Kerahasian Negara Rawan Dibobol

Metrotvnews.com, Jakarta: RUU Rahasia Negara akhirnya masuk dalam daftar program legislasi nasional 2011 setelah pembahasannya sempat ditarik pemerintah pada 2009 lalu. Apakah kemudian rahasia negara itu otomatis terlindungi?

Ahli TI Onno W Purbo menyampaikan fakta bahwa sebagian situs beralamat .go.id bisa diterobos oleh peretas (hacker). Alamat situs ini sebagian besar digunakan oleh pemerintah untuk menyediakan informasi bagi publik.

Penyelenggara negara sebagian besar juga menggunakan alamat surat elektronik untuk publik, seperti layanan Yahoo, untuk mengirimkan informasi apapun, termasuk yang mengandung unsur rahasia. Padahal, hal itu rentan diterobos oleh para peretas seiring semakin canggihnya teknologi.

"Kalau disederhanakan kalimatnya, mempertahankan sesuatu itu bukan komputer canggih yang bisa melindungi itu, tapi yang membuat pertahanan tadi itulah. Artinya orangnya yang harus menjadi aset," kata Onno di Jakarta, Kamis (23/12).

Pemikiran inilah, menurut Onno, belum ditangkap oleh sebagian besar pembuat kebijakan. Pemerintah lebih tertarik untuk menginvestasi pengamanan dokumen lewat pembelian komputer maupun aplikasi software ketimbang membayar mahal para pembuat software.

Pasalnya, gaji para peretas bisa melebihi gaji menteri karena taruhan adalah nyawa. "Kalau pemerintah tetap dengan gaya sekarang jadi bakal tetap jebol," ujarnya.

Situs militer termasuk salah satu yang rentan ditembus. Padahal, informasi militer termasuk salah satu informasi yang dikecualikan karena dianggap strategis. "Saya tidak lihat semuanya tapi ada bolongnya. Ada software untuk mengecek itu. Ketika bisa dimasuki, kita bisa tanam macam-macam sehingga informasi bisa keluar," tukasnya.

Hal ini meyakinkan Koordinator Kontras Usman Hamid bahwa semakin canggihnya teknologi, semakin mustahil negara menyimpan rahasia. Berkaca pada peristiwa Wikileaks, ia menilai kerahasiaan lebih banyak terkait hal negatif, seperti melindungi skandal daripada benar-benar menjaga kedaulatan negara.

"Dalam hukum internasional terkait eksistensi suatu negara, kalau kemudian informasi itu dibuka karena terkait rentan terhadap kedaulatan negara, lalu teritori Indonesia hilang? Kemajuan teknologi itu tidak bisa dijawab dengan legal," tutupnya.(MI/*)