Catatan Akhir tahun 2010 tentang situasi HAM Indonesia (KontraS, Des 2010)
Hampa Perlindungan Hak Asasi Terhadap Warga Negara

Hampa Perlindungan Hak Asasi Terhadap Warga Negara

Catatan akhir tahun ini dibuat untuk menilai situasi penegakan Hak asasi Manusia (HAM) di Indonesia sepanjang 2010. Penilaian tersebut dilakukan dengan melihat sejauh mana Negara melakukan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfil) terhadap hak asasi manusia di yurisdiksinya. Penghormatan mengandaikan adanya pengakuan aturan-aturan hukum atas hak asasi manusia. Sementara perlindungan mengandaikan adanya peran Negara secara aktif dalam melindungi setiap individu warganya dari ancaman kekerasan atau pelanggaran HAM. Sedangkan pemenuhan diartikan sebagai upaya Negara untuk menyediakan fasilitas dan akses bagi warganya untuk mendapatkan hak-haknya. Ukuran dari trias obligasi ini tidak semata-mata menghasilkan gambaran kuantitatif, namun juga kualitatif. Dari ketiga ukuran kewajiban ini KontraS menemukan bahwa pada 2010 Negara gagal memberikan perlindungan HAM terhadap warganya. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah  situasi HAM yang khas; 

1. Serangan terhadap Pekerja HAM dan Demokrasi

Isu perlindungan kerja bagi para pembela HAM, seperti Jurnalis dan aktivis anti korupsi, belum menjadi focus utama penghormatan HAM oleh pemerintah dan aparat hukum di Indonesia. Terakhir, pada 17 Desember 2010,  Alfrets Mirulewan jurnalis  Pelangi di Maluku Barat Daya diduga dibunuh. Kematiannya menambah panjang deretan kekerasan terhadap jurnalis. Bentuk-bentuk ekekrasan terhadap jurnalisdalam catatan KontraS terjadi berupa pembunuhan yang diduga dengan diawali tindakan kekerasan (seperti penyiksaan); Pemukulan atau perlakuan tidak menyenangkan dalam kerja peliputan serta perusakan alat kerja, seperti Kamera. Dugaan-dugaan latar belakang kekerasan terhadap jurnalis hampir bisa dipastikan disebabkan oleh pemberitaan-pemberitaan atau kerja-kerja peliputan yang dilakukannya. dari sisi sebaran wilayah kekerasan-kekerasan tersebut terjadi beberapa kali di daerah.  Berdasarkan komunikasi yang dilakukan KontraS baik dengan aparat hukum dan pihak kolega korban,  kasus-kasus tersebut belum diselsaikan secara hukum. Banyak penyelesaian kekerasan tersebut diselesaikan lewat upaya-upaya perdamaian yang dilakukan oleh pelaku kepada para jurnalis, terutama dalam bentuk penggantian barang yang dirusak. Secara keseluruhan dari hasil Pantauan berbagai lembaga advokasi seperti KontraS, LBH Pers dan AJI, sepanjang   3 tahun (2008-2010/hingga pertengahan Agustus) setidak-tidaknya ada 141 wartawan telah memperoleh ancaman kekerasan baik fisik atau non fisik selama mereka menjalankan kerja-kerja mereka di lapangan. Selain kekerasan, bentuk lain tindakan buruk terhadap pekerja HAM dan demokrasi juga terjadi dalam bentuk lain; krimininalisasi dan ketiadaan proses hukum. Hal ini bisa terlihat dalam kasus, Tama S Langkun (staf ICW) yang dipukuli kasusnya tidak menunjukkan titik terang meskipun Polisi mengaku sudah bekerja, SBY sudah menyatakan dukungan atas penuntasan serta Kapolri terpilih Timor Pradopo menyatakan prioritas kasus ini. kriminalisasi juga terjadi terhadap pengacara petani seperti dalam kasus kasus Eva H Bande Toili Banggai Sulteng. Tahun ini pun dihampakan oleh ketiadaan kemajuan atas kasus Munir.  

2. Akuntabilitas Polisi Lemah

Sepanjang 2010, Kinerja kepolisian Republik Indonesia menjadi sorotan publik. Kepercayaan publik merosot drastis, manakala Polri tidak mampu mengemban fungsi penegakan hukum dan keamanan. Konsekuensinya adalah ketiadaan jaminan rasa aman warga Indonesia. Dalam catatan KontraS, selama 12 tahun terakhir ini, Polri telah banyak melalui tahapan reformasi institusional. Baik di level paradigmatik, maupun empirik. Berbagai instrumen penting menjamin penegakan hukum dan keamanan juga telah banyak dibuat Polri, seperti Perkap HAM No 8/2009.

Sepanjang tahun 2010, tercatat 34 kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Delapan kasus di antaranya mengakibatkan warga sipil tewas akibat tembakan. Praktik kekerasan umumnya merupakan kasus-kasus penyiksaan. Peluang praktik penyiksaan biasanya muncul pada tahap penyidikan perkara. KontraS juga mencatat berbagai kasus-kasus besar, seperti Buol (8 warga tewas, 26 warga luka berat, luka tembak, luka ringan dan pemukulan) dan penangkapan warga Papua yang dituduh TPN OPM (16 warga ditangkap, 1 orang tewas, 2 luka tembak: 4/10 dan 21/11). Aparat kepolisian kerap menggunakan kekuatan senjata berlebihan (excessive use of forces) juga terlihat dalam kasus-kasus kriminalisasi warga di sektor bisnis. Tercatat 7 kasus terjadi di wilayah-wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua;  di mana lahan-lahan dan sumber daya alam  menjadi perebutan antara pemilik modal dan warga. Dan umumnya aparat kepolisian berdiri di barisan pebisnis.

Pelembagaan kekerasan tidak hanya berhenti di situ saja. Detasemen Khusus 88 Anti Teror yang dikenal memiliki mandat tugas untuk memberantas terorisme tak lepas dari praktik ini. Di tahun 2010, tercatat 24 orang tewas dalam operasi Densus 88 di berbagai wilayah. Kasus-kasus mencolok perhatian publik terjadi pada; operasi penggerebekan terorisme di pegunungan Jantho Aceh, penggerebekan teroris di Cawang dan Cikampek, penangkapan Abu bakar Ba’asyir, operasi anti-terorisme perampokan Bank CIMB Niaga dan penyerangan Polsek Hamparan Perak.

Ketidakjelasan prosedur operasi anti-terorisme selama ini berpotensi untuk menimbulkan  pelanggaran HAM. Langkah-langkah yang diambil Densus 88 umumnya bersinggungan pada hal-hal: Pertama, setiap operasi anti-terorisme selalu menjatuhkan korban jiwa. Aparat tidak mendahulukan upaya-upaya persuasif. Kedua, aparat kerap melumpuhkan korban terlebih dahulu tanpa melakukan verifikasi identitas. Ketiga, tindakan menembak sasaran, tidak untuk melumpuhkan padahal posisi sasaran tidak pada tindakan melawan.keempat, orang-orang yang diduga terlibat aksi terorisme tidak pernah mendapatkan surat penangkapan dan penahanan. Kelima, dalam beberapa kasus spesifik, aparat Densus 88 kerap salah tangkap. Tindakan ini banyak merugikan harta benda warga dan memberikan tekanan psikis kepada warga. Selain itu, agenda deradikalisasi criminal justice system  pada tahanan tindak pidana terorisme masih berjalan di tempat, bahkan berpotensi mengalami kemunduran, ketika 72 tersangka teroris di Aceh yg ditangkap Densus 88, 16 diantaranya adalah mantan  narapidana teroris (data BNPT 2010).

Masih maraknya praktik penyimpangan yang dilakukan aparat kepolisian, salah satunya, diakibatkan oleh masih lemahnya peran Kontrol baik internal maupun eksternal. Seperti peran Komplonas yang sangat minimalis.

 

3. Perlakuan Buruk terhadap Tahanan Politik

Sepanjang tahun 2010, Polisi terus melakukan penangkapan terhadap sejumlah orang di Maluku dan Papua yang diduga memiliki aktifitas politik separatism; RMS (Republik Mauku Selatan ) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Penangkapan ini dilakukan dengan menggunakan pasal 106, 110 KUHP dan PP No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Negara atas dugaan melakukan aktivitas, diantaranya, berupa pengibaran bendera, diduga merencanakan aksi demonstrasi dan memiliki bendera organisasinya. Bahkan penangkapan juga didasari oleh alat kampanye Hak Asasi Manusia, seperti Poster “Bebaskan Tahanan Politik”. Dalam proses penangkapan, dari hasil pemanatauan, laporan keluarga dan investigasi KontraS, ditemukan banyak tindak kesalahan prosedur, seperti tidak ada surat penangkapan, kekerasan berupa penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya selama masa penahanan para Tapol, baik di Maluku maupun di Papua. Perlakuan buruk tersebut berupa pembatasan akses keluarga untuk menjenguk para tahanan atau narapidana, minim akses masyarakat untuk menjenguk para tahanan, minim akses terhadap kuasa hukum serta buruknya kondisi tahanan dan pelayanan kesehatan. Banyak diantara tahanan atau narapidana mengalami penurunan kesehatan yang diakibatkan oleh buruk system sanitasi dan akibat penyiksaan didalam masa tahanan atau penjara. Pengecualian pernah diberikan kepada Filep Karma (Papua), yang berobat ke rumah sakit di Jakarta, untuk pemeriksaan lebih intensif. Namun, berbeda dengan Yusuf Sipakoli, tahanan RMS di Lapas Nania, Ambon. Tindakan cepat tidak dilakukan oleh pihak lapas, sehingga Sipakoli meninggal dunia, setelah menjalani perawatan intensif di RSU Kudamati, Ambon. Perawatan baru dilakukan  setelah pihak lapas kelas II Ambon menyerahkan pengobatan Yusuf ke pihak keluarganya, pada minggu pertama September 2010.

Rangkaian tindakan kekerasan ini melibatkan sejumlah personil yang berasal dari Kepolisian (termasuk Densus 88), TNI, aparat sipil (Kepala Desa) dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP). Seperti dalam kasus penangkapan, penahanan dan tindakan penyiksaan yang diduga kuat dilakukan oleh Densus 88 AT, terhadap 15 orang di Ambon dan terhadap 6 orang di Saparua, dilakukan oleh Wakapolsek Saparua, Iptu Frans Siahaya, serta anggota kepolisian polsek Saparua lainnya.

Merujuk catatan KontraS, sepanjang tahun 2010 terdapat 34 orang napol Papua. Mereka ditahan di berbagai lapas, seperti Abepura, Biak, Wamena, Nabire, Fak-Fak, Serui dan Timika. Kepala Kanwil Dephukham, Nazarudin Bunas, SH, MH sempat mengajukan kepada MenhukHAM Patralis Akbar, untuk mengajukan grasi atas 25 orang tapol Papua. Namun, Filep Karma pada tanggal 14 Agustus 2010 telah menyampaikan penolakan remisi kepada Menhukham. Lebih lanjut, 4 tapol akhirnya dibebaskan demi hukum pada 5 April 2010. tujuh tapol dibebaskan bersyarat dan Yusak Pakage telah menerima grasi Presiden pada 7 Juli 2010.

Selain itu, sebanyak 83 orang masih tercatat sebagai tapol/napol Maluku. Mereka tersebar di 8 titik lapas, seperti di Kuning Nusa Kambangan, Permisan Nusa Kambangan, Malang, Porong, Semarang, Kediri, Nania Ambon dam Rutan Waiheru Ambon.

4. Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Berekspresi Masih Terancam

Sepanjang 2010, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan masih mewarisi kegagalan negara ditahun-tahun sebelumnya. Para penganut Ahmadiyah dan kelompok minoritas Kristen berada dalam kondisi memprihatinkan dimana mereka dibiarkan berhadap-hadapan dengan kelompok masyarakat lainnya yang menggunakan kekerasan untuk menentang eksistensi dan rumah ibadah mereka. Dalam pemantauan KontraS ada kecenderungan, pertama, bahwa kelompok yang menentang eksistensi kelompok minoritas menggunakan identitas Agama Islam dengan cara melakukan demonstrasi dan penyerangan fisik serta pernyataan yang mengumbar kebencian. Bahkan tindakan ini pun masih terjadi dilingkungan Mahkamah Konstitusi, ketika sejumlah lembaga organisasi melakukan Judicial Review atas UU No1/PNPS/1965 (UU Penodaan Agama). Kedua, aktor-aktor negara (state actors) memiliki peran lewat kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri: Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, yang dijadikan legitimasi organisasi/kelompok penyerang di atas, untuk memperluas aksi kekerasan.

Kecenderungannya negara melakukan politik pembiaran atas serangkaian kasus kekerasan kebebasan beragama  juga meningkat. Kita bisa mengambil contoh kasus kekerasan gereja HKBP Ciketing Bekasi pada September 2010. Aparat kepolisian tidak mampu mencegah aksi kekerasan FPI. Kita juga bisa merujuk contoh kekerasan terbaru pada kasus penggembokan panti asuhan Hasanah Kautsar Tasikmalaya Jawa Barat. Penggembokan itu melibatkan Kejaksaan Negeri Tasikmalaya dan Polres kota Tasikmalaya (9/12). Kasus serupa juga terjadi pada Gereja Yasmin Bogor, yang dilakukan aparat polisi dan Satpol PP (19/9).

Pada beberapa acara diskusi-diskusi yang melibatkan korban-korban konflik politik dan pelanggaran HAM tahun 1965-1967 aparat hukum juga aktif berkolaborasi dengan organisasi sipil anti demokrasi untuk meminta diskusi-diskusi tersebut dibubarkan. Hal ini adalah ancaman terhadap kebebasan berkumpul dan berpendapat. Untungnya, Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010 menyatakan UU Nomor 4/pnps/1963 tentang kewenangan pelarangan buku tidak boleh diimplementasikan tanpa adanya putusan/perintah pengadilan telebih dahulu.

5. Kekerasan di Papua

Kebijakan sekuritisasi di Papua memiliki implikasi langsung kepada jaminan perlindungan HAM. Sepanjang tahun 2010, telah terjadi 11 kasus kekerasan, teremasuk praktek Penghilangan orang secara paksa. Insiden kekerasan biasanya melibatkan TNI dan polisi dalam penyisiran atas nama keamanan untuk menemukan TPN/OPM dan lokasi persenjataan mereka. Kekerasan di Papua tidak saja dialami warga laki-laki, namun juga warga perempuan dan anak-anak. Biasanya mereka mendapat ancaman fisik, psikis, hingga pemerkosaan.

Salah satu kasus kekerasan di Papua, yang  mendapat perhatian publik internasional, adalah munculnya video-video penyiksaan yang beredar di situs Youtube, diantaranta video penyiksaan Yawan Wayeni seorang aktivis politik Papua yang dituduh sebagai anggota TPN/OPM. Video penyiksaan lainnya,  terkait dengan 3 warga Tingginambut Papua yang disiksa aparat TNI (nama-nama korban dalam video: Goliat Tabuni, Kotoran Wenda dan Tives Tabuni).

Dalam kasus penyiksaan Yawan Wayeni, diduga kuat aparat Brimob Polda Papua menjadi aktor penyiksaan. Sedangkan, dalam kasus penyiksaan warga Distrik Tingginambut, aparat TNI AD menjadi aktor utama penyiksaan. Persidangan sempat digelar di pengadilan militer (Permil) III-19 Kodam XVII/Cenderawasih, Jayapura pada bulan November 2010 dan menghukum 4 terdakwa (Praka Syaiminan Lubis, Prada Joko Sulistiono, Prada Dwi Purwanto dan Letda Cosmos); namun banyak pengabaian atas fakta peristiwa dan rasa keadilan korban. Ditengah buruknya situasi HAM, Pemerintah Pusat, Presiden masih saja ‘diam’ atas keterpurukan masyarakat Papua.

6. Memperpanjang Impunitas atas Pelanggaran Berat HAM

Sepanjang 2010, ketiadaan akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM masa lalu masih terus berlangsung dan cenderung menguat,  Indikasi ini  terlihat jelas dari hal-hal yang terjadi sepanjang 2010, diantaranya adalah; pertama, rendahnya komitmen politik, hal ini dibuktikan dengan masih diabaikannya empat rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998 kepada Presiden dan institusi pemerintah 1. Respon pemerintah, baik Presiden dan para pembantunya masih bersifat diskursif belaka, bahkan terkesan karitatif. Kedua,  proses hukum atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang telah diselidiki Komnas HAM masih macet dan tidak jelas status hukumnya. Jaksa Agung baru, sejak terpilih, tidak mengeluarkan suatu kebijakan apapun untuk mencari torbosan kebuntuan situasi ini. Sementara dari sisi KemenkumHAM tidak adanya konsep sinergitas dan kerangka kerja yang jelas dalam perumusan proses legislasi untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti; RUU KKR, Pengadilan HAM 2 ( UU 26 tahun 2000) dan Pengadilan HAM di Aceh, 3 serta ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Ketiga, tidak ada agenda keadilan atas penanganan paska konflik seperti Aceh dan Timor Leste. Di Aceh, Meski upaya meretas perdamaian di Aceh terus berjalan, namun situasi ini tidak berimbang dengan akuntabilitas pelanggaran HAM di Aceh. Perdebatan pembentukan KKR Aceh sepanjang 2010 masih digantungkan pada pembentukan KKR nasional. Demikian pula dengan pembentukan Pengadilan HAM di Aceh yang tidak terdiskusikan sama sekali. Sedangkan untuk persoalan Timor Leste, dalam pemantauan KontraS belum ada upaya implementasi rekomendasi laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, yang salah satunya adalah pembentukan Komisi  Orang Hilang untuk mencari orang-orang yang hilang saat terjadi kekerasan di Timor Leste.  

Situasi diatas berbeda dengan nama-nama yang Kontroversial; seperti (alm) Soeharto hampir mendapatkan gelar pahlawan nasional. Sjafrie Sjamsoedin yang diduga bertanggung jawab atas sejumlah peristiwa dihadiahi jabatan Wakil Menteri Pertahanan dan Timor Pradopo yang berada saat peristwa Triksati 1998 menjadi Kapolri. Serta Eurico Gutteres, salah seorang Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) yang telah dibebaskan Mahkamah Agung (MA), justru mempromosikan   perlindungan kepada 403 orang mantan PPI yang  berstatus tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)  Serious Crime Unit di Timor Leste.

7. Kebijakan ‘HAM Luar Negeri’ Indonesia Masih Baik

Proyeksi situasi HAM yang positif dari Pemerintahan SBY lebih akan terwujud dalam urusan kebijakan luar negeri. Hal ini disebabkan oleh citra positif Indonesia di mata dunia internasional karena peran penting strategisnya: sebagai negeri transisi demokratik dengan berpenduduk Muslim terbesar yang dianggap cukup sukses; perkembangan ekonomi yang stabil dan relatif tidak terimbas pada krisis ekonomi global; dan de facto dianggap menjadi panutan di regio Asia Tenggara yang mana di tahun depan akan menjadi pemimpinnya secara de jure. Tanda-tanda cukup positif untuk kebijakan HAM luar negeri Indonesia bisa terlihat di beberapa tahun belakangan ini. Pemerintah RI lewat Kementrian Luar Negeri cukup serius mengusahakan peningkatan kapsitas badan HAM Asia Tenggara (ASEAN Inter-governmental Commission on Human Rights/AICHR) dengan mandat serupa dengan mekanisme HAM dengan standar internasional. Sayangnya proposal itu ditentang oleh negara-negara lain. Tidak tertutup kemungkinan untuk urusan HAM di tingkat ASEAN, Indonesia akan mendesakan suatu agenda promosi dan perlindungan HAM yang lebih progresif. Sejauh ini dukungan internasional cukup positif terhadap kontribusi Indonesia untuk urusan HAM, namun sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk bisa merespon problem HAM kronik di regio ini, yaitu merespon masalah Burma secara lebih cepat dan tegas.

8. Reformasi Institusi Keamanan Tidak Komprehensif

Di tahun 2010 ini momentum agenda reformasi sektor keamanan ditandai oleh pergantian pucuk pimpinan TNI dan Polri, yang diharapkan bisa secara progresif melanjutkan agenda yang belum final. KontraS menyambut baik pernyataan Panglima TNI baru, Jendral Agus Suhartono saat melakukan agenda fit and proper test di DPR yang mengakui masih ada defisit dalam agenda reformasi TNI. Kami sepakat bahwa ada tiga agenda defisit yaitu reformasi sistem komando teritorial, penuntasan pengambilalihan sektor bisnis yang dimiliki TNI, dan revisi sistem peradilan militer. Tentu pernyataan ini harus ditindaklanjuti oleh TNI secara lebih konkrit mengingat ketiganya merupakan mandat konstitusional, meski juga harus dipahami bahwa pernyataan Panglima TNI ini bisa menimbulkan resistensi bahkan dari kalangan internal TNI sendiri.

KontraS memandang agenda reformasi sektor keamanan (RSK) yang masih defisit adalah skema akuntabilitas yang minim bila merespon suatu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor-aktor sektor keamanan (polisi, militer, dan intelijen). Akuntabilitas sektor militer misalnya masih terhambat oleh sikap resistensi dari pihak militer dalam merevisi sistem peradilan militer yang ada. Padahal selama ini sistem ini turut menyumbang praktek impunitas dan tidak memiliki efek jera dengan hasil putusan yang sangat tidak adil bagi korban dan prosesnya tidak transparan. Demikian pula di sektor kepolisian, absennya mekanisme akuntabilitas eksternal yang independen membuat penanganan kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan (khususnya dugaan korupsi dan pelanggaran HAM) diragukan hasilnya. Proposal perbaikan sistem akuntabilitas kepolisian lewat revisi Perpres No. 17/2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional terlihat tidak bisa menjawab kebutuhan sebenarnya. Sementara itu di sektor intelijen, agenda akuntabilitasnya masih menunggu RUU Intelijen yang baru. Selain akuntabilitas institusional, agenda RSK sejauh ini masih luput memperhatikan akuntabilitas personel, yaitu suatu mekanisme vetting bagi mereka yang punya rekam jejak buruk HAM di masa lalu. Minimnya akuntabilitas bagi aktor-aktor sektor keamanan akan secara tidak langsung memfasilitasi praktek pelanggaran HAM baru di masa depan karena ketiadaan efek jera. Bisa diprediksi perilaku aktor-aktor sektor keamanan tersebut tidak akan berubah banyak di tahun depan.

Agenda RSK  yang penting lainnya adalah koordinasi dan sinergisitas antar aktor-aktor sektor keamanan. Sejauh ini relasi antar polisi, militer, dan intelijen masih tumpang tindih dalam mengelola keamanan nasional. Hal ini terlihat dalam penanganan terorisme dengan terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di mana tampak TNI mulai memasuki area yang bukan merupakan kompetensi institusinya, yaitu area penegakan hukum. Demikian pula dalam salah satu topik kontroversial dalam RUU Intelijen yang akan membahas kewenangan agen intelijen untuk menangkap dan menahan tanpa didasari suatu prosedur hukum normal. Hal-hal tersebut bisa potensial melahirkan suatu pelanggaran HAM yang sistemik. Sebenarnya peluang untuk menata peran dan fungsi spesifik masing-masing aktor sektor keamanan ada lewat penyusunan suatu RUU Keamanan Nasional, yang sayangnya tidak menjadi agenda prioritas pemerintah dan parlemen.

Kesimpulan

Setelah 12 tahuna transisi politik di Indonesia, empat kali amandemen konstitusi dan 3 kali Pemilu, Indonesia masih diselimuti problem kekerasan dan kegagalan menghukum para pelaku kejahatan tersebut. Regenerasi pimpinan di lembaga-lembaga hukum tidak membawa kabar baik dalam upaya perlindungan (hukum) bagi korban dan kelompok rentan di Indonesia. Sebagaimana dalam pemaparan diatas, justru rasa tidak aman dan tidak ada jaminan disebabkan oleh institusi dan aparat Negara. Kepolisian menjadi lembaga yang paling dominan menunjukkan watak kekerasan dan diskriminatif sepanjang 2010. Sama halnya dengan Polisi, TNI masih menikmati lemahnya mekanisme korektif atas kejahatan yang dilakukan oleh personil-personilnya. Kemajuan hukum HAM di Indonesia seperti tak berdaya, sekedar tulisan. Prinsip dan aturan yang sudah diakomodir dalam sejumlah aturan (termasuk aturan-aturan HAM Internasional yang sudah diratifikasi oleh Negara Indonesia) tidak dipatuhi. Aparat Negara gagal meresapi prinsip-prinsip demokratis yang anti kekerasan dalam praktek hari-hari.

Presiden SBY dan Pemerintahannya kelihatan cukup bangga dengan situasi  sebatas memiliki aturan HAM dan berbaik wajah dikomunitas regional. Dalam konteks nasional sepanjang 2010 SBY dan pemerintahannya lebih memilih menjaga stabilitas politik koalisinya ketimbang penegakan HAM. SBY membiarkan pendekatan keamanan gaya orde baru ( dan kriminalisasi) dalam melihat persoalan aktivitas politik anti pemerintah di Maluku dan Papua. Seolah lupa bahwa demokrasi harus menjamin ruang dialog dan anti kekerasan. Demikian juga dalam agenda pemberantasan terorisme. Hal ini berbanding kontras dengan kealpaan perlindungan kepada masyarakat minoritas. Sepanjang 2010 HAM banyak terlanggar akibat dari kebijakan yang berorientasi kepentingan Negara (state interest) dibanding kebijakan yang berorientasi kepentingan manusia (human interest) kedaulatan dan terorisme. Negara aktif melakukan tindakan atas situasi yang menjadi agenda global dan mengancam integritas fisiknya. Negara abai dalam perlindungan eksistensi kelompok-kelompok kecil atau individu-individu yang rentan. Termasuk masih membiarkan ketiadaan koreksi atas persoalan kekerasan dimasa lalu. Disisi lain, makin hari makin penderitaan dan kekecewaan makin meluas, dari Aceh hingga Papua, bahkan Negara tetangga Timor Leste. Tidak heran jika kemudian popularitas SBY dan pemerintahannya melorot signifikan.

Proyeksi 2011

Kedepan kami khawatir bahwa negara semata-mata hanya memilih strategi promosi HAM yg normatif. Strategi ini bukannya tidak penting, namun sangat tidak memadai bagi kebutuhan dan tuntutan pokok atas restorasi penuh hak asasi manusia di Indonesia. Ini artinya ada kegiatan promosi yg menjadi batas minimalis utk mengukur komitmen HAM negara. Beberapa agenda tersebut adalah mendorong peran dan fungsi yang lebih efektif atas Komisi HAM ASEAN (AICHR) untuk sekedar membuktikan kepemimpinan Indonesia di regio ASEAN; meluncurkan Rencana Aksi Nasional HAM baru; dan meratifikasi suatu instrumen HAM penting seperti konvensi Buruh Migran, Statuta Roma, Konvensi anti penghilangan paksa, dsb. Tindakan ini baik namun tidak cukup. Oleh karenanya kami mengusulkan agar Presiden SBY dan Pemerintahannya untuk segera membuat terobosan dalam menyikapi situasi ini dengan cara membuat cetak biru penegakan HAM Indonesia. Cetak biru ini harus berisi visi penegakan HAM sesuai dengan cita bangsa Indonesia yang humanis dan anti diskriminasi; memuat persoalan HAM di Indonesia; dan memuat rumusan-rumusan yang strategis untuk mengkoordinasikan dan memberanikan aparat hukum melakukan tindakan guna menjamin rasa aman dan keadilan korban dan masyarakat, sesuai bunyi aturan-aturan hukum yang sudah ada.

Kedepan, beberapa ukuran keberhasilan HAM yang patut dijadikan alat ukur , diantaranya, ada tindak lanjut kasus penuntasan kasus Munir, berkurangnya angka kekerasan terhadap jurnalis dan aktivis lainnya; tidak mengkriminalkan aktivis politik Papua dan Maluku serta adanya dialog damai terutama untuk Papua; jaminan perlindungan identitas, agama dan keyakinan terhadap kelompok-kelompok tertentu; adanya komitmen memperbaiki lembaga-lembaga kontrol dan akuntabilitas; terakhir proses legislasi tidak boleh membajak aturan-aturan HAM keluar dari standard dan batas yang fundamental.

Jakarta, 28 Desember 2010

Tim KontraS

 

 

 

 

 

 

kredit foto:

  1. Anonim, hasil Investigasi KontraS, 2010.
  2. Maria Sumarsih, 2010.

1 berkenaan dengan pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian korban yang masih hilang, kompensasi dan rehabilitasi serta ratifikasi konvensi perlindungan semua orang dari penghilangan paksa tidak mendapat sambutan politik yang cukup baik dari pemerintah, meski terhitung sudah 1 tahun rekomendasi ini dikeluarkan DPR (2009-2010).

2 UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yang telah masuk dalam Prolegnas 2011

3 MoU Helsinki point 2 dan UUPA No 11 Tahun 2006,  pasal 228