Imam tak tepat jadi kapolri

JAKARTA – Latar belakang Komjen Imam Sudjarwo yang berasal dari kesatuan Brigade Mobil (Brimob) membuat kalangan aktivis hak asasi manusia khawatir. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, budaya  kekerasan  sulit dipisahkan dari sosok Imam Sudjarwo. ”Saat ini tantangan Polri adalah soal penegakan HAM, sosok Imam yang memiliki background Brimob tidak tepat. Kami khawatir pengusutan kasus-kasus HAM ke depan makin tidak jelas,” ujar Koordinator Kontras Jakarta, Haris Azhar, pagi tadi.

Imam mengawali karier sebagai PaStaf SatBrimob Kodak XIV Sulselra (1980), Danton SatBrimob Kodak XIV Sulselra (1980), Wadanki 35 Sat Brimob Kodak Sulselra (1981), PJS Danki 35 SatBrimob Kodak XIV Sulselra (1982), Danki 35 Sat Brimob Kodak XIV Sulsera (1983).

Kemudian Danki 5275 Sat Brimob Polda Sulselra (1984), Wadansat Brimob Polda Sulselra (1987), Wadansat Brimob Polda Jateng (1989), Dansat Brimob Polda Kaltim (1991), Dansat Brimob Polda Kalbar (1993), Kasubag Ops Binsis Sesdit Samapta Polri (1996).

Lalu menjadi Pabandya Orgs Ops Korbrimob (1997), Kapolres Banyuwangi (1999), Kabid Ops Korbrimob Polri (2000), Danmen IV Korbrimob (2001), Kasat I Gegana Korbrimob Polri (2003), Waka Korbrimob Polri (2008), Komandan Korps Brimob (2009).

Kontras menilai Komjen Pol Imam Sudjarwo memiliki catatan buram saat menjadi Kapolres Banyuwangi pada 1999. Ketika itu, sebagai Kapolres Imam gagal mencegah terjadinya kasus pembunuhan terhadap ratusan orang yang dituduh dukun santet. ”Saat kasus itu mencuat Imam Sudjarwo adalah Kapolres di Banyuwangi, dia gagal mencegah aksi kekerasan yang menelan korban jiwa,” ujar Haris Azhar.

Selain gagal mencegah, Kontras juga menilai Imam Sudjarwo gagal melakukan penindakan hukum terhadap para pelaku pembunuhan dukun santet tersebut. ”Warga sudah menyerahkan pelakunya ke polisi tapi dibebaskan dengan alasan tidak waras atau gila, tidak ada penegakan hukum saat itu di Banyuwangi,” tambah haris.

Imam sebagai kapolres pun dinilai gagal memberikan penjelasan kepada publik tentang informasi peristiwa tersebut. ”Sampai sekarang tidak ada penjelasan dari dia kepada publik, padahal publik berhak tahu tentang kasus yang sebenarnya,” tegas Haris.

Sebagaimana diketahui, pada 1999 Imam Sudjarwo menjabat sebagai Kapolres Banyuwangi. Saat itu terjadi pembunuhan terhadap 117 orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sebanyak 80 warga Nahdlatul Ulama (NU) juga dilaporkan tewas dalam kurun waktu itu.  

Dukungan penguasa
Sementara pengamat kepolisian berharap kapolri yang baru memiliki kemandirian dalam memimpin, tanpa harus bergantung atau didukung oleh penguasa. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar. Ini karena di Indonesia masih ada orang-orang yang harus mendapatkan dukungan dari penguasa untuk bisa tampil dan terpilih menjadi seorang pemimpin.

”Ya begitulah, termasuk untuk calon kapolri ini, di negeri kita masih mengharapkan dukungan dari atas, dari penguasa untuk bisa menjadi dan tampil sebagai seorang pemimpin," ujar Bambang. Seharusnya menurut mantan anggota Polri ini seorang pemimpin yang benar tidak memerlukan hal tersebut. "Pemimpin yang baik hanya memerlukan dukungan dari bawah untuk bisa tampil bukan dukungan dari atas," katas peraih bintang Bhayangkara Nararya ini.

Untuk calon kapolri yang akan datang, Bambang mengatakan tokoh yang dipilih haruslah orang yang tidak mempunyai loyalitas kepada penguasa, melainkan hanya kepada institusi Polri.

"Sebab kalau hanya didukung dari atas tanpa dukungan dari bawah, nanti jika pemimpin itu menerapkan kebijakankebijakan tertentu maka yang di bawah akan menerima dengan secara terpaksa, " kata dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini.

Dirinya juga menyatakan sosok yang paling tepat untuk tampil sebagai kapolri yang mendatang adalah sosok yang sudah merintis karir dari bawah dan mempunyai banyak pengalaman memimpin di semua wilayah. inl-ip

Imam tak tepat jadi kapolri

JAKARTA – Latar belakang Komjen Imam Sudjarwo yang berasal dari kesatuan Brigade Mobil (Brimob) membuat kalangan aktivis hak asasi manusia khawatir. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, budaya  kekerasan  sulit dipisahkan dari sosok Imam Sudjarwo. ”Saat ini tantangan Polri adalah soal penegakan HAM, sosok Imam yang memiliki background Brimob tidak tepat. Kami khawatir pengusutan kasus-kasus HAM ke depan makin tidak jelas,” ujar Koordinator Kontras Jakarta, Haris Azhar, pagi tadi.

Imam mengawali karier sebagai PaStaf SatBrimob Kodak XIV Sulselra (1980), Danton SatBrimob Kodak XIV Sulselra (1980), Wadanki 35 Sat Brimob Kodak Sulselra (1981), PJS Danki 35 SatBrimob Kodak XIV Sulselra (1982), Danki 35 Sat Brimob Kodak XIV Sulsera (1983).

Kemudian Danki 5275 Sat Brimob Polda Sulselra (1984), Wadansat Brimob Polda Sulselra (1987), Wadansat Brimob Polda Jateng (1989), Dansat Brimob Polda Kaltim (1991), Dansat Brimob Polda Kalbar (1993), Kasubag Ops Binsis Sesdit Samapta Polri (1996).

Lalu menjadi Pabandya Orgs Ops Korbrimob (1997), Kapolres Banyuwangi (1999), Kabid Ops Korbrimob Polri (2000), Danmen IV Korbrimob (2001), Kasat I Gegana Korbrimob Polri (2003), Waka Korbrimob Polri (2008), Komandan Korps Brimob (2009).

Kontras menilai Komjen Pol Imam Sudjarwo memiliki catatan buram saat menjadi Kapolres Banyuwangi pada 1999. Ketika itu, sebagai Kapolres Imam gagal mencegah terjadinya kasus pembunuhan terhadap ratusan orang yang dituduh dukun santet. ”Saat kasus itu mencuat Imam Sudjarwo adalah Kapolres di Banyuwangi, dia gagal mencegah aksi kekerasan yang menelan korban jiwa,” ujar Haris Azhar.

Selain gagal mencegah, Kontras juga menilai Imam Sudjarwo gagal melakukan penindakan hukum terhadap para pelaku pembunuhan dukun santet tersebut. ”Warga sudah menyerahkan pelakunya ke polisi tapi dibebaskan dengan alasan tidak waras atau gila, tidak ada penegakan hukum saat itu di Banyuwangi,” tambah haris.

Imam sebagai kapolres pun dinilai gagal memberikan penjelasan kepada publik tentang informasi peristiwa tersebut. ”Sampai sekarang tidak ada penjelasan dari dia kepada publik, padahal publik berhak tahu tentang kasus yang sebenarnya,” tegas Haris.

Sebagaimana diketahui, pada 1999 Imam Sudjarwo menjabat sebagai Kapolres Banyuwangi. Saat itu terjadi pembunuhan terhadap 117 orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sebanyak 80 warga Nahdlatul Ulama (NU) juga dilaporkan tewas dalam kurun waktu itu.  

Dukungan penguasa
Sementara pengamat kepolisian berharap kapolri yang baru memiliki kemandirian dalam memimpin, tanpa harus bergantung atau didukung oleh penguasa. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar. Ini karena di Indonesia masih ada orang-orang yang harus mendapatkan dukungan dari penguasa untuk bisa tampil dan terpilih menjadi seorang pemimpin.

”Ya begitulah, termasuk untuk calon kapolri ini, di negeri kita masih mengharapkan dukungan dari atas, dari penguasa untuk bisa menjadi dan tampil sebagai seorang pemimpin," ujar Bambang. Seharusnya menurut mantan anggota Polri ini seorang pemimpin yang benar tidak memerlukan hal tersebut. "Pemimpin yang baik hanya memerlukan dukungan dari bawah untuk bisa tampil bukan dukungan dari atas," katas peraih bintang Bhayangkara Nararya ini.

Untuk calon kapolri yang akan datang, Bambang mengatakan tokoh yang dipilih haruslah orang yang tidak mempunyai loyalitas kepada penguasa, melainkan hanya kepada institusi Polri.

"Sebab kalau hanya didukung dari atas tanpa dukungan dari bawah, nanti jika pemimpin itu menerapkan kebijakankebijakan tertentu maka yang di bawah akan menerima dengan secara terpaksa, " kata dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini.

Dirinya juga menyatakan sosok yang paling tepat untuk tampil sebagai kapolri yang mendatang adalah sosok yang sudah merintis karir dari bawah dan mempunyai banyak pengalaman memimpin di semua wilayah. inl-ip