Kejaksaan Dijangkiti Watak Feodalistik

TEMPO Interaktif, Jakarta – Ketua Dewan Pengurus Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, mengatakan ‘penyakit’ yang menjangkiti Kejaksaan saat ini adalah watak feodalistik, di mana pengambilan keputusan berada di tangan atasan.

Menurut Usman, hal ini banyak dipengaruhi dari Jaksa Agung masa Orde Baru, di mana Presiden Soeharto yang berasal dari militer banyak menunjuk Jaksa Agung yang juga berasal dari militer.

"Kultur militer itu baik bila diterapkan di organisasi militer, namun di organisasi sipil, apalagi penegak hukum, hal ini sangat berbahaya," ujar Usman saat dihubungi via telepon malam ini.

Budaya feodalistik ini juga ditambah dengan subordinasi kejaksaan di bawah eksekutif yang terjadi sejak awal Orde Baru. "Independensi tidak seluas sebelumnya di era demokrasi parlementer, di mana kejaksaan tidak bisa dikendalikan kekuatan politik," ujar Usman menambahkan.

Ia mencontohkan Kejaksaan Agung yang sangat independen di bawah kepemimpinan Jaksa Agung R. Soeprapto. Ketika ada kasus yang terkait dengan parpol, kementerian, atau militer, ujar Usman, Soeprapto tidak segan dalam menangani kasusnya.

"Yang dibutuhkan seorang calon Jaksa Agung saat ini adalah keberanian melaksanakan tugas tanpa terpengaruh arahan pemerintah," ujar Usman menambahkan.

Terkait perbandingan kinerja orang yang pernah menjabat Jaksa Agung dari karir maupun nonkarir sendiri, Usman menilai Jaksa Agung dari nonkarir banyak yang memiliki integritas yang menonjol.

"Selain Soeprapto, ada Baharudin Lopa. Meski masa jabatannya singkat, namun mampu membangun kepercayaan masyarakat," ujarnya. "Tapi banyak juga Jaksa Agung nonkarir yang tidak menunjukkan prestasi menonjol," ujarnya menambahkan.

Kejaksaan Dijangkiti Watak Feodalistik

TEMPO Interaktif, Jakarta – Ketua Dewan Pengurus Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, mengatakan ‘penyakit’ yang menjangkiti Kejaksaan saat ini adalah watak feodalistik, di mana pengambilan keputusan berada di tangan atasan.

Menurut Usman, hal ini banyak dipengaruhi dari Jaksa Agung masa Orde Baru, di mana Presiden Soeharto yang berasal dari militer banyak menunjuk Jaksa Agung yang juga berasal dari militer.

"Kultur militer itu baik bila diterapkan di organisasi militer, namun di organisasi sipil, apalagi penegak hukum, hal ini sangat berbahaya," ujar Usman saat dihubungi via telepon malam ini.

Budaya feodalistik ini juga ditambah dengan subordinasi kejaksaan di bawah eksekutif yang terjadi sejak awal Orde Baru. "Independensi tidak seluas sebelumnya di era demokrasi parlementer, di mana kejaksaan tidak bisa dikendalikan kekuatan politik," ujar Usman menambahkan.

Ia mencontohkan Kejaksaan Agung yang sangat independen di bawah kepemimpinan Jaksa Agung R. Soeprapto. Ketika ada kasus yang terkait dengan parpol, kementerian, atau militer, ujar Usman, Soeprapto tidak segan dalam menangani kasusnya.

"Yang dibutuhkan seorang calon Jaksa Agung saat ini adalah keberanian melaksanakan tugas tanpa terpengaruh arahan pemerintah," ujar Usman menambahkan.

Terkait perbandingan kinerja orang yang pernah menjabat Jaksa Agung dari karir maupun nonkarir sendiri, Usman menilai Jaksa Agung dari nonkarir banyak yang memiliki integritas yang menonjol.

"Selain Soeprapto, ada Baharudin Lopa. Meski masa jabatannya singkat, namun mampu membangun kepercayaan masyarakat," ujarnya. "Tapi banyak juga Jaksa Agung nonkarir yang tidak menunjukkan prestasi menonjol," ujarnya menambahkan.

RATNANING ASIH