Menanti Ketua KPK yang Berani

Oleh Marwan Mas


Jumat, 3 September 2010

Panitia Seleksi (Pansel) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan dua nama, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas sebagai kandidat Ketua KPK ke depan. Oleh banyak kalangan, keduanya dinilai kredibel memimpin lembaga pemberantas korupsi yang masih dipercaya rakyat. Mereka juga dinilai paling sedikit memiliki catatan buruk dalam rekam jejak masing-masing, bahkan relatif memiliki gap yang lumayan jauh dengan pengaruh kekuasaan.

Bambang pernah memimpin lembaga bantuan hukum di tanah Papua dan Jakarta, bahkan aktivis antrikorupsi yang gigih dan berani. Selain konsern di bidang bantuan hukum, Bambang adalah salah satu pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan ICW. Kariernya menanjak saat dipercaya menggantikan Adnan Buyung Nasution sebagai Dewan Pengurus YLBHI (1995-2000).

Selesai kuliah di Universitas Jayabaya, Bambang menempuh berbagai pendidikan formal maupun non formal terkait hak azasi manusia, di AS dan Belanda. Dia menempuh program postgraduate di School of Oriental and Africand Studies, London University dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung pada 2009.

Bambang dikenal tegas, berani dan teguh dengan prinsipnya soal korupsi. Bagi advokat yang bekerja di Widjojanto, Sonhaji & Partners ini, korupsi adalah kejahatan terbesar terhadap rakyat dan kemanusiaan.

Sedangkan M Busyro Muqoddas lulus Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1977. Ia pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UII. Busyro mengawali karier di bidang hukum tahun 1983 sebagai Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum UII.

Ia pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum UII (1986-1988), dilanjutkan sebagai sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum UII hingga 1990. Gelar Magister Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum UGM tahun 1995. Pada 1995-1998 ia menjabat Ketua Pusdiklat dan LKBH Laboratorium Fakultas Hukum UII. Busyro adalah akademisi yang jujur dan berani. Ketua Komisi Yudisial ini sudah membuktikan komitmennya membersihkan lembaga peradilan dari hakim koruptif kendati dibatasi kewenangannya.

Sebagai manusia, keduanya bukan tanpa cela atau kekurangan, tetapi paling tidak mendekati sosok ideal. Setidaknya, sebagai kandidat ketua KPK, keduanya memiliki komitmen tinggi, tidak kompromistis, dan berjiwa petarung alias berani. Tanpa itu, akan sulit bagi pimpinan baru KPK melaksanakan tugasnya di tengah gelombang dahsyat yang menggempur KPK.

Isu yang berkembang Bambang dianggap berani dan tidak bisa diajak kompromi sehingga akan jadi batu sandungan dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Ini tentu akan mencederai harapan rakyat jika diapresiasi DPR.

Bukan hanya itu, KPK harus dipimpin oleh sosok yang kuat dan tegas. Kuat lantaran yang akan ditebas adalah orang-orang kuat, berduit tebal, dan punya akses dengan pemegang . Terlebih jika korupsi terkait dengan politisi dari partai besar pendukung penguasa, sudah pasti akan menghadapi tekanan dan intervensi. Kalau dia tegas, berarti akan mengabaikan pertemanan dan tanpa pandang bulu menyeret para korptor ke proses hukum.

Pasal 34 UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Sementara Pasal 33 Ayat (1) mengatur, dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Artinya, ketua KPK yang akan dipilih hanya melanjutkan masa jabatan yang tersisa dari Ketua KPK sebelumnya, bukan empat tahun seperti pendapat panitia seleksi.

Sebaiknya polemik masa jabatan tidak dipertajam karena bisa mengaburkan aspek yang substansial, yaitu memilih calon yang paling ideal. Malah bisa memicu pertarungan baru antara pemerintah (presiden) dengan DPR. Yang penting saat ini adalah ‘menyatukan persepsi’ bahwa keduanya akan diterima DPR dan memilih salah satunya. Sebab beredar isu, segelintir anggota DPR menilai usulan presiden bisa saja ditolak karena keduanya bukan yang ideal bagi mereka.

Saatnya sekarang memenangkan perang terhadap perilaku korupsi, yang memang belum pernah kita menangi. Jabatan satu tahun bukan alasan untuk surut dari arena pertempuran. Jika nantinya ketua terpilih mampu melaksanakan amanah, bisa dilanjutkan dengan syarat mengikuti proses yang diatur dalam UU KPK. Bila performanya baik dalam memimpin KPK, peluang untuk memperpanjang jabatan tentu terbuka lebar.

Jangan sampai polemik ini menghambat proses di DPR atau membuyarkan konsentrasi calon mempersiapkan diri menghadapi gempuran pertanyaan anggota Komisi III DPR. Sebab, kerja KPK ke depan kian berat karena dituntut untuk melakukan perubahan secara sistemik untuk mengerem menjalarnya perilaku korupsi sampai ke daerah.

APBN dan APBD harus disterilkan dari tangan-tangan koruptor yang bukan hanya bergerilya di Jakarta, tetapi tumbuh subur di daerah-daerah otonom. Karenanya, KPK butuh ketua yang punya nyali besar dan gagasan progresif untuk memburu tikus-tikus sampai ke daerah, tanpa melupakan kasus besar yang selama ini masih mengendap.

Publik tidak ingin persoalan kecil menjadi besar, karena boleh jadi sebagai bagian dari jebakan untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Kedua calon harus mampu menolak rayuan gombal dengan satu sikap ‘tidak akan melakukan pendekatan kepada fraksi’. Silahkan DPR memilih salah satunya, siapa pun yang terpilih, kualitasnya tetap sama dan dipercaya bisa mengemban amanah rakyat, yaitu melakukan ‘gebrakan berani’ dengan menangkap koruptor tanpa pandang bulu.


Balas Budi?

Untuk bersikap tegas terhadap birokrat dan politisi korup, hanya akan terlaksana jika pimpinan KPK bisa melepaskan diri dari jebakan balas budi. Celah inilah yang perlu diawasi, sebab bisik-bisik dalam uji kelayakan dan kepatutan, bargaining politik menjadi salah satu syarat untuk dipilih. Terlepas apakah dugaan ini benar atau tidak, tetapi celah ini sangat rawan karena akan berujung pada ‘balas budi’ setelah terpilih. Pertanyaan anggota DPR bisa menjebak sang calon ke dalam kubangan kepentingan politis.

Tetapi tentu saja kita respek jika anggota DPR bisa membongkar motif para calon untuk menjadi ketua KPK, atau menguliti jejak rekamnya. Suara rakyat yang kemungkinan memberikan masukan soal rekam jejak calon, juga jangan dianggap angin lalu. Sebab dari situlah akan terendus kredibilitas sang calon, apakah petarung atau hanya bisa jadi pecundang lantaran tidak berani menyentuh kasus Bank Century dan mafia pajak yang melibatkan orang-orang besar.

Tetapi tetap ada pertanyaan, kalau penggiat antikorupsi saja punya calon, apa pemerintah tidak punya jagoan? Bukankah pemerintah punya kepentingan untuk mengamankan skandal Bank Century yang dianggap tidak ada masalah? Melihat sikap pemerintah selama ini, sulit membantah kalau tak punya pilihan yang bisa dianggap kooperatif dan kompromis. Jangan sampai KPK bertambah liar terhadap skandal Bank Century, padahal pimpinan KPK saat ini menilai tidak ada indikasi korupsi.

Pada aspek lain juga masih ada ganjalan, sejumlah anggota DPR sedang dalam bidikan KPK yang tentu bisa menolak kedua calon. Tetapi kita punya harapan besar untuk menguburnya, kedua calon tidak akan tergoda, toh keduanya kita yakini terbaik. Silahkan DPR memilih salah satunya, karena keduanya akan jadi ‘petarung’ yang tidak kenal kompromi. ***

Penulis adalah dosen Ilmu Hukum dan
Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar.