Pegiat HAM Diminta Tidak Jadi Alat Politik

JAKARTA (Suara Karya): Isu perubahan sikap Partai Gerindra terhadap pemerintah menyusul perpecahan koalisi di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, memunculkan kekhawatiran dari sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama bagi keluarga korban penculikan tahun 1997-1998.

Namun anggota Komisi III DPR Desmon J Mahessa menegaskan, situasi politik yang terjadi akhir-akhir ini tidak ada hubungannya dengan upaya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penculikan yang sudah direkomendasi DPR agar presiden mencari 13 korban penculikan.

"Rekomendasi tersebut belum dijalankan pemerintah. Dan apa hubungannya dengan Gerindra? Tidak ada kaitannya. Jadi, para pegiat HAM jangan terjebak dengan situasi politik saat ini, jangan pula mau dimanfaatkan untuk kepentingan politik,"ujar politisi Partai Gerindra tersebut saat dihubungi Suara Karya, Minggu (6/3).

Menurut dia, pihaknya tetap mendorong pemerintah agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sesuai tuntutan masyarakat, terutama mengembalikan hak-hak korban serta melakukan rekonsiliasi.

"Kontras juga jangan sampai dijadikan alat politik oleh pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan situasi politik yang terjadi saat ini. Yang menjadi besar kan nama Kontrasnya, dan korban tidak mendapatkan apa-apa, "ujarnya menambahkan. Desmon menyatakan hal itu menanggapi kekhawatiran dan kekecewaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM bahwa Gerindra akan masuk dalam jajaran partai pendukung pemerintah (koalisi).

Sebagaimana diberitakan, sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menyatakan kecewaan yang mendalam atas perkembangan politik yang terjadi akhir-akhir ini. Alih-alih memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM, yang terjadi justru sebaliknya.

"Pemerintah dan elite politik menunjukkan sikap kompromistis. Bahkan akan memberikan ruang politik bagi mereka yang sepatutnya dimintai pertanggungjawaban atas sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu," kata Sumarsih, salah seorang anggota keluarga korban pelanggaran HAM, di Kantor Kontras, Jumat (4/3) lalu.

Menurut Sumarsih, tekanan terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM pernah dilakukan oleh keluarga korban dan korban pelanggaran dengan memberikan masukan kepada sejumlah DPP partai politik. Masukan itu bertujuan agar penuntasan kasus-kasus HAM dapat menjadi agenda serta keputusan politik bagi parpol.

"Agenda ini di antaranya dapat diwujudkan dengan mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan tidak berkoalisi dengan parpol yang dipimpin orang-orang yang mempunyai jejak rekam pelanggaran HAM di masa lalu," ujar dia.

Sayangnya, pemerintah mengabaikan harapan dan masukan tersebut. Pemerintah yang berkuasa dan parpol masih terus memberikan ruang politik bagi pihak yang seharusnya diminta pertanggung jawaban atas kasus pelanggaran HAM. (Sugandi)