Ketua KPK Siapa? KPK(ku), KPK(mu), atau KPK (kita)?

Oleh : Dr. Januari Siregar, SH, M. Hum

Pemberantasan korupsi dengan pendekatan kelembagaan (institute approach) masih belum pada titik maksimal. Gurita korupsi yang sudah kita tetapkan sebagai musuh bersama seolah-olah tidak bisa tersentuh oleh hukum.

Perlawanan koruptor melalui sistem hukum terselubung terus mereka lakukan. Salah satunya adalah dengan cara mendudukkan ketua KPK versi mereka. Mungkin mereka akan bernyanyi ketua KPK adalah ketua KPK(ku) yang dalam artian bisa mereka kendalikan agar segala bentuk korupsi yang mereka lakukan tidak tersentuh oleh hukum. Padahal betapa mudahnya membuktikan semua koruptor kalau memang persoalan alat bukti yang menjadi masalah. Sehebat apa sih koruptor itu bisa mempermainkan database korupsi mereka kalau memang kemauan memberantas korupsi ada?

Coba kita lihat pemberian remisi kepada koruptor pada dua hari besar di negara kita. Setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 2010 para koruptor memperoleh remisi, kini Idul Fitri 1431 H mereka kembali mendapatkan korupsi. Kalau saya mengatakan ini adalah bentuk legalitas terselubung terhadap praktik korupsi. Di negara China siapa saja yang kedapatan melakukan koruspi maka nyawa akan menjadi taruhan. Akibatnya korupsi di negara RRC dapat diminimalisasi. Kita dapat melihat kemajuan negara RRC sebagaimana yang kita lihat sekarang ini hanya dengan bermodalkan pemberantasan korupsi. Mengingat persoalan korupsi sudah membuat negara ini porak-poranda. Akibat korupsi angka kemiskinan merajalela. Program pembangunan dalam bentuk kualitas proyek menurun dan asal jadi.

Uang yang seharusnya untuk masyarakat berubah fungsi masuk ke kantong oknum tertentu. Bisa kita bayangkan ini akan melahirkan kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Akibatnya konflik sosial dan kecemburuan sosial yang terjadi dengan adanya jarak antara kelompok pencuri uang rakyat dengan masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Dan masih banyak multiplier effect akibat perbuatan korupsi. Masihkah ini terus kita biarkan untuk mencengkram bangsa kita. Kalau kita sudah mengetahui bersama betapa besar kerugian negara akibat korupsi maka tidak ada alasan untuk tidak mendukung masalah korupsi. Tentu harapan pemberantasannya adalah melalui ketua KPK yang baru nantinya.

Kini pemilihan dua orang calon ketua KPK ditangan Presiden dan DPR. Tentu setidaknya komunikasi yang berkembang adalah, ketua KPK nantinya adalah ketua KPK Siapa? Versi KPK (ku) gambarannya sudah saya jelaskan di atas. Versi KPK (mu) adalah bahasa yang mengatakan bahwa ketua KPK itu masih bisa kita kompromikan. Kau aturlah dulu ketua KPK (Mu), bagaimana baiknya agar kita selamat. Kompromi dan konspirasi tingkat tinggi sudah sering terjadi di negara ini. Bahasa ini adalah bentuk dari perkoncoan tingkat tinggi yang menunjukkan bahwa Ketua KPK itu bisa dikendalikan oleh para koruptor. Artinya kepentingan koruptor dengan ketua KPK yang baru akan sangat tinggi.

Sedangkan KPK(kita) menunjukkan bahwa ketua KPK itu berdiri di atas semua kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. KPK(kita) tentu punya makna bahwa siapapun yang bersalah karena melakukan korupsi maka akan disikat sesuai dengan hukum yang berlaku. Sekarang siapa yang akan terpilih dari dua nama terakhir tentu kita berharap semua akan berkata bahwa itu adalah ketua KPK(kita) dan bukan ketua KPK(ku) atau KPK(mu).

Terlepas daripada itu, panitia Seleksi (Pansel) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan dua nama, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas sebagai kandidat Ketua KPK ke depan. Oleh banyak kalangan, keduanya dinilai kredibel memimpin lembaga pemberantas korupsi yang masih dipercaya rakyat. Mereka juga dinilai paling sedikit memiliki catatan buruk dalam rekam jejak masing-masing, bahkan relatif memiliki gap yang lumayan jauh dengan pengaruh kekuasaan. Bambang pernah memimpin lembaga bantuan hukum di tanah Papua dan Jakarta, bahkan aktivis antikorupsi yang gigih dan berani. Selain konsern di bidang bantuan hukum, Bambang adalah salah satu pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan ICW. Kariernya menanjak saat dipercaya menggantikan Adnan Buyung Nasution sebagai Dewan Pengurus YLBHI (1995-2000).

Selesai kuliah di Universitas Jayabaya, Bambang menempuh berbagai pendidikan formal maupun non formal terkait hak azasi manusia, di AS dan Belanda. Dia menempuh program postgraduate di School of Oriental and Africand Studies, London University dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 2009. Bambang dikenal tegas, berani dan teguh dengan prinsipnya soal korupsi. Bagi advokat yang bekerja di Widjojanto, Sonhaji dan Partners ini, korupsi adalah kejahatan terbesar terhadap rakyat dan kemanusiaan.

Sedangkan M Busyro Muqoddas lulus Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1977. Ia pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UII. Busyro mengawali karier di bidang hukum tahun 1983 sebagai Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum UII. Ia pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum UII (1986-1988), dilanjutkan sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum UII hingga 1990. Gelar Magister Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum UGM tahun 1995. Pada 1995-1998 ia menjabat Ketua Pusdiklat dan LKBH Laboratorium Fakultas Hukum UII. Busyro adalah akademisi yang jujur dan berani. Ketua Komisi Yudisial ini sudah membuktikan komitmennya membersihkan lembaga peradilan dari hakim koruptif kendati dibatasi kewenangannya.

Sebagai manusia, keduanya bukan tanpa cela atau kekurangan, tetapi paling tidak mendekati sosok ideal. Setidaknya, sebagai kandidat ketua KPK, keduanya memiliki komitmen tinggi, tidak kompromistis, dan berjiwa petarung alias berani. Tanpa itu, akan sulit bagi pimpinan baru KPK melaksanakan tugasnya di tengah gelombang dahsyat yang menggempur KPK. Isu yang berkembang Bambang dianggap berani dan tidak bisa diajak kompromi sehingga akan jadi batu sandungan dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Ini tentu akan mencederai harapan rakyat jika diapresiasi DPR.

Bukan hanya itu, KPK harus dipimpin oleh sosok yang kuat dan tegas. Kuat lantaran yang akan ditebas adalah orang-orang kuat, berduit tebal, dan punya akses dengan pemegang. Terlebih jika korupsi terkait dengan politisi dari partai besar pendukung penguasa, sudah pasti akan menghadapi tekanan dan intervensi. Kalau dia tegas, berarti akan mengabaikan pertemanan dan tanpa pandang bulu menyeret para koruptor ke proses hukum. Pasal 34 UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Sementara Pasal 33 Ayat (1) mengatur, dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Artinya, ketua KPK yang akan dipilih hanya melanjutkan masa jabatan yang tersisa dari Ketua KPK sebelumnya, bukan empat tahun seperti pendapat panitia seleksi.

Sebaiknya polemik masa jabatan tidak dipertajam karena bisa mengaburkan aspek yang substansial, yaitu memilih calon yang paling ideal. Malah bisa memicu pertarungan baru antara pemerintah (presiden) dengan DPR. Yang penting saat ini adalah ‘menyatukan persepsi’ bahwa keduanya akan diterima DPR dan memilih salah satunya. Sebab beredar isu, segelintir anggota DPR menilai usulan presiden bisa saja ditolak karena keduanya bukan yang ideal bagi mereka. Saatnya sekarang memenangkan perang terhadap perilaku korupsi, yang memang belum pernah kita menangi. Jabatan satu tahun bukan alasan untuk surut dari arena pertempuran. Jika nantinya ketua terpilih mampu melaksanakan amanah, bisa dilanjutkan dengan syarat mengikuti proses yang diatur dalam UU KPK. Bila performanya baik dalam memimpin KPK, peluang untuk memperpanjang jabatan tentu terbuka lebar.

Siapapun ketua KPK dari kedua calon ini bukan persoalan. Hanya saja catatan yang perlu digarisbawahi adalah memilih ketua KPK dengan motivasi untuk membabat korupsi. Kalau motivasinya baik tentu misi pemberantasan korupsi akan berhasil dengan baik pula. Tetapi kalau memang tujuannya untuk melindungi kepentingan koruptor maka masa depan pemberantasan korupsi di negara kita akan semakin suram. Sekali lagi semoga ketua KPK yang terpilih adalah ketua KPK(kita), sehingga siapa saja yang melakukan korupsi akan ditindak dengan tegas. Dan ketua KPK(ku) dan ketua KPK(mu) bisa kita harapkan jangan sampai terjadi sebagai starting point dalam pemberantasan korupsi di negara ini.***

Penulis adalah: Advocat Senior di Kota Medan