Polisi Jangan Mau Diperalat

KUPANG, POS KUPANG. com — Aparat Polri di Kabupaten Flores Timur (Flotim) diminta agar jangan mau diperalat oleh kepentingan elite politik tertentu terkait rencana pembentukan Kabupaten Adonara.

Demikian penegasan beberapa tokoh asal Adonara, Flores Timur (Flotim) dan wadah berhimpun keluarga Flotim di luar NTT, Sabtu (18/9/2010).

Pernyataan senada dikemukakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Perwakilan NTT.

Mereka menanggapi berita harian ini tentang tindakan aparat Polsek Adonara Timur dan Pospol Witihama yang membubarkan paksa sarasehan di Witihama, Kecamatan Witihama, Adonara, Flores Timur, Jumat (17/9/2010).

Mereka menegaskan bahwa sarasehan yang dilaksanakan di Witihama itu bertujuan untuk mencari simpul konsep pembangunan Adonara. Sarasehan itu bukan kegiatan politik untuk merongrong persatuan dan kesatuan bangsa.

Karena itu, aparat keamanan harusnya menjamin keamanan bagi setiap anak Adonara untuk berdiskusi, menyamakan pandangan guna menemukan konsep yang tepat bagi pembangunan daerahnya. Sarasehan atau bentuk diskusi apa pun harusnya dijamin keamanannya, bukan disikapi secara represif.

Walhi dan Kontras dalam pernyataan sikapnya yang dikirim ke Pos Kupang, Sabtu (18/9/2010), menilai tindakan aparat Polsek Adonara Timur dan Pospol Witihama itu melanggar aturan. Sesuai pasal 24 (1) UU  39 Tahun 1999 tentang HAM, setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat dan berserikat untuk maksud-maksud damai.

"Pembubaran sarasehan tersebut sangat bertentangan dengan peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009  tentang  Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri," tulis Manajer Program Walhi NTT, Herry Naif dan Koordinator Kontras NTT, Martin Salu.

Kegiatan sarasehan tersebut  adalah kontribusi riil dari anak-anak Adonara yang bertanggung jawab terhadap proses pembangunan yang dilakukan di Pulau Adonara. "Kegiatan itu sangat positip agar warga Adonara tidak hanya sekadar berjuang untuk membentuk kabupaten, tetapi perlu secara dini membahas konsep-konsep pembangunan yang akan ditawarkan kepada pemerintah kelak. Berbagai pengalaman pemekaran di wilayah lain yang kemudian menemui banyak kendala karena sejak awal tidak dikaji secara serius," kata Naif dan Salu.

Takut Beda Pendapat
Yosep Libu Sili, salah seorang putra Adonara Barat yang berkarya di Hokeng, menilai, ada pihak-pihak tertentu yang takut terjadi perbedaan pendapat yang dikhawatirkan akan memperlambat realisasi pembentukan Kabupaten Adonara.

"Orang-orang seperti ini takut tidak dapat apa-apa dan takut tidak jadi apa-apa kalau Adonara masih lama baru jadi kabupaten. Sarasehan itu untuk mendiskusikan hal- hal yang lebih strategis dalam membangun Adonara, bukan sebatas nafsu membentuk kabupaten baru saja," tegasnya.

Karena itu dia meminta aparat kepolisian tidak terjebak dan diperalat oleh elite-elite politik yang takut bayangan.

"Saya baca di koran, polisi katakan bahwa setiap ada pertemuan yang melibatkan orang banyak musti beritahu polisi, apakah orang ke ibadah di gereja, masjid atau pura musti begitu juga? Yang benar saja," katanya.

Kecaman senada dikeluarkan Ikatan Keluarga Tuak Ehan-Jakarta. Ikatan ini merupakan wadah berhimpun warga asal Bama, Blepanawa, Kawalelo, Lewokluok, Lamika, Watotika Ile, Kabupaten Flores Timur yang bermukim di Jakarta.

Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Yohanes Kao Mukin (ketua) dan Emiliana Barek Kabelen (sekretaris), ditegaskan bahwa kegiatan diskusi, seminar atau apa pun bentuknya, apalagi yang berbau ilmiah, adalah wujud kebebasan berekspresi, berkumpul dan menyatakan pendapat yang dijamin UU dan telah menjadi bagian dari hak-hak sipil dan politik setiap warga negara. Karena itu tidak beralasan bagi polisi untuk membubarkan paksa sarasehan di Adonara itu.

Beberapa tokoh masyarakat asal Witihama, juga mengecam pembubaran sarasehan oleh aparat kepolisian. Mereka menilai, tindakan oknum-oknum tertentu di Witihama yang memrotes pelaksanaan sarasehan tersebut adalah mereka yang tidak mengerti, atau mungkin terhasut oleh elite-elite tertentu yang sedang berseberangan dengan kekompok penggagas sarasehan.

Selain itu, mereka juga sangat menyesalkan kepala desa setempat yang tidak bisa bertindak sebagai tuan rumah yang baik bagi sebuah kegiatan yang strategis bagi kepentingan semua masyarakat Adonara.

"Kalau sampai kepala desa juga minta musti izin dia dulu, saya kira itu sudah tidak betul lagi," kata seorang tokoh Witihama yang menelepon Pos Kupang, Minggu (19/9/2010). Dia meminta Pos Kupang tidak usah mempublikasikan namanya dengan alasan tidak etis.

"Kita punya anak sudah banyak yang jadi orang besar, orang penting semua, kok masih kasi tunjuk perilaku yang tidak demokratis seperti itu. Malu. Soal setuju tidak setuju itu kan wajar-wajar saja. Kenapa orang datang diskusi untuk kebaikan kita semua kok diusir begitu," katanya. (amy)