Dukungan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat

Hal       :  Dukungan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat
Lamp    : Posisi Kasus; Hambatan dan Permasalahan

Kepada Yang Terhormat,
Ibu  Megawati Seokarnoputri
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Di –
            Tempat

 

Defisit Politik HAM;  Menghambat Akuntabilitas Penyelesaian Penyelesaian Kasus – Kasus Pelanggaran HAM Berat

Menjadi perhatian dan keprihatinan kami semua, bahwa politik Hak Asasi Manusia (HAM) akhir – akhir ini semakin menunjukan kemunduran (Defisit), khususnya politik HAM untuk dukungan penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu (sebelum di Undangkan Undang – Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Kekisruhan tentang Koalisi Partai Politik ahir – ahir ini semakin menunjukan bahwa koalisi yang dibangun hanya untuk kepentingan stabilitas kekuasaan ketimbang tujuan politik itu sendiri sebagai sarana untuk mensejahterahkan rakyat, penegakan hukum dan keadilan. Dan Kami tidak meyakini koalisi yang dibangun akan menjadikan penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM berat sebagai salah satu agenda koalisi, bahkan lebih jauh kami mengkahwatirkan koalisi yang dibangun akan menghambat akuntabilitas Penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM berat, mengingat adanya upaya – upaya Partai Demokrat untuk menggandeng Partai Gerindra yang notebene Dewan Pembinanya adalah Prabowo Subianto salah seorang orang yang patut dimintai pertanggungjawaban untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998.

Untuk itu, kami mengapresiasi sikap Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) yang tetap mengambil sikap sebagai oposisi. Bagi kami, oposisi mutlak diperlukan untuk mengkontrol dan menjaga keseimbangan proses transisi demokrasi yang sedang kita dibangun. 

Dukungan Politik Penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM Berat; Keadilan Transisi menuju Trasisi Demokrasi

Pilihan sikap sebagai Oposisi yang diambil PDI-P menurut kami akan semakin menemukan “konteksnya” apabila  PDI-P menjadikan agenda penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM berat sebagai salah satu agenda Politik HAM di dalam tubuh Partai.  Sebagaimana diketahui bersama bahwa sampai dengan lebih satu dasawarsa reformasi, kasus – kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus mengalami stagnasi.

Menurut kami, stagnasi ini bukan hanya persoalan prosedural hukum semata, sebagaimana diperderbatkan selama ini antara Komnas HAM, Jaksa Agung dan DPR RI, khususnya berkenaaan dengan dibutuhkannya Pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu sebelum dilakukan penyidikan oleh Jaksa Agung. Persoalan mendasarnya adalah pada ketiadaan kemauan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil langkah – langkah politik untuk mempercepat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat;  Tragedi 1965/ 1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, Peristiwa 13 – 15 Mei 1998, Wasior Wamena dan sejumlah kasus – kasus pelanggaran HAM berat baik di Aceh maupun Papua.

Semua kasus diatas, bukan hanya berkenaan dengan hak sipil politik para  korban, tetapi lebih jauh sebagai kewajiban negara untuk memastikan bahwa proses trasisi demokrasi yang dilakukan memberikan ruang untuk berjalannya akuntabilitas keadilan transisi sebagai pembatas dan pembelajaran antara rejim otoriter dan rejim demokratis. 
 
Untuk itu, dengan konsistensi sikap oposisi PDI-P dan mengacu pada dukungan fraksi PDI-P selama ini di parlemen, kami kembali mendorong komitmen PDI-P untuk agenda penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM berat. Dan kami berharap konsistesi PDI-P tidak akan menjadikan agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sebagai barter kepentingan politik

Rekomendasi

Mendasarkan pada uraian diatas, kami berharap sikap dan langkah politik yang diambil PDI-P, dapat menjadikan masukan dibawah ini sebagai  arah kebijakan Partai yang dapat dikonkritkan dalam setiap proses politik yang berlangsung

Pertama, Menjadikan agenda penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM berat sebagai salah satu agenda Politik HAM di dalam tubuh Partai. Agenda ini dapat diwujudkan dengan menggunakan kapasitas dan otoritas politik PDI-P untuk mendorong, mendesak dan memastikan :

 

  • Presiden untuk segera membentuk Tim Pencarian 13 korban Penculikan yang  masih hilang, dan mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa, sebagaimana rekomendasi DPR RI kepada Presiden pada 29 September 2009; 1) Pembentukan Pengadilan HAM 2) Pencarian 13 korban yang masih dinyatakan hilang 3) Pemberian rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban, 4) Meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa
  • Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan untuk kasus – kasus pelanggaran HAM yang telah diselidiki oleh Komnas HAM sebagaimana diatur dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; kasus Talangsari 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, Peristiwa 13 – 15 Mei 1998, Wasior Wamena
  • Adanya pemulihan hak – hak korban korban Tanjung  Priok 1984, yang pengadilan HAM ad hoc –nya telah membebaskan semua pelaku dan gagal memberikan keadilan dan pemulihan hak – hak  korban.
  • Adanya pemulihan untuk korban akibat Tragedi 1965/1966 dan percepatan upaya pengungkapan kebenaran untuk kasus ini. selain upaya pengungkapan kebenaran yang terus terhambat, masalah dari peristiwa ini juga adalah stigmatisasi baik secara politik, kultural, sosial yang masih terus dihadapi, sejumlah peraturan hukum yang diskriminatif yang masih berlaku bagi korban.

 

Kedua, Menjadikan politik HAM  sebagai dasar dari kebijakan PDI – P sebagai bagian dari menjaga, menjamin dan melindungi warga negara Indonesia dari upaya – upaya dehumanisasi baik oleh pemerintah maupun oleh kelompok masyarakat sipil tertentu

Ketiga, Meningkatkan Konsistesi PDI-P dalam memberikan dukungan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Parlemen,. Dan tidak menjadikan agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat  sebagai alat barter kepentingan politik tertentu dengan pihak – pihak atau otoritas politik lainnya yang menghalangi proses penyelesaian kasus kasus – kasus pelanggaran HAM berat.

Demikian surat masukan ini kami sampaikan, semoga dapat menjadi perhatian dan pertimbangan yang seksama  untuk membangun Indonesia yang demokratis, sejahtera dan berkeadilan

 

Jakarta, 25 Maret 2011

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban untuk Keadilan (JSKK)
Keluarga korban Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1997/1998
Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok 1984 (IKAPRI)
Lembaga Perjuangan Korban Orde Baru (LPR –KROB)
Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998
Forum Komunikasi Keluarga korban Mei 1998 (FKKM)
Paguyuban Keluarga korban Talangsari, Lampung (PK2TL)
Yayasan Penelitian Korban Pembantaian Tragedi 1965/1966
Lembaga Perjuangan Korban Orde Baru (LPR –KROB)
Perwakilan Korban Wasior-Wamena, Papua (2001 dan 2003)

Lampiran: Posisi Kasus, Hambatan dan Masalah (unduh)