Keluarga Korban Pelanggaran HAM Talangsari Tagih Kejagung

Jakarta – Paguyuban keluarga korban Talangsari Lampung menyambangi Kejaksaan Agung (Kejagung). Dengan didampingi aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), mereka mempertanyakan kejelasan penanganan kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung yang terjadi tahun 1989 silam ini.

Pihak keluarga korban Talangsari yang berjumlah sekitar 15 orang ini melakukan audiensi dengan pihak Kejagung. Mereka meminta penjelasan terkait perkembangan penyelidikan kasus Talangsari yang dinilai tidak ada tindak lanjut dari pihak Kejagung.

Menurut keluarga korban, Komnas HAM telah menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus ini, dan telah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejagung pada tahun 2008 lalu. Namun, hingga saat ini berkas tersebut masih diteliti oleh Tim Peneliti Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM berat Kejagung tanpa ada kejelasan tentang tindak lanjutnya.

Menanggapi hal ini, pihak Kejagung yang diwakili oleh Direktur Penanganan dan Pelanggaran HAM Berat, Domu Sihite menuturkan, bahwa berkas perkara Talangsari tersebut memang masih berada di Kejagung, namun belum memasuki tahap penyidikan. Menurut Domu, hal ini dikarenakan ada beberapa hal dalam berkas perkara Talangsari yang perlu dilengkapi oleh Komnas HAM. Permintaan untuk melengkapi berkas ini juga telah dikirimkan kepada Komnas HAM, tapi sampai saat ini belum juga dipenuhi.

"Dari hasil kesimpulan berkas pelanggaran HAM berat ini, masih ada yang perlu dilengkapi. Belum sampai penyidikan, ada mekanisme kerja yang tidak boleh dipublikasikan," terang Domu dalam audiensi di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Selasa (8/2/2011).

Selain itu, pihak Kejagung juga tidak bisa memulai penyidikan terhadap perkara ini karena belum adanya pengadilan HAM Ad Hoc atas kasus ini.

Seperti diketahui, sesuai dengan pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, setiap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU tersebut disahkan, maka akan diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc.

Kendati demikian, Domu menjanjikan pihak Kejagung akan berusaha selalu bersinergis dengan pihak Komnas HAM terkait penanganan kasus ini. "Kami dengan Komnas HAM akan bersinergi," ucapnya.

Menanggapi penjelasan ini, aktivis Kontras Usman Hamid mengatakan, berdasarkan ketentuan hukum UU No 26/2000, tidak ada yang melarang Kejagung untuk melakukan penyidikan sebelum pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk.

"Yang bisa dilakukan seperti menangani perkara biasa, dalam penindakannya bisa mencari bukti lagi, saksi lagi. Dan berbeda dengan Komnas HAM, Kejaksaan Agung dalam memperoleh bukti, dokumen, atau saksi bisa menggunakan upaya paksa, menyita, menggeledah, menangkap, menahan, dan sebagainya," jelasnya.

Sementara itu terkait pembentukan pengadilan HAM ad hoc, Usman menyatakan, sesuai dengan UU HAM, perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, sebelum UU HAM disahkan, memang memerlukan pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh keputusan presiden berdasarkan usulan DPR. Oleh karena itu, pihaknya juga akan menyambangi Komisi III DPR RI untuk mempertanyakan hal ini.

"Hari ini kami juga akan tanyakan pada Komisi III, bagaimana perkembangan Komisi III dalam membawa perkara pelanggaran HAM berat Talangsari ke sidang pleno untuk diusulkan pada Presiden agar segera ada Keppres pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc," tutupnya.

Kasus pelanggaran HAM di Talangsari bermula dari keberadaan sebuah pengajian yang dipimpin Warsidi pada tahun 1980-an. Pengajian itu banyak mengkritik pemerintah Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga mengecam azas tunggal Pancasila, yang mereka nilai sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Akibatnya, pada Selasa subuh naas 7 Februari 1989, aparat militer menyerbu pengajian Talangsari.

Hasil penyelidikan pro justicia Komnas HAM terhadap kasus ini menyatakan, sedikitnya 130 orang menjadi korban pembunuhan, 77 orang menjadi korban pengusiran paksa, 53 orang menjadi korban perampasan kemerdekaan, 46 orang mengalami penyiksaan dan 229 orang mengalami penganiayaan. Banyak anak-anak dan perempuan menjadi korban dalam peristiwa ini.
(nvc/nik)