Polri pelaku kekerasan terdominan

JAKARTA – Aparat Polri (Kepolisian Republik Indonesia) selma kurun 2010 masih mendominasi pelaku tin dakan kekerasan terhadap sipil.

Polri juga menunjukkan watak kekerasan dan diskriminatif, juga masih menikmati lemahnya mekanisme korektif atas kejahatan yang mereka lakukan.

"Aparat negara gagal meresapi prinsip-prinsip demokratis yang antikekerasan dalam praktek sehari-hari," ujar Koordinator Kontras, Haris Azhar, hari ini.

Kontras mencatat, selama dua belas tahun terakhir Polri memang sudah membenahi internal mereka, baik di level paradigmatik, maupun empirik. Namun upaya tersebut tidak berbanding lurus dengan perbaikan citra di mata publik.

Sepanjang 2010, Haris menyebutkan, ada 34 kekerasan yang dilakukan polisi. Kekerasan tersebut mayoritas berbentuk penyiksaan saat terjadi penyidikan perkara oleh polisi. Adapun dari 34 kasus, delapan di antaranya mengakibatkan warga sipil meninggal karena ditembak.

Kekerasan tersebut di antaranya terjadi di Buol (delapan warga tewas, dan 26 luka berat) dan Papua (seorang tewas, dan dua tertembak). Warga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, juga ikut jadi korban. Catatan Kontras, di wilayah-wilayah itu polisi berdiri di barisan pebisnis, dalam konflik perebutan lahan antara pemilik modal dengan warga.

Kegiatan Detasemen Khusus 88 Antiteror tak lepas dari pengamatan Kontras. Sepanjang 2010, tercatat 24 orang tewas dalam operasi Densus di berbagai wilayah, seperti Jantho, Cawang, Cikampek, maupun Hamparan Perak. "Ketidakjelasan prosedur operasi antiterorisme selama ini berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM," ujar Haris.

Ia menyebut langkah-langkah yang diambil Densus bersinggungan dengan lima hal. Pertama, operasi antiterorisme tidak mendahulukan upaya persuasif sehingga kerap memakan korban. Kedua, aparat sering memilih melumpuhkan korban dulu, dibanding memverikasi identitasnya.

Hal ketiga, keputusan menembak korban dilakukan saat sasaran tidak dalam posisi melawan. Keempat, orang yang diduga terlibat terorisme tidak pernah mendapat surat penangkapan dan penahanan. Terakhir, dalam beberapa kasus, Densus sering salah tangkap.

Editor: HARLES SILITONGA