Rehabilitasi Mental

Prof Dr Bambang Satriya SH MH
Guru Besar dan Dosen di Universitas Machung Malang

Masihkah kita layak menyebut diri sebagai elemen strategis Indonesia, manakala di negeri jiran ada pahlawan-pahlawan devisa yang harus ngotot berjuang membebaskan dirinya dari kemungkinan jeratan hukuman mati?

Menurut Migrant Care bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Infid, bahwa sejumlah 345 WNI di Malaysia yang terancam hukuman mati dengan tuduhan narkoba dan pembunuhan. Direktur Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan, dari 345 WNI yang terkena hukuman mati itu sebanyak tujuh orang sudah dieksekusi.

Saat para TKI bisa menyetorkan uang atau mengirimkan jerih payahnya bekerja di Malaysia atau negara-negara lain yang nilainya triliunan rupiah, mereka disebut pahlawan devisa. Namun, saat mereka harus antre dalam penuntasan proses hukum yang mengancamnya dengan hukuman mati, apa yang sudah diperbuat oleh negara untuk mereka? Sudahkah negara benar-benar peduli pada pahlawan devisa itu?

Tuduhan banyak dialamatkan pada elemen pemimpin Indonesia yang dinilai kehilangan mental keindonesiaannya. Jika mereka memang punya komitmen yuridis dan kemanusiaan terhadap rakyatnya yang sedang berjuang memperbaiki taraf hidupnya di negara lain, semestinya, langkah taktis, cepat, dan berani selalu ditunjukkannya.

Tuduhan publik kalau pemerintah kurang cekatan dalam menangani warganya yang bermasalah secara hukum di negara lain bukan tanpa alasan. Sudah sangat sering pemerintah (negara) terlambat mendengar kalau ada warganya yang akan dihukum mati. Bahkan tidak jarang, pemerintah baru mendengar ada warga negara Indonesia yang bermasalah secara hukum, setelah warga ini sudah dieksekusi mati oleh pengadilan Malaysia.

Dalam ranah yuridis, idealnya pemerintah bertindak cekatan dalam menangani kasus warga negara Indonesia yang bermasalah secara hukum di negara lain, pasalnya sistem peradilan pidana yang dijalani warga bermasalah ini, seperti yang berlaku di Malaysia, tidak bersifat inklusif dan akuntabel. Dalam ranah penyelidikan dan penangkapan, misalnya, aparatnya tidak bersifat terbuka.

Pembelaan Negara

Perlu dipahami bahwa Malaysia merupakan salah satu tujuan penempatan tenaga kerja Indonesia karena faktor geografis dan kemudahan bahasa. Sedikitnya 2,2 juta tenaga kerja Indonesia ada di negeri jiran ini, dengan 1 juta di antaranya bekerja tanpa dokumen resmi serta rentan menjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Memang selama ini, warga yang tak berdokumen di negara lain sering menjadi sasaran politik tumbal secara ekonomi dan yuridis. Dalam ranah ekonomi, mereka dikorbankan oleh majikan atau korporasi dengan cara dibayar murah atau dieksploitasi dengan upah sangat rendah, sementara secara yuridis, mereka dijadikan sasaran pencarian oleh aparat bilamana terjadi tindak kejahatan.

Meski sebagai pekerja liar atau tak berdokumen resmi, namun mereka tetaplah warga negara Indonesia, yang mempunyai hak-hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan pembelaan atau bantuan hukum sejak penangkapan, hak diperlakukan secara manusiawi, berkeadaban, dan berkeadilan, dan hak dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang wajib ditegakkan atau dilindungi.

Penghormatan tersebut dapat terbaca dalam Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Produk yuridis (UU HAM) menyebut bahwa setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Instrumen yuridis dan HAM itu menunjukkan bahwa proses peradilan yang diimplementasikan oleh negara yang banyak bermasalah secara hukum seperti di Malaysia, seharusnya menjadi pekerjaan istimewa bagi pemerintah Indonesia. Dari lembaga peradilan Malaysia yang berpola eksklusif dan sepak terjangnya yang sering menciptakan ”atmosfer panas” secara politik, menjadi beban berat bagi warga yang bermasalah secara hukum.

Lebih dari 300 warga negara yang terancam hukuman mati itu tidaklah sedikit. Lihatlah upaya pemerintah Filipina jika ada seorang warga negara ini bermasalah secara hukum, apalagi sampai terancam hukuman mati, negara langsung turun tangan, baik menggunakan saluran diplomasi maupun menunjuk lawyer andal. Sikap pemerintah Filipina atau negara lain yang cekatan sudah selayaknya diteladani pemimpin Indonesia yang kehilangan atau terdistorsi jiwa keindonesiaannya. Jika pemimpin memang benar-benar berjiwa keindonesiaan, tentulah anak bangsa ini tidak dibiarkan menjadi pahlawan devisa yang sia-sia.

Pemimpin berjiwa keindonesiaan merupakan sosok pemimpin yang memahami derita rakyatnya yang sedang memperjuangkan nasibnya. Kalau mereka terabaikan dalam memperjuangkan (membebaskan) jeratan sanksi hukuman mengerikan atau dibiarkan sendirian berjihad melawan ancaman hukuman mati yang akan menimpanya, berarti pemimpin negeri ini semakin kehilangan keindonesiaannya. Pemimpin demikian harus direhabilitasi mentalitasnya.

Proses peradilan yang mengancam TKI dengan hukuman mati, tidak gampang ”dilawan” oleh komunitas pekerja kelas bawah yang secara umum kurang paham norma yuridis, sehingga jika mereka tidak mendapatkan bantuan hukum dari negara secara memadai, maka agenda buram gugurnya pahlawan devisa akan benar-benar tertulis dalam sejarah kehidupan negeri ini. Mereka bukan menjadi korban eksekusi dari sistem peradilan negara lain, tetapi sejatinya sebagai korban mental pemimpin yang kehilangan nyali nasionalismenya.n