5 Bulan Bui untuk Penyiksa Warga Papua, Adil?

Elin Yunita Kristanti

Komandan dan tiga anak buahnya terbukti melakukan penyiksaan seperti terekam di video.

VIVAnews – Palu hakim untuk kasus penyiksaan warga sipil di Tingginambut, Puncak Jaya,Papua telah diketuk. Keputusannya: Komandan Pleton Yonif 753/AVT/Nabire, Letda Cosmos Z divonis tujuh bulan bui.

“Dan membayar biaya persidangan sebesar Rp20.000," kata Hakim Madjid dalam persidangan di Pengadilan Militer Jayapura, Kamis 11 November 2010.

Sementara tiga anak buah Letda Cosmos Z, Praka Syminan Lubis, Prada Joko Sulistyo dan Prada Dwi Purwanto divonis lebih rendah, lima bulan penjara.

Hakim Ketua Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Letkol CHK Madjid Adnan menyatakan Letda Cosmos terbukti bersalah membiarkan anak buahnya menganiaya warga sipil di kampung tersebut. Sementara para anak buahnya terbukti menganiaya warga sipil pada 17 Maret 2010.

Keempat prajurit TNI itu dinyatakan melanggar pasal 103 KUHPM junto Pasal 55 KUHP  yaitu melawan perintah atasan atas inisiatif sendiri.

Meski hukuman hanya dalam hitungan bulan, putusan ini lebih berat dari tuntutan yang diajukan oditur pengadilan militer setempat, 4 bulan untuk Cosmos, selaku komandan yonif dan 3 bulan untuk para anak buahnya.

Dimintai tanggapan, anggota Komisi Nasional HAM, Hesti Armiwulan menyayangkan rendahnya putusan itu. “Menurut saya, ini putusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan,” kata dia kepada VIVAnews, Kamis sore.

Jika disidangkan dengan menggunakan hukum sipil, KUHP, kasus ini sudah tergolong penganiayaan cukup serius. “Apalagi, dilakukan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Jika dihukum menggunakan KUHP, itu sudah tergolong penganiayaan serius, tak mungkin divonis di bawah 1 tahun,” tambah dia.

Hukuman ringan atas dasar hukum militer bisa jadi pelajaran bagi masyarakat sipil, bahwa ada ketidakadilan. “Di satu sisi TNI sedang melakukan reformasi, tetapi ketika ada kekerasan yang diakui bahwa pelakunya anggota TNI, sanksinya tidak menjerakan.”

Hesti mengingatkan, kasus penyaniayaan oleh oknum TNI di Papua tak sekedar kasus domestik, tapi kasus internasional. Dan jangan dilupakan, bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan. “Andaikata masyarakat sipil melakukan kesalahan, makar sekalipun, tidak boleh serta merta dilakukan penyiksaan.”

Jika beredarnya video penyiksaan saja bisa membuat heboh apalagi jika publik internasional mengetahui rendahnya hukuman yang dijatuhkan.  “Indonesia sedang membangun citra buruknya sediri,” tambah Hesti.

Hesti juga mengaku terkejut vonis diambil begitu cepat. Padahal, proses investigasi yang dilakukan Komnas HAM belum ada hasilnya.
“Investigasi kasus ini tak gampang. Saya terkejut divonis begitu cepat,” ungkap dia.

Rencananya Komnas HAM akan kembali turun ke Puncak Jaya untuk melakukan investigasi. “Kami tak mau terburu-buru menyimpulkan.”

Sebelumnya, pada Jumat 5 November 2010, Komnas HAM menerima pengaduan dari korban penyiksaan oknum TNI di Tingginambut.

Pelapor kasus ini, Anggen Pugo Kiwo, tak datang sendiri ke Komnas HAM. Ia diwakili lembaga swadaya masyarakat Kontras. Testimoni diberikan melalui sebuah cakram padat.

Aktivis Kontras, Sri Suparyati, mengatakan, pihaknya memandang penyiksaan adalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang butuh perhatian khusus dari Komnas HAM. "Catatan Kontras, penyiksaan bukan saja terjadi di wilayah Tingginambut, tapi juga wilayah lain di Papua," kata Suparyati, Jumat lalu.

Kontras mencatat, pada 13 Agustus 2009, ada juga aktivis Yayan Manase Wayeni terbunuh. Yayan diduga dibunuh setelah disiksa. Kemudian pembunuhan Opinus Tabuni pada 9 Agustus 2008 di Wamena. "Kami meminta Komnas HAM untuk menyelidiki hal itu sebagai pelanggaran HAM berat," kata Yayan.

Berawal dari sebuah video

Kasus penyiksaan warga sipil Papua terkuak berkat video bertajuk "Indonesian military ill-treat and torture indigenous Papuans" yang beredar di dunia maya.

Video ini diunggah oleh lembaga swadaya masyarakat berbasis di Hong Kong, Asian Human Rights Commission (AHRC) ke situs video Youtube. Tayangan ini lantas menuai reaksi publik internasional.

Video itu berisi aksi kekerasan terhadap sejumlah orang sipil. Para pelaku adalah sekelompok orang yang mengenakan baju loreng militer beremblem bendera merah putih dan menyandang senapan serbu militer SS-1.

Sambil menginterogasi warga, para pelaku tampak memukul kepala korban dengan helm tentara, juga menendang secara tertubi-tubi. "Saya di sini berdasarkan tugas. Tugas negara," kata salah satu pelaku kekerasan dalam Bahasa Indonesia.

Aksi para pelaku kekerasan terlihat sadis. Dijelaskan di rilis AHRC, mereka terpaksa memotong gambar yang memperlihatkan salah satu pelaku berbaju militer itu menyundut kemaluan seorang warga sipil dengan kayu bakar.

Teka-teki siapa kelompok loreng diungkap Menteri Hukum, Politik, dan Keamanan (Polhukam), Djoko Suyanto.

"Penjelasan sementara, kejadian itu benar, pelakunya anggota militer memang benar," kata Djoko di Istana Negara, Jumat 22 Oktober 2010.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun lalu angkat bicara. Kata dia, pemerintah Indonesia akan melakukan tindakan semestinya.”Bukan karena ditekan siapapun, tapi kita harus," kata SBY ketika membuka rapat kabinet di Istana Negara, Senin 1 November 2010. "Kita berjalan. Tak perlu ada penekanan dari negara maupun NGO apapun," tegas dia.

Dijelaskan Yudhoyono, pada 22 Oktober lalu, ia telah mengeluarkan instruksi kepada pejabat terkait, termasuk menteri pertahanan soal kasus dugaan kekerasan yang dilakukan oknum perwira militer dan anggotanya ke sejumlah warga yang diduga terkait dengan separatis di Papua.

Presiden mengingatkan, keberadaan TNI di Papua adalah dalam rangka tugas negara. Dan, bahwa sejak tahun 2005 kebijakan untuk Papua sudah diubah, dari pendekatan keamanan jadi pendekatan kesejahteraan.

"Sejak itu hampir tak terjadi tindakan represif. Namun, faktanya sungguh, ini tidak dimengerti dunia bahwa ada gerakan separatis, apakah gerakan politik atau bersenjata di sana."

Ditegaskan SBY, adalah sah negara Indonesia menegakkan NKRI. Namun, insiden kekerasan di Papua yang terekam di video bukan kebijakan negara dan pemerintah. (sj)