolri Harus Sehat

JAKARTA — Kalangan masyarakat sipil mendesak panitia seleksi calon Kapolri pengganti Jenderal Bambang Hendarso Danuri benar-benar serius. Salah satu faktor yang dicermati adalah sisi kesehatan fisik dan rohani secara sempurna.

"Kita tidak ingin Kapolri sakit-sakitan. Risikonya terlalu berat untuk stabilitas keamanan nasional," ujar Koordinator Indonesia Police Watch Neta Sanusi pane, Sabtu 28 Agustus. Saat ini, Kapolri masih sakit di rumah dinasnya. BHD izin tidak masuk kerja sejak Senin 23 Agustus lalu.

Menurut penulis buku Jangan Bosan Kritik Polisi ini, sakitnya Kapolri tidak bisa dianggap main-main, terutama di saat aksi kekerasan dan perampokan makin marak terjadi di beberapa daerah. "Sekarang ini BHD sakit, terus Wakapolri ibadah umrah. Jadi, komando ada di tangan siapa," tanyanya.

Neta menjelaskan, dalam struktur komando kepolisian, presiden berhak menunjuk pelaksana harian ketika Kapolri dan Wakapolri berhalangan. "Apalagi, di saat situasi negara sedang butuh polisi. Ada perampokan dimana-mana, juga masyarakat hendak berlebaran dengan tenang," katanya.

Memang, ada mekanisme delegasi wewenang pada Kapolda di masing-masing provinsi. "Tapi, tetap harus ada pimpinan tertinggi. Sekarang ini kosong lho, siapa yang in charge tidak jelas," katanya.

Secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Haris Azhar mendesak agar calon Kapolri baru segera diumumkan ke masyarakat. "Supaya bisa dinilai rekam jejaknya," katanya.

Kontras mempunyai empat criteria calon Kapolri pengganti BHD. Yakni, pertama, kapolri harus memiliki integritas personal dan integritas institusi. Integritas personal menyangkut rekam jejak yang bersih terhadap masalah korupsi dan pelanggaran HAM. Integritas institusional menyangkut sikap dan kemampuannya menjaga institusi Polri sebagai institusi yang bersih, adil, netral secara politik, responsif, imparsial, dan tidak mewakili kelompok kepentingan.

Kedua, kapolri mampu menegakkan akuntabilitas. Ia juga harus tidak bersikap reaksioner dan terbuka terhadap institusi lain berkenaan dengan masalah tersebut.

Ketiga, kapolri harus memiliki legitimasi. Aspek legitimasi penentuan calon kapolri tidak hanya merujuk pada Pasal 11 ayat 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa secara implisit calon kapolri memiliki pangkat di bawahnya, yakni komjen. Lalu yang keempat, Kapolri mampu membangun kepercayaan. "Unsur kepercayaan tak hanya internal dalam tubuh Polri, tetapi juga terhadap lembaga negara lainnya," kata Haris.

Dihubungi terpisah, anggota Komisi Kepolisian Nasional Novel Ali meminta publik tetap tenang merespons sakitnya Kapolri. "Beliau sakit vertigo. Pusing tapi memang tidak setiap saat," katanya.

Novel yakin struktur Polri masih bisa bekerja secara normal. "Polisi itu ada mekanisme yang baku. Alurnya sudah jalan jadi tidak tergantung orang per orang," kata akademisi asal Semarang itu. (rdl)