Kami Sebenarnya Lelah dan Kecewa

KOMPAS.com — Tiga belas tahun bukan waktu yang pendek untuk sebuah pencarian. Tapi, juga bukan waktu yang panjang untuk sebuah perjuangan atas sebuah keyakinan. Yang pasti, 13 tahun telah melahirkan rasa lelah dan kecewa.

Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) telah tiga belas tahun mencari 13 aktivis yang hilang pada tahun 1998 (baca: 13 Tahun Mencari 13 Orang Hilang). Apakah 13 tahun melunturkan optimisme? Ketua Ikohi Mugiyanto menjawab tegas, tidak pernah sama sekali.

"Pesimis menurut saya tidak, tapi lelah iya. Lelah dan kecewa. Saya rasa perasaan itu sah, ini sudah 13 tahun. Harapan mereka (keluarga korban) bukan suatu yang muluk-muluk. Harapan mereka sangat sederhana yang sangat ingin bisa diwujudkan oleh SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dan siapa pun presidennya. Mereka ingin tahu kejelasan nasib keluarga mereka, apakah masih hidup? Kalau sudah mati, di mana kuburnya? Tapi, jawaban itu tidak pernah ada. Inilah yang menyebabkan perasaan lelah, marah dan kecewa," tutur Mugiyanto, dalam perbincangan dengan Kompas.com dalam sebuah kesempatan.

Tahun ini, genap 13 tahun peristiwa penculikan aktivis tahun 1998 terjadi. Ikohi mencanangkan “G13: Mereka Belum Kembali”. G artinya gerakan. "G13 itu inisitaif kita untuk kembali mengingatkan pemerintah dan masyarakat karena kebetulan ada memomentum 13 korban, 13 Maret, dan 13 tahun. Tiga belas orang belum kembali sampai hari ini," ujar Mugiyanto.

Rangkaian kegiatan “G13” berlangsung dari tanggal 1 Maret sampai 13 Maret. Ikohi menggelar kampanye di dunia maya, peluncuran album "Mereka Belum Kembali" oleh 13 band dan berisi 13 lagu. Selain itu, ada juga ada road show dengan berbagai media.

Tiga belas orang yang dinyatakan hilang adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.

Berbagai gejolak perasaan yang dihadapi Ikohi, lanjut Mugiyanto, tidak menyurutkan harapan para keluarga korban untuk mencari anak maupun suami mereka. Ada yang berusaha menerima keadaan, ada pula yang gigih berjuang pantang mundur.

"Tapi, mereka saya yakin tidak pernah kehilangan harapan. Ada yang mungkin berusaha menerima dan melupakan kekejaman Orde Baru, seperti artis Eva Arnas yang suaminya Deddy Hamdun termasuk 13 yang hilang. Saya tidak tahu persis kenapa Eva tidak terlibat lagi dalam advokasi, tapi menurut saya, dia pasti punya alasan sendiri. Mungkin dia sudah pasrah menerima keadaan ini," katanya menjelaskan.

Ikohi, ujar Mugiyanto, kadang hilang akal. Berbagai cara termasuk acara Kamisan (unjuk rasa keluarga korban pelanggaran HAM dengan berdiri di depan Istana Negara setiap hari Kamis pukul 16.00 hingga 17.00) ternyata tak mampu menggugah hati Presiden Yudhoyono untuk sekadar berbincang mendengar jeritan hati kebanyakan kaum ibu yang memakai baju hitam. Bahkan, Ikohi pernah sengaja melakukan aksi mendirikan tenda di depan istana agar ditangkap polisi yang berjaga di sana.

"Kita sudah melakukan banyak cara dan aksi. Kita sampai membuat kegiatan yang memang kita sengaja lakukan pada 29 September 2010 lalu, yaitu sengaja mendirikan tenda di depan istana dengan tujuan ditangkap oleh polisi. Kenapa? Karena hanya dengan cara demikian SBY memerhatikan kita karena selama ini diacuhkan terus," ungkap Mugi.

Kepastian

Korban dan keluarga korban, tegas Mugiyanto, pertama-tama mengharapkan satu hal: kepastian tentang nasib keluarga mereka. Ikohi juga secara tegas menolak gagasan rekonsiliasi. “Rekonsiliasi no way! Tidak ada perdamaian dengan pelaku. Enak saja selama ini dibiarkan, lalu minta rekonsilasi,” katanya.

Kalaupun ada gagasan rekonsiliasi, Ikohi punya syarat. “Jelaskan dulu di mana anak mereka dan di mana suami mereka. Mereka sudah meninggal atau masih hidup? Itu, kan, pertanyaan dan harapan-harapan yang sudah ratusan kali mereka sampaikan. Harus ada jawaban itu. Kalau tidak ada jawaban, jangan pernah ngomong rekonsiliasi,” tuturnya.

Selanjutnya, rekonsiliasi tidak menghapus tindak pidana. Ikohi ingin rekonsiliasi dibangun dengan kejujuran. “Kebenaran harus diungkap dan dibuktikan di pengadilan. Kami masih sangat yakin bahwa setiap tindak kejahatan harus ada hukumannya. Every single crime must be punished. Kenapa? Kalau tidak, kejadian yang sama akan berulang. Kami masih yakin bahwa hukuman bisa menimbulkan efek jera,” tegas dia.

 

Daftar 13 orang hilang



No
Nama
Keterangan
Waktu Hilang
1
Yani Afri (Rian)

Pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997

Hilang di Jakarta pada 26 April 1997

2
Sonny
Pendukung PDI Megawati

Hilang di Jakarta pada 26 April 1997

3
Deddy Hamdun

Pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang

Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997

4

Noval Alkatiri

Pengusaha, aktivis PPP

Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997

5
Ismail

Sopir Deddy Hamdun

Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997

6
Wiji Thukul
Penyair aktivis JAKER/PRD

Hilang di Jakarta pada 10 Januari 1998

7
Suyat
Aktivis SMID/PRD

di Solo pada 12 Februari 1998

8
Herman Hendrawan
Aktivis SMID/PRD
di Jakarta, 12 Maret 1998
9
Petrus Bima Anugerah
Aktivis SMID/PRD

Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998

10
Ucok Munandar Siahaan

Mahasiswa Perbanas      

Diculik saat kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta

11
Yadin Muhidin

Alumnus Sekolah Pelayaran

Hilang di Jakarta saat kerusuhan 14 Mei 1998

12
Hendra Hambali
Siswa SMU

Hilang saat kerusuhan di Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998

13
Abdun Nasser
Kontraktor

Hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998, Jakarta