Timur Ternyata Pernah Menolak Diperiksa Komnas HAM

TEMPO Interaktif, Jakarta – Calon Kapolri Komisaris Jenderal Timur Pradopo ternyata pernah menolak diperiksa Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM pada peristiwa Trisakti, 12 Mei 1998. Saat itu Timur masih menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat. "Kalau di Trisakti itu cukup mencolok ya. Dalam arti peristiwa trisakti belum selesai dan dia pada saat itu menjadi Kapolres Jakarta Barat. Terlibat atau tidak dia pasti tahu banyak karena dia ada dalam struktur komando," kata Koordinator Kontras Haris Azhar kepada Tempo, Senin (5/10).

Sayangnya, lanjut Haris, pada saat pemeriksaan oleh Komnas HAM di tahun 2002 terkait peristiwa Trisakti, Timur menolak untuk hadir. "Dari situ terlihat dia tidak kooperatif untuk penegakan hukum dalam bidang HAM."

Meskipun menurut Haris dugaan keterlibatannya Timur dalam tragedi itu mungkin tidak ada karena yang melakukan operasi terhadap mahasiswa saat itu adalah ABRI. Tapi paling tidak Haris meyakini, Timur tahu persis jalur pertanggungjawaban tragedi itu karena dia berada dalam struktur komando.

"Dia saat itu Kapolres (Jakarta Barat) bukan pasukan. Tapi dia ada distrutur komando, dia menjalankan protap yang dibikin untuk amankan sidang umum MPR kala itu. Jadi dia tahu gimana alur perintah saat terjadi kekerasan itu. Dia bukan terlibat tapi dia tahu alur komando dan pertanggungjawaban dari peristiwa itu," kata Haris.

Karena itulah, Haris menilai, KOMNAS HAM bisa minta klarifikasi kepada Presiden terhadap pencalonan Timur. "Apakah pencalonan ini mendukung kerja Komnas HAM atau justru kontra profduktif."

Lebih lanjutnya, Haris berpendapat, jika Timur kemudian ditetapkan sebagai Kapolri, maka dia memiliki tanggung jawab yang besar. Baik itu atas harapan publik atas intsitusi polri ke depannya, lalu pembangunan institusi Polri dimana anggotanya bertindak damai dan tidak melakukan kekerasan. Lalu melakukan transparasi atas sejumlah kasus seperti dugaan rekening gendut. Serta menuntaskan secara berkadilan kasus-kasus seperti Buol, Wamena, dan yang terpenting adalah membangun Densus 88 yang memberantas terorisme namun tetap menghormati hak asasi manusia. "Itu bukan sesuatu yang mustahil. Hanya tinggal dia punya kemauan atau tidak."

MUTIA RESTY