PUTUSAN PENGADILAN MILITER KODAM XVII CENDERAWASIH MENGABAIKAN RASA KEADILAN KORBAN

PUTUSAN PENGADILAN MILITER KODAM XVII CENDERAWASIH
MENGABAIKAN RASA KEADILAN KORBAN

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menyesalkan tetap dipaksakannya proses persidangan para pelaku penyiksaan warga Papua di Tinggi Nambut, Puncak Jaya yang sebelumnya beredar di video youtube pada akhir oktober 2010. Sedari awal kasus ini muncul kepublik kami meyerukan dilakukannya penyelidikan independen oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hingga terlaksananya persidangan bagi para pelaku di Pengadilan HAM.

Setelah menjalani proses persidangan selama lima kali sejak tanggal 5 November 2010, hari ini  (11/11) Hakim Pengadilan Militer III-19 Kodam XVII/Cenderawasih menjatuhkan masing-masing 5 bulan penjara bagi tiga anggota Kesatuan Pam Rawan Yonif 753 Arga Vira Tama/Nabire Kodam XVII Cendrawasih. Ketiganya adalah Praka Syahmin Lubis, Prada Joko Sulistyono dan Prada Dwi Purwanto. Mereka divonis bersalah karena terbukti memenuhi unsur melanggar pasal 103 KUHPM junto 56 KUHP, yaitu melanggar perintah atasan atau tidak mematuhi perintah dinas untuk memperlakukan masyarakat dengan baik,

Pada berkas dakwaan lainnya, Hakim Pengadilan Militer memvonis pemberi perintah Letda Infanteri Cosmos dengan hukuman 7 Bulan penjara karena dianggap melanggar pasal 103 KUHPM junto 56 KUHP, yaitu itu perbuatan melawan perintah atasan.

Terhadap putusan tersebut, Kami menilai hakim pengadilan militer III-19 Kodam XVII/Cenderawasih telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan yang mengedepankan kebenaran fakta peristiwa dalam proses persidangan. Proses yang belangsung singkat ini telah mengabaikan keterangan dari korban penyiksaan yang disebutkan dalam fakta persidangan yaitu, Goliat Tabuni, Kotoran Wenda dan Tives Tabuni. Ketiga warga Tinggi Nambut ini disiksa oleh para terdakwa atas tuduhan terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka. Lebih jauh, minimnya saksi peristiwa yang dihadirkan akhirnya hanya menjadikan silang keterangan dari ke-empat terdakwa. Dalam proses persidangan juga menunjukkan minimnya alat bukti yang diajukan oleh Oditur Militer yakni hanya berupa satu kepingan VCD berdurasi 30 menit berisi rekaman penganiayaan dan kekerasan terhadap ketiga warga Tinggi Nambut, HP Nokia N.70 milik Letda Infanteri Cosmos yang digunakan merekam dan sepatu laras yang digunakan oleh para pelaku.

Keterangan para terdakwa dipersidangan juga menegaskan bahwa dakwaan yang diajukan oleh Oditur Militer tersebut tidak pada kasus penyiksaan yang sebelumnya juga beredar di video youtube dimana korbannya diketahui bernama Telangga Gire dan Anggen Pugu Kiwo alias Tunaliwor Kiwo. Kedua korban adalah warga Papua asal Tinggi Nambut.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh jaringan KontraS di Jayapura menyebutkan bahwa masyarakat sipil tidak memiliki akses mengikuti proses pengadilan secara terbuka sekalipun otoritas militer di Jayapura menyebutkan bahwa persidangan tersebut terbuka untuk umum. Dari catatan pemantauan disebutkan bahwa setiap warga yang hendak mengikuti proses pengadilan dimintai identitas dan dilakukan penggeledahan badan. Didalam ruangan sidang pun di dominasi oleh sejawat para terdakwa. Situasi persidangan ini sudah kami khawatirkan sebelumnya bahwa Mekanisme Permil tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik (unfair).

Kekhwatiran kami lainnya, proses persidangan yang berlangsung membuktikan bahwa mekanisme permil hanya menghukum aparat-aparat lapangan belaka, tidak adanya pertanggung jawaban komando atas peristiwa kekerasan yang terjadi. Pengadilan telah mengabaikan keterangan Saksi Pratu Ishak yang mengisyaratkan adanya perintah komandan untuk merekam penyiksaan terhadap warga Tinggi Nambut tersebut. Pemberi perintah Letda Infanteri Cosmos sebagai komandan pos TNI di kampung Gurage hanya didakwa melawan perintah atasan. Kami menilai proses persidangan terhadap para pelaku penyiksaan warga Papua ini tidak mampu mengoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua.

Mekanisme peradilan militer yang baru saja berlangsung di Jayapura adalah bukti bahwa permil tidak mampu menghadirkan rasa keadilan bagi korban dan publik serta jauh dari stadar hak asasi manusia yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yaitu Konvenan Hak Sipil Politik (UU No. 12 tahun 2005) dan Konvensi Anti Penyiksaan (UU No. 5 tahun 1998) yang menegaskan asas fair trial.

Persidangan di Pengadilan Militer Jayapura hanyalah tindakan politis yang mengabaikan penegakan hukum dan keadilan bagi korban. Persidangan ini hanya sekedar sandiwara penegakan sumpah prajurit dan 8 wajib TNI. Kami berpendapat Pengadilan Militer atas kasus ini adalah alat untuk mereduksi fakta kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kami meminta proses pengadilan yang fair dapat segera dilakukan melalui mekanisme pengadilan hak asasi manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus segera membentuk tim penyelidik pro-justitia sebagaimana yang dimandatkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000, tidak sebaliknya selalu absen saat hak asasi warga Papua dilanggar.

Kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI, kami meminta untuk segera memperioritaskan kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer sebagaimana yang dimandatkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Jakarta, 11 November 2010

Badan Pekerja
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

 

Haris Azhar
Koordinator