Setahun Rekomendasi Kasus Penghilangan Paksa

Meski tak spesifik disebutkan dalam pidato Presiden tentang delapan isu nasional baru-baru ini, tindak lanjut terhadap rekomendasi DPR terhadap kasus penghilangan orang secara paksa tetap dinantikan publik.

Belum lekang dari ingatan, DPR (2004-2009) melalui sidang paripurna 28 September 2009 mengeluarkan empat rekomendasi politik mendorong penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa kurun 1997-1998.

Rekomendasi pertama meminta Presiden membentuk pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc. Yang kedua merekomendasikan agar Presiden serta segenap institusi pemerintah dan pihak terkait segera mencari 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang.

Yang ketiga merekomendasikan agar pemerintah merehabilitasi dan memberi kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang. Yang keempat merekomendasikan agar pemerintah segera meratifikasi konvensi Anti-penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Presiden menentukan

Terhadap keempat rekomendasi itu, kepastian sikap dan peran Presiden SBY amat menentukan sebab secara tersurat dan tersirat, sidang paripurna DPR tegas memutuskan dan meminta Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara menindaklanjuti rekomendasi itu. Namun, kenyataan belum sesuai dengan yang diharapkan keluarga korban.

Presiden hingga hari ini belum menyatakan sikap akan menindaklanjuti keempat rekomendasi. Meminjam bahasa para korban: ”presiden masih diam”. Kalimat yang terdiri dari tiga kata itu sudah tiga tahun ini, sejak 2007, selalu diusung para korban saban beraksi di depan Istana Negara setiap Kamis sore.

Sekilas kita dapat memilah dan memilih peran penting Presiden menindaklanjuti keempat rekomendasi. Rekomendasi pertama sepenuhnya di tangan Presiden sebab wewenang mengeluarkan keputusan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana keppres untuk pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok dan Timor Timur di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Untuk rekomendasi kedua, Presiden selaku kepala pemerintahan tentu berwenang penuh mengoordinasikan Polri, TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), dan lembaga negara lain seperti Kejaksaan Agung memaksimalkan pencarian ke-13 korban yang masih hilang. Ketegasan Presiden diperlukan demi memastikan lembaga tersebut mau kooperatif sebab berdasarkan keterangan para korban yang berhasil kembali dari penculikan, mereka pernah disekap dan dipenjarakan di Markas Kopassus, kepolisian, dan instansi lain yang tak diketahui namanya.

Untuk rekomendasi ketiga, Presiden mestinya dapat ambil model pemulihan bagi korban pelanggaran HAM di negara lain. Bila dilandaskan pada iktikad baik dan referensi memadai, niscaya Presiden akan mampu menyinergikan dan meyakinkan lembaga negara lain mencari format pemulihan bagi para korban. Setidaknya pemerintah dapat belajar dari upaya pemulihan korban di Afrika Selatan, Amerika Latin, bahkan model pemulihan di Gwangju, Korea Selatan, yang berani bangun monumen nasional serta menghukum dua mantan presiden yang bertanggung jawab dalam penyerangan dan pembunuhan masyarakat Gwangju pada Mei 1980.

Namun, penting dipertegas: model pemulihan dalam bentuk apa pun harus diberikan sebagai hak korban, tidak bersifat belas kasih, dan tidak menggantikan upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran, khususnya melalui mekanisme pengadilan HAM.

Terakhir mengenai rekomendasi keempat. Baru-baru ini (Senin, 27/9) pemerintah membuat langkah positif melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Ini patut kita apresiasi. Selanjutnya Indonesia berpeluang mencetak sejarah menjadi negara ke-20 yang meratifikasi dari 84 negara yang baru sekadar menandatangani konvensi ini sehingga syarat 20 negara bisa terpenuhi untuk memberlakukan konvensi yang tak berlaku surut itu.

Berikutnya penting bagi pemerintah memastikan DPR menggulirkan konvensi ini dalam pembahasan menuju ratifikasi. Untuk memudahkan, pemerintah dapat menggandeng organisasi penggiat HAM yang selama ini fokus mendorong ratifikasi konvensi ini. Setidaknya melibatkan mereka dalam dengar pendapat, pembuatan draf versi masyarakat sipil, bahkan lebih jauh lagi: dilibatkan ke dalam tim sebagai perwakilan masyarakat sipil.

DPR harus proaktif

Meski DPR (2004-2009) telah berganti, sikap kritis dan proaktif anggota DPR (2009-2014) tetap penting. Tentu tanggung jawab DPR tak sekadar mengeluarkan rekomendasi dan menyerahkannya kepada presiden, DPR secara kelembagaan tetap bertanggung jawab memastikan tindak lanjut keempat rekomendasi itu.

Salah satu inisiatif yang dapat diambil DPR periode ini ialah membentuk tim ad hoc untuk mengawasi pelaksanaan keempat rekomendasi. Belajar dari kekurangefektifan tim serupa yang dibentuk demi mengawal rekomendasi kasus Bank Century, tim ini harus lebih proaktif: secara berkala mencatat dan merekomendasi proses yang berjalan, termasuk, jika perlu, merekomendasikan kepada pemimpin Dewan atau Komisi III DPR yang membidangi hukum dan HAM, memanggil pemerintah untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan sejauh mana proses yang sudah dilakukan.

Tanpa itu, publik akan menilai bahwa DPR cenderung lepas tangan. Terlepas dari banyaknya anggota Dewan yang baru terpilih dan tak cukup memahami persoalan ini, kewajiban institusi tetap melekat di dalamnya. Momentum ini seharusnya mampu diterjemahkan segenap anggota Dewan untuk memulihkan secara bertahap kepercayaan publik yang mulai melemah. Publik mulai kehilangan simpati karena DPR dipandang lebih meributkan perbaikan gedung ketimbang ribut memperjuangkan isu kerakyatan dan kemanusiaan.

Pergantian Jaksa Agung dan kepala Polri menjadi satu dari delapan isu nasional yang disorot Presiden. Institusi yang menjadi ujung tombak penegakan hukum dan HAM itu beberapa tahun belakangan hampir kehilangan kepercayaan publik.

Momentum pergantian perkakas utama lembaga penegak hukum dan HAM itu diharapkan mampu mengakselerasi harapan publik, khususnya para korban pelanggaran HAM. Kelanjutan keempat rekomendasi itu akan jadi ujian pertama jelang setahun usia Kabinet Indonesia Bersatu II. Mampukah Jaksa Agung dan Kapolri baru mengungkap kasus penghilangan paksa aktivis periode 1997-1998? Bergantung kepada Presiden kita.

Chrisbiantoro Anggota Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)