Penyelesaian kasus Papua terkait kedatangan Obama

Oleh: Anugerah Perkasa

JAKARTA: Penyelesaian kasus kekerasan di Papua oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai hanya terkait dengan rencana kedatangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama. Pengadilan militer itu dinilai tidak akuntabel karena minus penyelidikan dan penyidikan.

Hal itu disampaikan tiga organisasi yakni Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Foker LSM Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua. Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar mengatakan adanya pengadilan itu hanyalah tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden AS tersebut.

"Kami khawatir, perintah Presiden untuk mengungkap peristiwa ini hanya sebagai tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard. Kedua Negara ini memiliki peranan cukup penting dalam proses reformasi sektor keamanan di Indonesia karena selalu menyaratkan penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang dilakukan oleh aktor keamanan di Indonesia," ujar Haris kepada pers di Jakarta.

Namun, kata Haris, pihaknya meragukan proses penyidikan kasus ini bisa akuntabel karena tidak dilakukan melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang independen dan terbuka. Diketahui, kelima tersangka pelaku penyiksaan hanya diproses melalui mekanisme Peradilan Militer sebagaimana yang diatur dalam UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer. Menurut dia, mekanisme ini sangat tidak tepat secara hukum maupun secara kontektual.

Menurut dia, secara hukum kekerasan yang terjadi di dalam video Youtube jelas merupakan tindakan introgasi yang menggunakan kekerasan. Penyiksaan itu, sambung Haris, masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 UU No.5/1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, di mana Pasal 9 menyebutkan bahwa penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sinal Blegur dari Foker LSM Papua menuturkan UU Peradilan Militer tidak bisa diberlakukan dalam kasus tersebut mengingat memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, penyiksaan tidak diakomodir pengaturannya di dalam KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer); kedua, UU  itu sangat dominan dintervensi oleh Panglima TNI; ketiga, mekanisme Peradilan Militer tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik.

"Kami khawatir jika mekanisme itu yang dikedepankan maka hanya akan menghukum aparat-aparat lapangan belaka. Tidak ada pertanggung jawaban komando atas peristiwa-peristiwa kekerasan di Papua dan tidak bisa mengkoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua," ujar Sinal.

Dalam catatan hasil pemantauan KontraS yang juga disebutkan dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa peristiwa penyiksaan terhadap warga di Tinggi Nambut Papua merupakan peristiwa berulang dengan metode penyiksaan yang sama.

Sebelumnya, seorang aktivis Yawan Manase Wayeni dibunuh setelah mengalami penyiksaan pada tanggal 13 Agustus 2009 di Serui, dan pembunuhan Opinus Tabuni pada peringatan hari pribumi internasional, 9 Agustus 2008 di Wamena. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian kecil dari daftar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan tidak melalui proses pengungkapan yang berkeadilan bagi korban dan keluarganya.

Oleh karenanya, kata Sinal,pihaknya meminta Presiden SBY hendaknya mengubah kebijakan dasar penyelesaian masalah Papua melalui dialog konstruktif yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi warga Papua. Dia menegaskan Presiden harus segera memastikan kebijakan dengan pendekatan keamanan harus segera dikurangi.

Terkait kasus video Youtube, sambung Sinal, pihaknya meminta Komnas HAM membentuk Tim Penyelidik Pelanggaran HAM di Papua terutama atas peristiwa di Tinggi Nambut dan Serui dan membawa kedua kasus ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia. (msw)