FSKB Tuntut Penuntasan Kasus HKBP

Jakarta, (Analisa).

 Ratusan aktifis yang tergabung dalam Forum Solidaritas Kebebasan Beragama, melakukan aksi protes menolak kekerasan di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (19/9).

Mereka meminta pemerintah mengusut tuntas pelaku teror kebebasan beragama, seperti yang terjadi terhadap pemuka  Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), di Pondok Timur Bekasi beberapa waktu lalu.

Ratusan orang dari Forum Solidaritas Kebebasan Beragama menuntut pemerintah menuntaskan kasus penyerangan dua orang dari jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBO) Bekasi, Minggu (12/9). Massa dari Forum solidaritas Kebebasan Beragama (FSKB) melakukan demonstrasi di depan Istana Presiden, Minggu.

Seperti diwartakan, dua orang dari jemaat HKBP terluka, yakni Asia Lumban Toruan (50) dan Pendeta Luspida Simanjuntak (40).

Selain itu, mereka juga menuntut pemerintah merevisi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

Tampak beberapa artis, tokoh agama, tokoh hak asasi manusia (HAM), dan budayawan, seperti Glen Fredly, Jajang C. Noor, dan Inayah Wahid Putri dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, mengatakan bahwa aksi damai FSKB bertujuan mengingatkan publik untuk menolak kekerasan atas nama agama. "Aksi ini juga merupakan bentuk dukungan masyarakat kepada Polri untuk menindak pelaku-pelaku penusukan di Bekasi dan kekerasan memakai agama di mana pun," kata Usman.

Polri ke depan tak boleh ragu-ragu dalam bertindak, dengan membiarkan aksi main hakim sendiri kelompok-kelompok yang mengklaim kaum mayoritas, katanya.

Usman menegaskan SKB tersebut harus direvisi karena mencerminkan sikap negara yang jadi tidak netral karena hanya berdasarkan pada hitungan mayoritas, minoritas dalam hal izin mendirikan rumah ibadah. "Padahal mayoritas tidak berarti selalu yang benar. Logika ini berbahaya karena sering melanggar hak-hak yang lemah dan minoritas," katanya. (Ant)