LSM: Adili TNI Penyiksa dengan UU HAM

Arfi Bambani Amri

Atau, perintah pengungkapan ini hanya karena Barack Obama akan datang ke Indonesia?

VIVAnews – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak lima anggota Tentara Nasional Indonesia di Papua yang diduga melakukan penyiksaan diadili dengan mekanisme Pengadilan Hak Asasi Manusia, bukan Mahkamah Militer. Mereka meragukan proses penyidikan bisa akuntabel melalui Mahkamah Militer.

Secara hukum, menurut mereka, kekerasan yang terjadi di dalam video Youtube jelas merupakan tindakan interogasi yang menggunakan kekerasan (baca penyiksaan). Penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 UU nomor 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan UU no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di mana di pasal 9 disebutkan bahwa Penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Selain itu, kata mereka, secara konteks, upaya UU peradilan militer tidak bisa diberlakukan mengingat memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, penyiksaan tidak diakomodir pengaturannya di dalam KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer). Kedua, UU Peradilan Militer sangat dominan diintervensi oleh Panglima TNI.

"Dengan kata lain tidak ada independensi Hakim dan aparat hukumnya," ujar Haris Azhar (KontraS), Sinal Blegur (Foker LSM Papua), Andi K Yuwono (Perkumpulan Praxis) dan Heni Lani (Aliansi Mahasiswa Papua) dalam pernyataan bersama yang diterima VIVAnews, Kamis 4 November 2010.

Ketiga, mekanisme Peradilan Militer tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik (unfair). "Kami khawatir jika mekanisme Permil yang dikedepankan maka hanya akan menghukum aparat-aparat lapangan belaka. Tidak ada pertanggung jawaban komando atas peristiwa-peristiwa kekerasan di Papua dan tidak bisa mengkoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua," ujar mereka.

Dalam catatan hasil pemantauan KontraS yang juga disebutkan dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa peristiwa penyiksaan terhadap warga di Tinggi Nambut Papua merupakan peristiwa berulang dengan metode penyiksaan yang sama.

Sebelumnya, seorang aktivis Yawan Manase Wayeni dibunuh setelah mengalami penyiksaan pada tanggal 13 Agustus 2009 di Serui, dan Pembunuhan Opinus Tabuni pada peringatan hari pribumi internasional, 9 Agustus 2008 di Wamena. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian kecil dari daftar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan tidak melalui proses pengungkapan yang berkeadilan bagi korban dan keluarganya.

Namun demikian, para LSM ini mengapresiasi langkah cepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintahkan pengungkapan peristiwa penyiksaan yang dialami warga di Tinggi Nambut Papua, sebagaimana yang didokumentasikan lewat video yang beredar di Youtube. Perintah Presiden ini diisyaratkan dengan rencana pengadilan kepada lima anggota TNI Kodam XVII/Cenderawasih yang menjadi pelaku penyiksaan ke Mahkamah Militer, Jayapura, Papua, pada hari ini.

"Kami meminta Presiden SBY hendaknya mengubah kebijakan dasar penyelesaian masalah Papua melalui dialog konstruktif yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi warga Papua. Presiden harus segera memastikan kebijakan dengan pendekatan keamanan harus segera dikurangi. Secara khusus terkait kasus video Youtube, Termasuk meminta Komnas HAM membentuk Tim Penyelidik Pelanggaran HAM di Papua terutama atas peristiwa di Tinggi Nambut dan Serui dan membawa kedua kasus ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia," ujar mereka.

"Kami khawatir, perintah Presiden untuk mengungkap peristiwa ini hanya sebagai tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard," ujar mereka. Kedua Negara ini memiliki peranan cukup penting dalam proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Dukungan kedua Negara ini selalu menyaratkan penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang dilakukan oleh aktor keamanan di Indonesia.