Begitu Banyak Kekerasan, Begitu Sedikit Hukuman

Jakarta – Tragedi Minggu berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten kini terus menjadi sorotan. Namun sebenarnya kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah kerap terjadi. LBH Jakarta mencatat sejak tahun 2001-2011 ada 32 kasus Ahmadiyah dengan warga.

Kasus tersebut mulai dari kasus pengusiran, pembakaran rumah dan tempat ibadah, penjarahan, penyerangan hingga menimbulkan kerugian harta benda sampai jatuhnya korban jiwa.

Pada 2001 misalnya, ada penyerangan warga terhadap pengikut Ahmadiyah di Desa Sambi Elen, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam kasus ini satu jemaat Ahmadiyah bernama Papuk Hasan (60) tewas akibat dianiaya massa. Pada 2002, ada pengusiran 87 kepala keluarga atau 350 jiwa pengikut Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur.

Pertengahan 2005, konflik warga dan pengikut Ahmadiyah terjadi di Parung, Bogor, Jawa Barat. Saat itu, ratusan warga menyerang Kampus Mubarok, yang menjadi Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu. Kasus ini pun sempat memicu hal serupa di beberapa daerah lainnya seperti Cianjur, Garut, Ketapang, Sulawesi Selatan, NTB.

Terakhir, 26 Januari 2011 lalu, massa pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Cibinong mengejar dan mensweeping jemaah Ahmadiyah yang bersaksi atas peristiwa penyerangan warga Ahmadiyah di desa Cisalada, Bogor. Tiga hari berikutnya, 29 Januari 2011, puluhan massa Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa setelah mengetahui terdapat kegiatan di Masjid An Nushrat milik jemaat Ahmadiyah di Makassar.

Mengapa kekerasan berbau SARA itu terus terjadi? Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nurkholis Hidayat mengatakan, kekerasan itu terjadi akibat terus menipisnya rasa toleransi atas perbedaan di level akar rumput. Selain itu, para elit termasuk tokoh masyarakat juga gagal mencegah masyarakat agar tidak melakukan kekerasan dan main hakim sendiri.

"Ada perbedaan mendasar di antara masing-masing keyakinan. Tetapi para elit dan tokoh masyarakat menyikapi perbedaan tidak dengan damai dan dialog. Trend menghilangnya dialog ini justru muncul di dekade ini atau sejak tahun 2000," kata Nurkholis kepada detikcom.

Nurkholis menjelaskan, jemaat Ahmadiyah sudah ada di Indonesia sejak tahun 1928. Tentu saja sejak dulu ada polemik soal Ahmadiyah yang dinilai menyimpang dari Islam. Namun dulu, era sebelum tahun 2000 semua diselesaikan lewat dialog antara Ahmadiyah dengan ormas agama lainnya. Saat itu, pemerintah juga tegas menindak pelaku kekerasan.

"Setelah debat itu mereka saling menyalami, tidak sampai pada kekerasan karena mereka toleran sebagai sesama warga negara dan tidak terus memupuk kebencian dengan menghasut para pengikutnya dan pemerintah tegas atas siapapun yang melakukan kekerasan," jelas pengacara Ahmadiyah ini.

Bila kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah kerap terjadi, lantas mengapa selalu tidak pernah bisa dicegah? Lagi-lagi yang menjadi permasalahan adalah pemerintah dan aparat keamanan melakukan pembiaran. Pemerintah dan aparat keamanan dan penegak hukumnya dinilai lamban dan tidak tanggap dalam merespon suatu temuan kondisi suatu masalah di suatu daerah.

Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, pemerintah tidak pernah serius dan masuk ke dalam persoalan sebenarnya. Bahkan ketika terjadi kekerasan itu muncul, pemerintah hanya menghukum pelaku lapangan, itu pun tidak semua kasus. Selama ini pemerintah tidak berani bertindak tegas atas hasutan untuk melakukan kekerasan.

Di sisi lain, pemerintah justru terkesan memfasilitasi praktek-praktek kekerasan itu sendiri dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang justru menempatkan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Apalagi Menteri Agama selalu berargumentasi kekerasan muncul akibat pengikut Ahmadiyah yang tidak mematuhi aturan SKB itu dan masih menjalankan ibadahnya secara terbuka. Begitu pula dengan sikap Kapolri dinilai tidak memiliki agenda yang jelas dalam menciptakan keamanan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

"Dari kasus Cikeusik, jelas polisi bisa mendeteksi akan adanya ancaman penyerangan. Jadi, bukan soal polisi bisa mencegah atau tidak. Tapi soal polisi yang politis berpihak pada kelompok-kelompok tertentu. Persoalan lain, karena polisi terlalu terpaku pada SKB, bukan konstitusi," ujar Haris Azhar pada detikcom.

Maka Kontras menilai polisi atau aparat penegak hukum gagal untuk mencegah dan menghukum para pelaku lapangan dan perencana serangan. Sejak tahun 2000 hingga sekarang, hanya sedikit sekali pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah dimejahijaukan. "Dalam beberapa kasus kepolisian justru terlibat secara tidak langsung, dengan mengawal, memfasilitasi dan bahkan secara fisik ikut merusak seperti kita lihat di kejadian Makassar," ungkap Nurkholis.

Kelambanan dan tidak tegasnya pemerintah dan aparat keamanan juga dikritik sejumlah kalangan agamawan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan.

Sudah lama Ahmadiyah (dalam hal ini Ahmadiyah Qadiyan) menjadi problem yang sensitif bagi umat Islam. Ahamdiyah dilarang karena dinilai telah menodai agama Islam seperti tercantum di dalam Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1965. Pada Januari 2008, setelah rentetan dialog panjang dengan Departemen Agama, Ahmadiyah membuat 12 butir pernyataan yang intinya mereka tidak menyimpang dari Islam.

Dalam pernyataan itu, Ahmadiyah menyatakan mengakui Muhammad sebagi nabi terakhir. Sementara Mirza Gulam Ahmad merupakan guru, pendiri dan pemimpin Ahmadiyah. Perlu diketahui selama ini Ahmadiyah Qadian disebut menyimpang karena dituduh mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah nabi Muhammad.

"Namun setelah pernyataan itu Ahmadiyah tetap melakukan pelanggaran. Itu penelitian Depag. Maka kemudian dibuat SKB 3 menteri pada Juni 2008. SKB ini sudah memiliki dua sisi, satu sisi melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, di sisi lain melarang kekerasan terhadap anggota dan pengurus Ahmadiyah" terang Amidhan.

Karena terjadi pelanggaran atas 12 butir pernyataan itu maka muncul tudingan Ahmadiyah hanya lips service saja membuat pernyataan tersebut agar bisa bertahan di Indonesia. Namun Humas Ahmadiyah Mubarik Ahmad membantahnya. "Apa untungnya bagi kami berbohong. 12 butir pernyataan itu memang kami buat dengan sebenar-benarnya," kata Mubarik.

Sementara Hasyim mengungkapkan Ahmadiyah di negara muslim manapun di dunia selalu menjadi masalah. Meski begitu Hasyim menegaskan, tindakan kekerasan, penyerangan dan penyerbuan bahkan membunuh Ahmadiyah tidak boleh dilakukan."Orang kafir pun tidak boleh diserang, kecuali mereka menyerang kita duluan. Jadi menyerang Ahmadiyah tetap dilarang. Menghadapi Ahmadiyah harus dengan dakwah, bukan kekerasan," imbuhnya.

Amidhan dan Hasyim menilai aparat keamanan lokal sejak awal memiliki informasi dan warning akan adanya penyerangan ini. Hanya saja penjagaan dianggap kurang untuk menangani areal kerumunan massa yang begitu besar dan datang dari desa lainnya.

"Selain penjagaan kurang, ada aktivis Ahmadiyah dari Jakarta dan Bekasi yang memprovokasi. Juga ada pihak lain yang memanfaatkan peristiwa ini. Tingkat budaya daerah yang rendah serta banyaknya jawara," kata Hasyim yang kini juga menjabat Presiden World Conference Religion and Peace (WCRP) ini.

Amidhan juga sangat menyayangkan aparat keamanan tidak bergerak cepat. "Aparat keamanan kan sudah tahu sejak Jumat, kenapa tidak dikerahkan kekuatan polisi yang cukup memadai atau minta bantuan Kodim setempat. Kodim memang sempat datang satu SSK tapi peristiwa sudah terjadi," katanya.

Seorang tokoh masyarakat Pandeglang, Banten, Tubagus Pathoni menyatakan masyarakat Banten memiliki adat istiadat yang keras dan fanatisme yang tinggi. Namun begitu sebelum Minggu berdarah itu tidak pernah ada kasus bentrokan akibat keyakinan agama yang berbeda. Maka Kang Bayan, begitu Tubagus biasa disapa, yakin ada ada pihak tertentu yang ingin memancing di air yang keruh itu. "Jangan memancing di air yang keruh. Selama ini tidak pernah ada bentrokan antar perbedaan keyakinan agama, walau wilayah ini banyak jawaranya, kan tidak," katanya.

Kapolri Jenderal Pol Timor Pradopo mengatakan, kekerasan Cikeusik dan Temanggung, Jawa Tengah, ada yang menggerakkan. "Terkait kejadian yang di Temanggung memang ada aktor intelektual yang menggerakkan. Baik di Temanggung maupun di Cikeusik, kita menduga kejadian tersebut terjadi karena ada pihak yang menggerakkan," katanya yang juga didampingi Menteri Agama Suryadharma Ali itu.

Dugaan ini muncul lantaran para pelaku berasal dari luar. Di Temanggung, para pelaku kerusuhan berasal dari luar Kabupaten Temanggung. Sementara di Cikeusik, pelaku berasal dari luar kecamatan, namun masih dalam satu Kabupaten Pandeglang. "Di Temanggung, pelakunya itu bukan warga Temanggung. Mereka dari Kabupaten lain di dekat Temanggung. Tapi kalau yang di Cikeusik itu di luar kecamatan tapi masih satu kabupaten. "Kita akan menangkap tidak sekadar pelaku tetapi juga aktor intelektual," ujarnya.

Bagaimana sebaiknya penyelesaian kasus Ahmadiyah agar kekerasan tidak terus berulang? Menag mengatakan ada dua penyelesaian pyakni membiarkan Ahmadiyah atau dibubarkan. Tetapi secara pribadi, Menag memberi 4 alternatif yakni Ahmadiyah membuat sekte sendiri di luar Islam, kedua, Ahmadiyah menjadi Islam yang benar, ketiga, Ahmadiyah dibubarkan, dan keempat, Ahmadiyah dibiarkan. "Yang terbaik menurut saya adalah Ahmadiyah kembali menjadi Islam yang benar," tutur Menag.

Sedangkan Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat dan Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan untuk menghentikan kekerasan berbau SARA, pemerintah harus membenahi peraturan dan kebijakan yang diskriminatif. Tentunya persoalan mendasar struktural terkait mengelola perbedaan dan memupuk toleransi menjadi PR (pekerjaan rumah) semua kalangan. Pemerintah diminta menjamin perlindungan semua pihak setiap individu tanpa kecuali.

"Presiden SBY juga harus tegas. Buat apa jadi Presiden, kalau umat dan warga negaranya justru saling curiga dan tidak  harmonis. Tugas presiden adalah menjamin konstitusi dihormati dan dijalankan," ucap Haris. (zal/iy)