Kontras: Usut Kasus Buol

TEMPO Interaktif, Jakarta – Kontras sangat menyesalkan terjadinya kekerasan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, pada 30 – 31 Agustus 2010. Kami meminta semua pihak, baik warga Buol maupun aparat kepolisian, khususnya anggota Polres Buol menahan diri untuk menghentikan aksi kekerasan.

"Kami meminta Pemda setempat serta DPRD untuk mendorong proses pencegahan kekerasan yang meluas," kata  Koordinator Kontras Haris Azhar dalam pernyataan persnya, Rabu (1/9). Kontras meminta Kapolda Sulawesi Tengah melakukan penyelidikan secara menyeluruh atas seluruh peristiwa ini dengan melibatkan Komnas HAM untuk menemukan fakta atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM  tersebut.

Berdasarkan informasi yang diterima Kontras, penyerangan yang dilakukan 500 orang warga Buol disebabkan oleh kekecewaan warga saat menerima jenasah Kasmir Timumun (19 tahun) yang meninggal dunia di rumah tahanan Polsek Biau Kabupaten Buol.

Kasmir ditahan sejak 26 Agustus 2010 setelah terjadi kecelakaan lalulintas antara korban dan seorang anggota lantas Polres Buol. Pihak Polsek Buol menyatakan bahwa korban gantung diri di ruang tahanan. Namun keluarga yang tiba di Mapolsek melihat korban terbujur kaku dengan beberapa bagian tubuhnya lebam dan leher hitam dengan bekas jeratan.

Di mulut korban ditemukan sumpalan kertas hingga ditenggorokan. Kondisi ini dinilai warga sebagai tindakan kematian yang tidak wajar. Diduga korban mengalami siksaan fisik sebelum meninggal.

Situasi ini tentu saja tidak dapat membenarkan terjadinya penyerangan warga ke Mapolres Buol, penyisiran di rumah kontrakan (kost) anggota Polsek Buol serta pembakaran motor milik anggota Polsek Buol.

Sebaliknya, peristiwa ini juga tidak dapat menjustifikasi tindakan aparat kepolisian yang membuat barikade di depan Mapolsek Biau serta menembak warga dengan sasaran yang mematikan. Akibat tindakan ini, lima warga tewas tertembus peluru sementara tiga orang warga kritis di UGD RSU Buol dan 16 lainnya mengalami luka-luka.

"’Kami menilai peristiwa kekerasan ini merupakan bentuk akumulasi terhadap penanganan masalah hukum di tingkat kepolisian yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat," ujar Haris.