Menimbang Rasa Berasasi Presiden Kita

Saya senang, saya bersyukur. Sejak 2004, tidak ada pelanggaran HAM.” Kalimat itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, yang telah memimpin negeri kita selama dua periode lamanya.

Saya sendiri mencoba membayangkan alam batin dan pikiran Presiden SBY saat menyampaikan pidato resmi penutupan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI dan Polri 2011 di Balai Samudera Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (21/1) silam.

Luapan kegembiraan ini tentunya harus segaris lurus dengan capaian prestasi dalam dunia penegakan hukum dan hak asasi manusia. Namun, bagaimana jika klaim sepihak ini tak memiliki perwujudan implementasi? Hanya akan melahirkan efek kejut dan kekecewaan banyak pihak.

Khususnya, mereka yang selama ini berjuang, mengabdikan hidupnya secara riil, untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM); para pembela HAM, kelompok minoritas yang masih belum mendapatkan jaminan rasa aman, hingga keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu yang masih menantikan wujud keadilan dari negara.

Apa yang menjadi ukuran obyektivitas ketika Presiden SBY berani mengekspresikan kegembiraannya itu? Saya tidak tahu. Bagaimana dengan Anda?

Asasi untuk semua

Apa yang telah disampaikan dari mulut seorang pemimpin negara adalah perwujudan dari kondisi aktual situasi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berkembang di negerinya. Namun, tampaknya presiden kita lupa, realitas dan fakta kekinian di Indonesia mengatakan hal yang bertolak belakang.

Sebut saja kasus pembunuhan aktivis HAM Munir pada tahun 2004, hingga kini belum terselesaikan. Kasus lumpur Lapindo pada tahun 2006 telah mencederai akal sehat warga Sidoarjo. Kasus kekerasan horizontal yang terus-menerus menekan umat Ahmadiyah dan jemaat HKBP. Maraknya praktik pembubaran acara yang dilakukan ormas keagamaan. Brutalitas aparat penegak keamanan di Aceh dan Papua yang masih kerap terjadi.

Kemudian, perebutan lahan milik warga di berbagai wilayah yang melibatkan unsur TNI dan Polri. Aksi kriminalisasi para pegiat HAM, jurnalis, dan antikorupsi tak bisa dihentikan. Malapraktik senantiasa mengancam jaminan hidup kita. Ratusan TKI yang terlunta-lunta di negeri orang. Kota menjadi ruang garang, tak lagi ramah dengan politik penggusurannya. Hingga, ketiadaan komitmen negara untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

Adalah kewajiban negara untuk menjamin adanya perlindungan, penegakan, dan mempromosikan HAM. Kewajiban ini berlaku mutlak, di mana saja, kapan saja, agar HAM bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa pandang bulu. Dan yang paling penting: pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak berulang lagi di masa depan. Apakah presiden kita masih mengingatnya?

Hukum rimba di Indonesia

Hukum di negeri ini tidak lagi memihak kepada kepentingan warga. Nilai-nilai politik kewargaan menjadi mudah untuk ditransaksionalkan. Bahkan, mekanisme hukum kerap diperdaya untuk mengunggulkan kepentingan segelintir elite politik. Lalu kepada siapa kita bisa mengeluh? Ketika hak-hak dasar berwarga negara dan hak-hak untuk mendapatkan pemulihan sebagai korban pelanggaran HAM menjadi suatu keadaan yang mustahil disediakan negara?

Kita tentu berharap pemerintah mampu memutus rantai impunitas, memberi hukuman yang setimpal kepada para pelaku pelanggaran HAM, dan memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM. Jaminan kepastian hukum amat dibutuhkan agar kejahatan serupa tak terjadi di masa depan.

Umpan terobosan yang baik pun telah diberikan DPR. Empat rekomendasi utama untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya pada kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998, setidaknya memberi titik terang dan harapan yang lebih baik kepada keluarga korban. Presiden SBY diharapkan menindaklanjuti dengan membentuk pengadilan HAM ad hoc, melakukan pencarian terhadap ke-13 orang hilang, memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi korban, serta meratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa.

Alih-alih Presiden SBY bergegas untuk merealisasikan keempat rekomendasi itu; ia justru berkelit, mencari celah, dengan mengatakan proses hukum telah dijalankan bagi pelanggar HAM, baik yang peristiwanya terjadi dalam masa pemerintahannya maupun sebelumnya.

Mengakhiri ambiguitas

Dibutuhkan keberanian untuk memimpin bangsa dan negeri ini. Dan saya percaya, keberanian itu telah dimiliki Presiden SBY semenjak ia bersedia untuk menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia kedua kalinya. Namun, kini Indonesia tidak saja membutuhkan pemimpin yang berani dan mau memimpin negeri ini untuk yang kedua kalinya. Indonesia kini membutuhkan pemimpin yang berani, memiliki akal sehat, dan mampu memimpin aparaturnya untuk menegakkan keadilan dan nilai-nilai hak asasi manusia setinggi-tingginya.

Presiden SBY, dengan segenap kewenangan dan hak prerogatif yang melekat pada dirinya, seharusnya bisa memberikan pesan dan instruksi yang jelas, khususnya kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini TNI, Polri, Kejaksaan Agung, dan semua jajaran kementerian di bawahnya, untuk segera memutus rantai impunitas agar keadilan dan akuntabilitas dapat terjamin di negeri ini.

Implementasi empat rekomendasi DPR harus segera direalisasikan. Presiden SBY juga harus mengefektifkan peran Kejaksaan Agung dalam upaya penyidikan penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Presiden SBY juga harus mendukung agenda reformasi di sektor keamanan dan supremasi hukum agar tindak kekerasan dan penyiksaan tidak lagi dilakukan sebagai praktik sehari-hari di tubuh institusi TNI dan kepolisian. Terakhir, untuk mengakhiri ambiguitas ini, Presiden SBY harus sungguh-sungguh melakukan revitalisasi mekanisme pengawasan di setiap lini pengampu kebijakan agar tidak ada lagi kisah klasik hak warga Indonesia yang terlanggar.

Namun, mampukah Presiden SBY melalui ujian ini? Kita sama-sama menunggu.