Evaluasi Menyeluruh KIB II

Oleh A Musthofa Asrori

Pasca-pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, 20 Oktober 2009, muncul dinamika luar biasa dalam kehidupan negara yang telah berusia 65 tahun. Kini, waktu setahun terasa singkat dan menyenangkan bagi mereka yang menikmatinya. Namun, bisa terasa lama dan menyiksa bagi mereka yang menanggung beban kehidupan yang tiada terkira.

Rabu, 20 Oktober 2010, Jakarta seakan mengeluarkan aura kecemasan di tengah isu demontrasi besar-besaran yang sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu. Berbagai pernyataan berusaha mereduksi kesan publik yang berkembang mengenai rencana aksi unjuk rasa bertepatan dengan setahun pemerintahan SBY-Boediono itu.

Memang, aksi-aksi unjuk rasa tersebut telah terjadi beberapa hari menjelang setahun kabinet. Yati Andriani, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Kontras, misalnya, menggelar aksi "Pasar Lupa" bersama para aktivis, korban, dan keluarga korban pelanggaran HAM di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Aksi itu mestinya dimaknai sebagai kritik konstruktif bagi pemerintahan SBY yang seolah "lupa" akan hak dan tuntutan keluarga korban.

Tak berlebihan kiranya jika Yati menyebut Kabinet SBY sebagai "kabinet pelupa". Pasalnya, janji pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM hingga kini belum terealisasi. Bahkan kasus penculikan paksa yang jelas-jelas telah direkomendasi DPR setahun lalu pun tak digubris. Sifat lupa tersebut juga tampak dari banyaknya persoalan HAM yang hingga kini terus menumpuk tanpa pernah ada penyelesaian. Bahkan, pemerintah seolah juga "lupa" akan berbagai kasus tersebut hingga menuai protes keras dari publik.

"Kabinet pelupa" yang hingga kini masih memegang tampuk kekuasaan negara jelas melukai perasaan rakyat dengan dilupakannya persoalan HAM yang hingga kini dipetieskan dari proses penegakan hukum yang jujur dan adil. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dinilai lebih pantas disebut dengan "kabinet pelupa" lantaran mengabaikan apa yang telah menjadi sumpah dan janji mereka di hadapan anggota dewan.

Tampaknya, SBY tidak hanya secara sengaja melupakan kasus-kasus tersebut, tetapi tampaknya juga piawai mengalihkan isu dari satu kasus ke kasus lainnya dengan target mengaburkan persoalan hingga akhirnya dilupakan. Tercatat, sejumlah kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum ada kejelasan nasibnya. Sebut saja, kasus penculikan paksa pada 1997-1998. Lalu, pelanggaran HAM serius pada 1965/1966, kasus Tanjung Priok (1984), kasus Talangsari (1989), kasus Trisakti (1998), tragedi Semanggi I dan II (1998-1999), hingga kasus Munir (2004).

Menurut hemat penulis, sikap lupa ini merupakan dampak dari hiruk-pikuk politik transaksional. Tak heran jika Kontras mendesak untuk secepatnya dibentuk Peradilan HAM. Rasanya, desakan ini masih dalam batas kewajaran dan dalam koridor yang tak berlebihan.

Aksi-aksi demikian patut diapresiasi pemerintah sebagai manifestasi peran serta masyarakat dalam rangka check and belances, bukan malah dilihat sebagai bentuk tindakan makar yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Di alam demokrasi, meminjam bahasa Boni Hargens, harmoni dan stabilitas mengandaikan nihil konflik. Namun, demokrasi tak bisa hadir tanpa konflik. Konflik adalah realitas inheren dari kehidupan sosial. (Duverger, 1979) Pada titik ini, pemimpin harus menguasai manajemen konflik.

Masih segar dalam ingatan kita akan berbagai dinamika dramatis selama setahun pemerintahan SBY. Harian Kompas misalnya, menduga ada enam isu utama yang banyak menyita perhatian publik. Pertama, kasus penyelamatan Bank Century yang muncul pada November 2008 saat SBY masih bersama JK. Centurygate ditengarai merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun. Isu itu terus menggelinding laksana bola salju dan puncaknya DPR melantik Pansus Century pada Desember 2009, pada era SBY-Boediono. Centurygate akhirnya "menelan korban", yakni terpentalnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dari kabinet SBY jilid II.

Kedua, kasus kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isu ini mengemuka tatkala SBY berwacana tentang KPK yang terkesan sebagai lembaga superbody dan lahirnya istilah "Cicak versus Buaya" seiring dengan mencuatnya kasus mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji yang langsung disambut reaksi publik demikian masif. Kemudian, terkait dugaan pelemahan KPK lewat kriminalisasi kasus pimpinan KPK Bibit-Chandra, yang hingga kini masih kontroversi. Ketiga, kasus mafia pajak. Isu ini bermula dari pengungkapan Kabareskrim Susno Duadji soal mafia pajak yang melibatkan aparat pajak Gayus Tambunan, oknum kepolisian, dan aparat penegak hukum lainnya.

Keempat, terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab). Organisasi ini mewadahi enam partai koalisi yang dipimpin langsung oleh SBY, dengan ketua pelaksana harian Aburizal Bakrie. Tak ayal, pemunculan Setgab menimbulkan kontroversi lantaran sering dinilai memiliki kewenangan laiknya pemerintah. Di antara anggota Setgab juga muncul ketidaknyamanan soal kepemimpinan Golkar. Hingga kini, isu ini masih terus berkecamuk.

Kelima, konflik perbatasan dengan Malaysia. Isu perbatasan dengan Negeri Jiran ini, walau temporal bersifat laten tapi bisa meledak sewaktu-waktu. Isu ini sempat menyita perhatian khalayak kala petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) RI ditangkap oleh Polis Diraja Malaysia di Perairan Tanjung Berikat. Gelora nasionalisme publik pun terbakar, sehingga Presiden SBY merasa perlu berpidato di Markas TNI untuk menyikapi masalah krusial ini.

Dan keenam, isu tentang Jaksa Agung. Munculnya isu itu berawal dari pengajuan uji materi UU terkait pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supandji oleh mantan Mensesneg era Gus Dur, Yusril Ihza Mahendra, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK menyatakan Hendarman Supandji tidak sah lagi menjadi Jaksa Agung sejak berlakunya keputusan MK.

Kini, pemerintahan SBY masih kelihatan pontang-panting mengerjakan PR yang tak kunjung selesai. Memang, setahun tak layak untuk dijadikan parameter berhasil-tidaknya kabinet, namun indikator keberhasilannya bisa dilihat pada tahun pertama. Yang jelas, Presiden seyogianya melakukan evaluasi secara menyeluruh agar perjalanan pemerintahan kedua sekaligus terakhirnya ini tidak linglung. ***

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah,
peneliti Ciganjur Centre Jakarta.