Haris Azhar: Kepastian Hukum Adalah Kunci Pembangunan Bangsa

Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, sejak tahun 1999 mendedikasikan dirinya untuk terus membangun kesadaran masyarakat atas pentingnya penegakan dan apresiasi Hak Asasi Manusia (HAM).
Konsep HAM sendiri bersifat universal dan tidak mengakui makna atau penafsiran yang hanya bercirikan kekhususan lokal. Kenyataan yang ada di negara-negara ASEAN, Konstitusi hanya dijadikan alat semata di tangan kelas penguasa, pemerintahan tidak didasarkan pada partisipasi rakyat yang sesungguhnya, sehingga masih terdapat rezim pemerintahan di ASEAN yang sesungguhnya enggan mengakui dan memberlakukan hak-hak sipil serta politik secara konsekuen karena khawatir akan membahayakan eksistensinya. 

Namun dibalik itu semua, Indonesia saat ini dinilai sudah cukup baik dari sisi apresiasinya terhadap HAM, namun dari sisi implementasi masih dihadapkan pada berbagai kendala yang memprihatinkan.

Oleh karena itu, KontraS berkomitmen akan terus berupaya mendorong Pemerintah RI untuk mengadopsi nilai-nilai HAM secara universal. Hal ini sangat penting dilakukan karena Indonesia telah terpilih sebagai Chairman ASEAN 2011, dan tergabung dalam ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC).

Berikut ini wawancara eksklusif buletininfo.com dengan Haris Azhar saat ditemui di kantornya, Senin (27/12/2010), diantaranya:

HAM dalam persepektif ASEAN dihadapkan pada dilema orientasi tradisi, dalam arti terdapat perbedaan antara tradisi liberal barat dengan tradisi filsafat Asia, bagaimana anda menyikapi hal ini?

Tradisi filsafat HAM ASEAN diawali pada tahun 1990, dikenal dengan nama “Asean Value” beserta tokoh tokoh penyangganya, seperti Lee Kuan Yew, Mahatir Muhammad dan mantan Presiden Soeharto. Orientasi Asean Value saat itu cenderung ditujukan untuk melindungi kebijakan pembangunan dari kritik-kritik kalangan HAM internasional. Namun, kebijakan yang diambil juga masih bernuansa "Economic First, Freedom Later".

Sampai saat ini negara-negara ASEAN masih dihadapkan pada berbagai hambatan dalam mengadopsi nilai-nilai HAM secara universal karena adanya perbedaan perspektif tentang HAM dari masing-masing rezim yang berkuasa, meskipun pada tahun 2009, ASEAN membentuk ASEAN Inter-governmental Commission for Human Rights (AICHR) yang dianggap sebagian kalangan sebagai sebuah kemajuan.

Apakah di ASEAN sudah terdapat kesepahaman tentang konsep universalitas HAM, dan bagaimana partisipasinya dalam berbagai instrument internasional yang meliputi seluruh spektrum HAM?

Ke depan HAM diharapkan dapat menjadi salah satu ruang konsolidasi pembangunan ASEAN. Dalam hal ini, posisi KontraS tetap memperjuangkan agar "progress" penghormatan HAM yang telah dicapai Indonesia tidak bergerak surut. Secara kapasitas, Indonesia memang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menjadi sebuah negara pioner yang mempromosikan nilai-nilai HAM di kawasan. Masih banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi merupakan sebuah hambatan nyata, diantaranya dengan masih lemahnya perlindungan terhadap kaum minoritas, sebagai contoh masalah Ahmadiyah, yang telah dieksploitasi oleh sejumlah pihak yang berkepentingan untuk dijadikan ajang konsolidasi guna menghimpun dukungan menjelang Pemilukada.

Sementara itu, aturan pemerintah tentang pendirian Rumah Ibadah dan kebebasan beragama juga masih diskriminatif. Banyak terjadi kasus pelarangan pendirian Rumah Ibadah, namun di konstitusi juga disebutkan bahwa setiap warga negara harus beragama, kenapa hal ini bisa terjadi?, iklim demokratis ternyata telah dipergunakan untuk mempromosikan nilai-nilai yang sesungguhnya anti demokrasi.

Dalam kaitan itu, wajar apabila dikatakan bahwa nilai nilai HAM dianggap hanya baru dipahami oleh tataran para pemimpin negara saja, dan belum menyentuh unsur birokrasi sampai yang terendah.

Menyikapi berbagai kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, bagaimana KontraS menyikapi hal ini?

Kesepahaman tentang HAM di wilayah ASEAN menjadi "mentok" ketika membicarakan masalah buruh migran. Hal ini terjadi karena setiap negara memiliki perspektif yang berbeda tentang HAM, sehingga seringkali tidak dapat diintervensi. Selama ini upaya yang dapat dilakukan hanya melalui diplomasi, namun masih banyak kendala-kendala yang membatasi.

Selain itu, di dalam negeri, manajemen birokrasi TKI masih sangat buruk, kabarnya masih ada kutipan resmi terhadap para TKI guna mendapatkan advokasi hukum dan nilainya cukup besar, padahal perlindungan hukum seharusnya diberikan tanpa adanya kutipan apapun, karena perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara. Untuk itu, harus ada keberpihakan dari pemerintah untuk mereformasi manajemen birokrasi TKI tersebut.

Bagaimana peran HAM dalam menciptakan atau memulihkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Sebenarnya ini sedikit pragmatis. Kuncinya ada di upaya memperbaiki kepastian hukum (rule of law) guna menciptakan berbagai kondisi positif di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dll. Namun sampai saat ini, setiap usaha untuk menyempurnakan hukum masih saja terkendala oleh berbagai kepentingan, masih banyak oknum-oknum yang menyuarakan tentang kepastian hukum atas dasar kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini, KontraS ada untuk memperjuangkan kepastian hukum, salah satunya adalah nilai-nilai HAM. Keberadaan HAM bukan hanya untuk kepentingan hukum, tetapi menyangkut mainstream berbagai permasalahan.

Ironisnya, masih saja ada kepentingan politik yang "gemar" mengkonsolidasikan masyarakat yang disertai berbagai atribut yang bernuansa militeristik. Sebagian masyarakat diajak untuk mengadopsi nilai-nilai kekerasan dalam menuntaskan berbagai permasalahannya, padahal sesungguhnya mereka telah dimanfaatkan untuk kepentingan politik, seperti kita ketahui, para investor sangat concern dengan iklim investasi yang aman dan kondusif.

Lantas, bagaimana solusinya?

Diperlukan upaya sosialisasi konkret kepada masyarakat terkait perspektif HAM secara universal. Nilai-nilai HAM seharusnya masuk ke ruang-ruang personal untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang komprehensif mengenai apa itu HAM. Saat ini jumlah populasi warga dunia terus meningkat, namun terpecah menjadi individu-individu yang masing masing-memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain dalam menyikapi berbagai masalah.

Di Indonesia, banyak dilakukan pelatihan HAM namun "ruang berlatihnya" (exercise) masih terbatas. Toleransi hanya ada di sebagian masyarakat namun cenderung sektarian dan tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola konflik. Kondisi yang terjadi saat ini, HAM telah dipergunakan untuk kepentingan dan dimanfaatkan disaat masyarakat sendiri sesungguhnya belum memahami betul apa itu HAM.

Di akhir wawancara, Haris menekankan bahwa KontraS akan terus mendedikasikan diri untuk memperjuangkan kepastian hukum bagi masyarakat sebagai sebuah kerangka penting dalam membangun kontruksi negara yang demokratis. UUD 1945 telah mengamanatkan Republik Indonesia menjadi sebuah negara hukum, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kepentingan politik yang berhasil mengebiri berbagai hak dasar masyarakat.

Sekilas Haris Azhar :

Lahir di Jakarta 10 Juli 1975, bergabung dengan KontraS pada 11 November 1999. Karirnya diawali sebagai volunteer, kemudian meningkat dan dipercaya menempati berbagai posisi di KontraS, diantaranya sebagai staf advokasi HAM, staf penelitian & dokumentasi, Kadiv penelitian & dokumentasi, Kadiv pemantauan impunitas & reformasi institusi, Wakil Koordinator KontraS dan Koordinator KontraS. Karirnya di bidang advokasi HAM semakin diakui dunia internasional saat dirinya juga dipercaya untuk menjadi Co-Convenor (Jubir) Solidarity for Asian People’s Advocacy (SAPA) Task Force on ASEAN and Human Rights.

Haris lulus dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 1999 dan sempat mengikuti program pendidikan pascasarjana (S2) Filsafat, Universitas Indonesia. Minat dan kemampuan Haris di bidang advokasi HAM kembali terbukti dengan diperolehnya program beasiswa S2 Chevening Award dari Pemerintah Inggris, di University of Essex, untuk bidang studi Human Rights in Theory and Practices.  

Haris mengaku tidak memiliki ambisi formal, namun memiliki visi dimana Indonesia akan semakin lebih baik khususnya dalam penghormatan terhadap nilai-nilai HAM.