kasus papua harus diadili di pengadilan ham

Written by Redaksi Seruu.Com on Wednesday, 03 November 2010 14:41   

Jakarta, seruu.com – Pengungkapan peristiwa kekerasan yang sempat beredar luas lewat situs "youtube.com" harusnya dilakukan oleh tim independen yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan pelaku nantinya harus diadili di pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal tersebut disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Forum Kerja LSM Papua (Foker LSM Papua) dan Aliansi Mahasiswa Papua dalam siaran persnya, Rabu (03/11) siang ini.

KontraS, Foker LSM Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua juga menyatakan keraguan atas proses penyidikan yang dilakukan oleh TNI dalam kasus kekerasan dan penyiksaan yang dialami oleh warda Tinggi Nambut Papua tersebut.

" Kami meragukan proses penyidikan kasus ini bisa akuntabel karena tidak dilakukan melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang independen dan terbuka. Kelima tersangka pelaku penyiksaan hanya diproses melalui mekanisme peradilan Militer (sebagaimana yang diatur dalam UU nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Mekanisme ini sangat tidak tepat secara hukum maupun secara kontekstual." jelas mereka.

Menurut mereka, secara hukum, kekerasan yang terjadi didalam video Youtube jelas merupakan tindakan introgasi yang menggunakan kekerasan (Baca: Penyiksaan). Penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 UU nomor 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan UU no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana dipasal 9 disebutkan bahwa Penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Secara konteks, upaya UU peradilan militer tidak bisa diberlakukan mengingat memiliki sejumlah kelemahan; pertama, penyiksaan tidak diakomodir pengaturannya didalam KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer). Kedua, UU Permil sangat dominan dintervensi oleh Panglima TNI. Dengan kata lain tidak ada independensi Hakim dan aparat hukumnya. Ketiga, Mekanisme Permil tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik (unfair). Kami khawatir jika mekanisme Permil yang dikedepankan maka hanya akan menghukum aparat-aparat lapangan belaka. Tidak ada pertanggung jawaban komando atas peristiwa-peristiwa kekerasan di Papua dan tidak bisa mengkoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua.

"Lebih jauh proses ini dilakukan disaat dan pada kondisi dimana pengamanan oleh TNI dan Polri tetap diberlakukan secara ketat sehingga ruang gerak masyarakat sipil di Papua sangat minim." papar Haris dari KontraS.

Dalam catatan hasil pemantauan KontraS yang juga disebutkan dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa peristiwa penyiksaan terhadap warga di Tinggi Nambut Papua merupakan peristiwa berulang dengan metode penyiksaan yang sama. Sebelumnya, seorang aktivis Yawan Manase Wayeni dibunuh setelah mengalami penyiksaan pada tanggal 13 Agustus 2009 di Serui, dan Pembunuhan Opinus Tabuni pada peringatan hari pribumi internasional, 9 Agustus 2008 di Wamena. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian kecil dari daftar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan tidak melalui proses pengungkapan yang berkeadilan bagi korban dan keluarganya.

Oleh karenanya KontraS, Foker LSM Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua, meski mengapresiasi instruksi penyelesaian kasus yang telah dikeluarkan oleh presiden SBY, mereka tetap meminta agar Presiden SBY hendaknya mengubah kebijakan dasar penyelesaian masalah Papua melalui dialog konstruktif yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi warga Papua.

Mereka juga meminta agar Presiden memastikan, kebijakan dengan pendekatan keamanan harus segera dikurangi. Secara khusus terkait kasus video Youtube, termasuk meminta Komnas HAM membentuk Tim Penyelidik Pelanggaran HAM di Papua terutama atas peristiwa di Tinggi Nambut dan Serui dan membawa kedua kasus ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.

KontraS, Foker LSM Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua juga khawatir, perintah Presiden untuk mengungkap peristiwa ini hanya sebagai tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard. Kedua Negara ini memiliki peranan cukup penting dalam proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Dukungan kedua Negara ini selalu menyaratkan penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang dilakukan oleh actor keamanan di Indonesia. [mus]