Sepuluh Tahun UU Pengadilan HAM

Sejak dilahirkan oleh rahim Reformasi pada 23 November 2000, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan mampu jadi perkakas utama penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Namun, harapan tersebut sulit terwujud.

Di kawasan Asia, Indonesia tergolong maju dalam beradaptasi dengan instrumen hukum HAM internasional. Sejauh ini, tak kurang dari tujuh konvensi dan kovenan HAM internasional telah diratifikasi. Dua di antaranya Kovenan Hak Sipil Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Selanjutnya, Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa dan Pengadilan Kejahatan Internasional konon akan diratifikasi untuk memperkuat instrumen hukum HAM di tingkat nasional.

UU Pengadilan HAM yang kita miliki berkiblat pada Statuta Roma. Meski belum meratifikasi Pengadilan Kejahatan Internasional, kita sudah mengakui dua dari empat macam pelanggaran HAM yang ada dalam Statuta Roma: genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Potret sepuluh tahun

Lahirnya undang-undang itu tak lepas dari situasi nasional dan internasional saat itu. Setelah Soeharto lengser, Pemerintah RI tak kuasa membendung arus pembaruan hukum HAM. Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor-Timur pada 2002—khusus mengadili kejahatan pascajajak pendapat tahun 1999—menandai diadopsinya instrumen hukum HAM internasional.

Dari 18 terdakwa, 16 orang divonis bebas di pengadilan tingkat pertama dan juga pengadilan kasasi di Mahkamah Agung. Hanya dua terdakwa yang divonis bersalah: Abilio Jose Soares selaku mantan Gubernur Timor-Timur (divonis tiga tahun penjara di tingkat pertama, banding, dan kasasi) dan Eurico Guterres selaku mantan wakil panglima prointegrasi (divonis 10 tahun penjara di tingkat pertama, 5 tahun penjara banding, dan 10 tahun penjara kasasi). Namun, akhirnya ia dibebaskan melalui putusan peninjauan kembali yang dijatuhkan pada 14 Maret 2008.

Potret serupa terjadi dalam Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok yang digelar tahun 2003-2005. Dari 14 terdakwa yang diadili dalam empat berkas perkara berbeda, hanya satu berkas yang divonis bersalah: Soetrisno Mascung dan kawan-kawan selaku mantan Regu III Yon Arhanudse 06. Selebihnya dinyatakan bebas karena tak terbukti bersalah. Namun, di tingkat kasasi MA, semua terdakwa akhirnya dibebaskan karena majelis hakim berpendapat bahwa kasus ini bukan pelanggaran HAM berat.

Ada pula pengadilan HAM untuk kasus Abepura, Papua. Pada tahun 2005 untuk pertama kalinya Indonesia mengadili perkara pelanggaran HAM berat ke pengadilan HAM permanen yang digelar di Makassar. Pengadilan HAM permanen yang pertama kali diberlakukan di Indonesia ini semula sempat menaikkan harapan publik, namun hasil akhir kembali mengecewakan korban pencari keadilan. Dua terdakwa yang dihadapkan ke pengadilan adalah Brigjen (Pol) Johny Wainal Usman selaku Wakil Komandan Satuan Brimob dan Kombes Daud Sihombing selaku Kapolres Jayapura: divonis bebas, baik di tingkat pertama maupun kasasi di MA.

Setelah dua pengadilan HAM ad hoc dan satu pengadilan permanen digelar, praktis potret mekanisme peradilan HAM menjadi buram. Seakan memberi sinyal bahwa membawa kasus pelanggaran HAM berat ke pengadilan HAM adalah misi yang tak mungkin. Hal ini terbukti dari sulitnya mengurai benang kusut kasus pelanggaran HAM yang telah dilimpahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung: kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Wasior dan Wamena, kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, serta kasus 13-15 Mei 1998.

Hambatan politik

Hambatan ternyata didominasi persoalan politik, seperti ketidakmauan Jaksa Agung melakukan penyidikan, fragmentasi kebijakan politik di DPR, dan sikap diam Presiden. Yang disebut terakhir turut memperburuk prospek penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut perkara pelanggaran HAM berat justru tampil menjadi penghambat utama kelanjutan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Ia tak kunjung melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 dan 22 UU No 26/2000. Ironisnya, Jaksa Agung justru mempertanyakan legalitas hasil penyelidikan Komnas HAM. Puncaknya berupa pengembalian berkas (empat kali) dari tahun 2002 hingga 2008. Mestinya ini tak perlu terjadi karena tugas penyidik adalah melengkapi atau menyempurnakan hasil penyelidikan. Bukan sebaliknya: justru mempertanyakan legalitas penyelidik.

Sementara itu, DPR selaku perumus UU No 26/2000 justru tak tampil sebagai sebuah institusi yang utuh. Setelah rekomendasi Pansus DPR tahun 2001 yang menyatakan kasus Trisakti serta Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat, praktis terjadi ”komplikasi” dalam berhukum, khususnya proses hukum kasus pelanggaran HAM berat.

Tak tampak upaya serius memastikan proses hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat dapat berjalan. Padahal, muara besar persoalan ini berada di tangan Presiden. Guna mengurai benang kusut pengadilan HAM di Indonesia, diperlukan langkah nyata dan terobosan positif dari Presiden dan DPR.

Langkah pertama, memberikan dukungan politik, bukan intervensi politik atau justru mendiamkan secara politik proses hukum kasus pelanggaran HAM berat. Langkah kedua, keberanian mereformasi institusi Kejaksaan Agung, berupa pengisian figur Jaksa Agung yang memiliki komitmen dan keberanian melanjutkan proses hukum kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini terhenti di tingkat penyidikan.

Langkah ketiga, meningkatkan kualitas jaksa penuntut dan hakim, baik karier maupun nonkarier, yang akan menangani perkara pelanggaran HAM berat. Belajar dari pengalaman sebelumnya, salah satu kelemahan mendasar adalah kurangnya pemahaman hakim dan jaksa terhadap instrumen hukum HAM internasional sehingga implikasi utamanya: sulit menjerat para pelaku.

Terakhir, UU No 26/2000 perlu dikaji ulang. Hasil utama yang diharapkan dari kajian itu adalah amandemen konstruktif, yakni amandemen pada titik-titik yang menjadi kelemahan praktik pengadilan HAM selama ini: memperkuat kewenangan Komnas HAM (setidaknya mendekati KPK) dan meninjau kembali keberadaan DPR dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sebab hal ini sering jadi pintu masuk intervensi politik.

Selanjutnya, kita kembalikan kepada penyelenggara negara ini, apakah UU Pengadilan HAM disusun untuk memperbaiki kualitas kemanusiaan atau justru sebaliknya hanya mempermanis wajah kita di mata internasional? Setidaknya, praktik selama ini adalah jawaban nyata: pengadilan tanpa keadilan.

Chrisbiantoro Anggota Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan