Potret Penanganan Kasus Pelanggaran HAM di Papua Komnas HAM Gagal Menghadirkan Keadilan

Potret Penanganan Kasus Pelanggaran HAM  di Papua
Komnas HAM  Gagal Menghadirkan Keadilan

Kami selaku masyarakat sipil dari berbagai latar belakang yang memiliki kepedulian terhadap prospek Hak Asasi Manusia di Papua, menyampaikan keprihatinan atas kegagalan Komnas HAM RI mendorong penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua.

1. Kegagalan Pengadilan HAM untuk Papua

Berdasarkan catatan kami, prestasi Komnas HAM untuk papua adalah dibentuknya Pengadilan HAM untuk kasus Abepura (2005), namun tidak berhasil memastikan penghukuman terhadap pelaku dan gagal memulihkan hak para korban. Kemudian satu lagi hutang penyelidikan proyustisia yang belum tuntas hingga kini adalah kasus Wasior dan Wamena yang terhenti di tingkat penyidikan.

2. Impunitas dan Keberulangan 

Selain kasus tersebut diatas, banyak sekali kasus lainnya yang tidak ditindaklanjuti oleh Komnas HAM, antara lain; kasus Teminabuan (1966-1967), peristiwa Kebar 26 Juli 1965, Peristiwa Manokwari 28 Juli 1965 dan Operasi Militer 1965 – 1969. Kemudian peristiwa penghilangan paksa di sentani 1970, Operasi Militer di Paniai sepanjang 1969 – 1980, Operasi Militer di Jaya Wijaya dan Wamena Barat kurun 1970 – 1985, kasus pembunuhan di Timika kurun 1994 – 1995, kasus pembunuhan di Tor Atas Sarmi kurun 1992, penghilangan paksa Aristoteles Masoka, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, pembunuhan Opinus Tabuni dan banyak kasus lainnya yang belum terdokumentasikan dengan baik. Meski pada tahun 2003, Komnas HAM pernah mengeluarkan laporan pemantauan terkait kejahatan Soeharto, namun hingga saat ini tidak ada tindaklanjut atas laporan tersebut.

3. Kekerasan  di Puncak Jaya
Belum lama ini, Komnas HAM telah mengeluarkan laporan pemantauan untuk merespon kasus kekerasan di Puncak Jaya yaitu memfokuskan pada tiga persitiwa dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Puncak Jaya, yaitu; Pembunuhan Pendeta Kinderman Gire, Video Kekerasan dalam pelaksanaan operasi dan video kekerasan dalam proses interogasi. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menyimpulkan bahwa ketiga kasus tersebut memenuhi unsur pelanggaran HAM didasarkan pada perbuatan (type of acts) dan pola (pattern) pelanggaran HAM yang menjadi temuan, yaitu; perampasan hak hidup, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat dan hak atas rasa aman. Namun demikian, setelah menyelesaikan laporan, Komnas HAM tidak kunjung menunjukan ketegasan sikap untuk menindaklanjuti laporan dengan mekanisme yang diatur dalam UU 26 Tahun 2000 yaitu menggelar penyelidikan proyustisia, meski dalam laporannya Komnas pada dasarnya  sudah menemukan adanya indikasi unsur-unsur pelanggaran berat HAM, dimana tindakan meluas dari perbuatan penyiksaan itu ditujukan ke masyarakat sipil dalam konteks operasi keamanan.

4. Tapol dan Ancaman Pembela HAM
Sepanjang pemerintahan Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat Papua yang ditahan karena aktivitasnya dalam menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di Papua. Pemerintah RI dengan mudah menjatuhkan tuduhan subversi dan pendekatan represif lainnya dengan mengesampingkan mekanisme dialog. Pemerintah masih mempertahankan dan menggunakan ketentuan pasal makar dalam peraturan warisan kolonial untuk menghadapi masyarakat Papua.
5. Korupsi, Kekerasan Pilkada dan Otsus

Kekisruhan Pemilu kepala daerah dan korupsi seolah memperburuk kondisi Papua saat ini. Pasca pemberlakuan Undang – Undang Otonomi Khusus, praktis kondisi Papua justru secara umum semakin buruk. Terbukti Otsus gagal menghadirkan perbaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Justru sebaliknya, pemerintah pusat terkesan membiarkan elit – elit lokal bertikai dan menjarah kekayaan Papua yang semestinya diperuntukan untuk rakyat.

6. Keberadaan TNI di Papua
Sejauh ini sulit diketahui dengan pasti jumlah personel TNI yang ditempatkan di Papua. Kami mencatat, keberadaan TNI menjadi faktor utama meningkatnya angka pelanggaran HAM baik Sipil Politik maupun Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pemerintah justru mempertahankan situasi ini dan tidak pernah transparan tentang besaran anggota TNI yang ditempatkan. Kondisi Papua saat ini tidak lebih dari lahan jarahan dan tempat untuk mengeruk keuntungan yang akhirnya mewariskan kerusakan dan pelanggaran HAM.

Berdasarkan seluruh catatan tersebut, kami menegaskan bahwa Komnas HAM telah gagal memainkan peran strategis sebagai satu – satunya lembaga negara yang memiliki otoritas untuk menangani kasus pelanggaran HAM. Untuk itu kami mendesak ;

  1. Komnas HAM memaksimalkan tugas dan fungsinya dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat sesuai ketentuan Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
  2. Komnas HAM harus mengambil inisiatif dan peran strategis dalam merancang skema perdamaian di Papua melalui jalan dialog antara Papua dan Jakarta
  3. Komnas HAM harus tegas dan kritis terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah pusat yang semakin membenamkan masyarakat Papua kedalam keterpurukan dan ketidakadilan dalam segala bidang.
  4. Komnas HAM harus mengambil peran penting untuk menghentikan kriminalisasi, tuduhan makar dan tindakan subversif lainnya yang menjadi kedok untuk merampas Hak Sipil Politik masyarakat Papua.
  5. Komnas HAM harus mendesak akuntabilitas penempatan dan jumlah anggota TNI di Papua karena menjadi pemicu besarnya angka pelanggaran HAM