Perlindungan dan Jaminan Kebebasan Sipil dalam RUU Intelijen Negara

Perlindungan dan Jaminan Kebebasan Sipil dalam RUU Intelijen Negara

KontraS tetap mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk memasukkan gagasan hak asasi manusia dalam RUU Intelijen Negara pada Program Legislasi Nasional 2011. Mengingat dalam kurun waktu 6 tahun terakhir draf RUU Intelijen Negara banyak mengalami modifikasi format; namun miskin ruang penegakan hak asasi manusia, khususnya pada jaminan perlindungan kebebasan sipil. Tentu saja, modifikasi itu dilakukan dengan tujuan untuk menyelaraskan kerja-kerja intelijen dengan prinsip-prinsip demokratik. Di mana peran, fungsi, koordinasi dan kewenangan institusi-institusi intelijen negara harus ditata ulang. Tunduk pada supremasi sipil. Publik juga masih berharap, intelijen Indonesia mampu menjadi intelijen tangguh dan profesional di masa depan.

Pembahasan RUU ini akan melengkapi dua undang-undang di bawah payung sektor keamanan lainnya, yakni UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Atmosfer akuntabilitas diharapkan bisa terus diarusutamakan dalam agenda reformasi sektor keamanan.

Sejatinya draf RUU Intelijen Negara harus bisa memecah masalah seputar standar dan fungsi intelijen. Batasan normatif apa yang bisa diterapkan dalam kerja intelijen. Bagaimana institusionalisasi pengaturan kerja intelijen diterapkan. Kepada siapa badan intelijen bertanggung jawab. Pihak-pihak mana saja yang memiliki kewenangan untuk mengawasi kegiatan intelijen. Hingga kewajiban negara untuk menyediakan mekanisme koreksi atas praktik intelijen yang menyimpang. Daftar ini mutlak terpenuhi.

Namun dari modifikasi terbaru atas draf RUU Intelijen Negara masih menghadirkan ruang perdebatan klasik yang tak tuntas dibahas. Merujuk 10 bab dan 46 pasal dalam draf RUU Intelijen Negara terbaru, ada beberapa catatan kritis yang bisa ditinjau ulang sebelum DPR RI membentuk Panitia Khusus RUU Intelijen Negara.

Pertama, dalam draf RUU masih menyisipkan pasal multi tafsir dan ayat-ayat pasal yang memungkinkan kewenangan khusus untuk menangkap dan menahan. Dalam RUU dijelaskan salah satu fungsi dari intelijen negara adalah fungsi “pengamanan”yang dijelaskan sebagai “serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk mencegah dan/atau melawan upaya, pekerjaan, kegiaatn intelijen dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan/atau stabilitas nasional”. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “pengamanan” yang dimaksud “meliputi pengamanan dalam arti internal (fungsi organik) dan pengamanan dalam arti kontra intelijen. Fleksibilitas “serangkaian kegiatan dari fungsi pengamanan ini” bila tidak dijelaskan secara ketat akan membuka peluang tumpang tindih dengan kewenangan kepolisian dan berpeluang memunculkan pelanggaran HAM.

Kedua, Dalam Pasal 31 RUU Intelijen Negara, penyadapan disebut dengan istilah intersepsi komunikasi. Dalam Pasal 31 ayat (1) disebutkan, lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatisme, dan ancaman, gangguan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan NKRI. Jika kewenangan tersebut diterapkan, sinyalemen potensi ancaman kebebasan sipil akan menguat. Pemerintah dan DPR-RI harus memikirkan prosedur dan mekanisme baku tentang prasyarat penyadapan tersebut. Tentu saja pemerintah juga menyediakan ruang keluhan kepada warga negara yang merasa hak privasinya terlanggar akibat diberlakukannya model RUU Intelijen Negara semacam ini.
Ketiga, ketiadaan ruang pengawasan berlapis. Dalam draf terbaru RUU mekanisme pengawasan hanya dibebankan kepada DPR. Padahal, model pengawasan demokratik jamaknya melibatkan peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dalam bentuk pengawasan berlapis. Triumvirat ini memiliki fungsi masing-masing. Pertama, lembaga eksekutif akan banyak menjalankan tugas untuk mengawasi mekanisme sistem badan intelijen. Kedua, lembaga legislatif akan bertanggung jawab menyediakan kebijakan dalam bentuk undang-undang, secara transparan dan terakses publik. Termasuk perincian anggaran yang akan digunakan badan-badan intelijen. Dan ketiga, lembaga yudikatif memiliki kewenangan untuk memberikan mekanisme sanksi kepada setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan di luar koridor kerja intelijen, yang sebelumnya telah ditetapkan dalam sebuah regulasi. Ruang-ruang pengawasan eksternal independen juga harus melibatkan unsur yang lebih luas, seperti organisasi-organisasi hak asasi manusia, media massa, dan lembaga-lembaga negara independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan Ombudsman.

Keempat, draf ini belum memunculkan secara literal mekanisme koreksi (corrective measures) atas kelalaian kerja intelijen. Mengingat operasi intelijen berpotensi untuk menimbulkan pelanggaran HAM. Lebih lanjut, dalam kajian HAM, mekanisme koreksi dikenal sebagai pemulihan efektif (effective remedy). Mekanisme ini berguna untuk memberikan kepuasan dan jaminan non-repetisi kasus pelanggaran HAM di masa depan. Mekanisme koreksi harusmeliputi unsur independensi (independency), ketahanan integritas (robustness), dan keadilan (fairness).

Negara pun wajib menyediakan mekanisme keluhan publik. Bahkan dalam beberapa kasus, mekanisme keluhan ini tidak saja berasal dari warga sipil. Aparat intelijen juga bisa mengadukan keluhan jika mekanisme akuntabilitas internal tidak berjalan. Untuk memastikan adanya mekanisme koreksi, negara juga dapat membentuk suatu badan eksternal independen, yang tugasnya memperkuat mekanisme pengawasan sipil demokratik. Tentu saja harus diisi dengan orang-orang yang memiliki kredibilitas tinggi dalam isu kebebasan sipil, demokrasi, dan HAM.

Ke depan, pemerintah dan DPR harus bisa memikirkan langkah-langkah strategis yang bisa ditempuh. Khususnya untuk menutupi banyaknya titik lemah draf RUU Intelijen Negara. Perbaikan draf menjadi satu kemutlakan. Ketergesa-gesaan dalam mengkonsep draf RUU Intelijen Negara hanya akan menimbulkan masalah yang sama berulang kali. Nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, rule of law dan penegakan hak asasi manusia harus menjadi patokan bersama untuk meraih praktik intelijen profesional, yang tunduk pada prinsip-prinsip demokratik. Jika perangkat ini berhasil digagas dalam draf RUU Intelijen Negara, tidak mustahil, masyarakat sipil akan mendukungnya.

Jakarta, 23 Maret 2011
Badan Pekerja

Haris AzharPapang Hidayat
KoordinatorKA. Biro Penelitian