Pernyataan SBY: Sinyal Darurat Penegakan Hak Asasi Manusia

Pernyataan SBY: Sinyal Darurat Penegakan Hak Asasi Manusia

Seminggu sudah tidak ada klarifikasi dan upaya menganulir pernyataan Presiden Republik Indonesia Bapak H. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memberikan pengarahan di Rapim TNI dan Polri 2011 di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta, Jum’at (21/22). Saat itu, Presiden mengatakan “…menyangkut hukum dan pelanggaran HAM. Saya senang, saya bersyukur, saya berterimakasih kepada jajaran TNI dan Polri sebab bertahun-tahun terakhir ini, sejak 2004, tidak ada pelanggaran HAM berat, no gross violation of human rights.” (http.www.presidenri.go.id)

Penyataan ini sangat mencemaskan kami, para korban, aktivis, dan pemerhati kemanusiaan karena sangat fatal implikasinya terhadap perjuangan HAM yang dibangun sejak lama di negeri ini, terutama sejak menjadi mandat reformasi 1998 dan mandat konstitusi. Pernyataan SBY ini menunjukkan sinyal darurat penegakan HAM.

Untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu, Presiden SBY telah mengabaikan pemahaman umum HAM dan pelanggaran HAM (UU 39/1999 dan UU 26/2000) bahwa pembiaran (by ommission) penyelesaian pelanggaran HAM oleh negara adalah kejahatan yang berkelanjutan (continuing crime). Kasus-kasus seperti, Trisakti, Semanggi I dan II 1998/1999, peristiwa Mei 1998, Talangsari 1989, Penculikan dan penghilangan orang secara aksa periode 1997-1998 dan wasior-wamena, Papua 2001/2003 yang hingga saat ini masih mandek proses hukumnya di Kejaksaan Agung dan tidak terwujudnya pengadilan HAM, Selain itu sampai saat ini mereka yang menjadi korban akibat peristiwa 1965/1966, Tanjung Priok 1984 dan sejumlah kasus pelanggaran HAM, seperti penggusuran, kriminalis hukum, mal praktek dan lain-lain masih  kehilangan hak-haknya sebagai korban dan warganegara.

Secara khusus, continuing crime terus berlangsung dalam kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 khususnya bagi beberapa korban yang belum kembali, dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya sejak kasus penghilangan paksa tersebut berhenti, maka kondisi seperti ini, menyebabkan kasus penghilangan paksa tidak mengenal batasan waktu (statue of limitation) mengingat tidak diketahuinya penahanan, keberadaan dan nasib para korban.

Pernyataan tersebut juga telah menentang fakta keberadaan kasus-kasus yang dinyatakan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM seperti Lapindo (2010), Alas Tlogo (2007), Ahmadiyah (2004, 2005) serta pemasungan terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan. Secara jelas pula sehari-hari kita disuguhkan fakta terjadinya berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM kepada masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya serta kekerasan di Papua. Dari hasil klarifikasi kami kepada Komnas HAM (27/01) kemarin, Komisioner Ridha Saleh memastikan bahwa Komnas HAM tidak pernah memberikan informasi atau kesimpulan yang menjadi rujukan pernyataan presiden tersebut dan sebaliknya Presiden juga tidak pernah meminta kesimpulan apapun kepada Komnas HAM.

Sementara, mengingat pernyataan tersebut disampaikan dihadapan institusi-institusi (TNI dan Polri) yang selama ini terkait sebagai pelaku pelanggaran HAM, kami khawatir pernyataan itu justru menjustifikasi kekerasan-kekerasan TNI/Polri selama ini. Hal ini terbukti pada putusan pengadilan Militer di Jayapura atas terjadinya penyiksaan kepada warga sipil. Komnas HAM sendiri, hingga saat ini juga tidak melakukan reaksi apapun terhadap penyataan Presiden tersebut.     

Jakarta, 28 Januari 2011

KontraS, Imparsial, Setara Institute, Foker LSM Papua, JSKK, YLBHI, Praxis, HRWG, Kasum , ICTJ, Demos

Lampiran : Pernyataan Presiden soal Penegakan HAM