Penerapan Protap (No.1/X/2010) Membutuhkan Aturan Rinci dan Profesionalisme Anggota Polri

Penerapan Protap (No.1/X/2010) Membutuhkan Aturan Rinci dan Profesionalisme Anggota Polri

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Polri menempuh sejumlah tahapan sebelum menerapkan Prosedur Tetap No. 1/X/2010 tentang Penanganan Anarkisme Massa yang dikeluarkan oleh Mabes Polri pada 8 Oktober 2010. Kami menilai keluarnya Protap ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan kepolisian dalam mengeluarkan Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No 8 tahun 2009 tentang Implentasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Protap ini mengakomodir prinsip dan aturan-aturan di sektor HAM, baik hukum nasional maupun internasional sebagai dasar hukum dan bentuk pengakuan dari hukum HAM di tubuh Polri. Namun kami mengkhawatirkan timbulnya multifasir pelaksanan dari Protap ini. Di satu sisi, aturan ini dapat menjadi basis aturan yang mendukung keberanian Polri dalam menghadapi anarkisme kekerasan oleh preman dan kelompok kekerasan. Namun pada sisi lainnya, bukan tidak mungkin hal ini juga bisa diberlakukan kepada kelompok-kelompok pro demokrasi yang kerap menyuarakan hak asasi.

Lahirnya Protap ini juga masih belum mampu menjawab kekhawatiran kami atas kemampuan Polri dalam menerapkan aturan ini secara baik. Hal ini dengan mempertimbangkan konteks real praktek pemolisian di Indonesia; diantaranya kemampuan kerja pengamanan dan penegakan hukum yang tidak profesional, birokrasi yang diskriminatif terutama terhadap masyarakat lemah, mekanisme koreksi (akuntabilitas) yang tidak independen dan ketertutupan informasi bagi masyarakat atas kerja Polri.

Oleh karenanya kami meminta Polri untuk memperhatikan beberapa hal krusial dan menyiapkan sejumlah perangkat sebelum mengimplementasikan Protap ini.

Pertama, membangun pemahaman pada anggota-anggota kepolisian atas aturan-aturan lain yang terintegrasi dengan nilai HAM. Dalam penerapannya, Protap ini harus di integrasikan dengan protap lain seperti protap penanganan unjuk rasa, dan peraturan internal lain yang mengimplementasikan standar HAM.

Kedua, membuat aturan yang lebih jelas dan lebih rinci khususnya terkait dengan tahapan pelaksanaan tindakan Polri serta perangkat untuk mengawal dan mengawasiimplementasi protap sebagai prasyarat pemberlakuan Protap ini.Ukuran terhadap batasan asas proporsionalitas, keabsahan, kebutuhan dan akuntabilitas harus dijalankan dengan ketat sesuai pada situasi terhadinya tindakan penggunaan kekuatan. Tindakan kekuatan harus sekecil mungkin membatasi kerusakan atau kebebasan hak manusia.

Ketiga, mempersiapkan kemampuan anggota Polri untuk mengukur jenis dan perubahan situasi yang patut direspon oleh anggota kepolisian dengan memperhatikan tujuan-tujuan yang sah; serta membuat pelatihan penggunaan kekuatan termasuk penggunaan senjata kepada anggota Polri agar bisa menjalankan protap sesuai asas dan tahapan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan salah tafsir dari aturan yang ada dan menimbulkan ekses negatif dari tindakan yang diambil.

Keempat, memperketat sistem pengawasan dalam penggunaan kekuatan Polri. Harus ada sistem pertanggujawaban internal mulai dari prosedur pelaporan bagi anggota Polri yang melakukan tindakan ini hingga mekanisme penyelidikan secara internal setelah terjadinya insiden jika terjadi penyalahgunaan kewenangan. Lebih jauh, Polri bahkan harus membuka diri terhadap pengawasan eksternal sebagai bentuk transparansi publik.

Kelima, transparansi dan kontrol terhadap penggunaan alat-alat kekuatan termasuk jenis senjata yang digunakan. Harus ada batasan yang ketat agar penggunaan kekuatan senjata diambil sebagai langkah akhir yang bertujuan untuk melumpuhkan serta meminimalkan resiko yang membahayakan dan bukan justru menjustifikasi extra judicial killing.

Protap ini tentunya bukan suatu yang baku. Saran dan kritikan masukan dari masyarakat dalam implementasi protap ini bukan sebagai suatu hal yang akan menggagalkan salah satu kebijakan polri in, namun harus dianggap sebagai upaya partisipasi publik dalam mengawal kebijakan Polri. Seiring dengan ini, Polri harus segera melakukan sosialisasi atau uji publik atas cara-cara dan tahapan pengamanan yang menghormati HAM, terutama di wilayah dimana potensi dan keresahan masyarakat atas kekerasan terjadi.

Jakarta, 15 Oktober 2010
Badan Pekerja,

 

Haris Azhar, Koordinator
Indria Fernida, Wakil Koordinator
Sinung Karto, Divisi Politik, Hukum dan HAM