RUU Intelijen Ancam Hak Asasi Manusia

Jakarta – RUU Intelijen dinilai mengancam hak asasi manusia dan merusak mekanisme ‘criminal justice system’ oleh Koalisi Advokasi RUU Intelijen, menyusul rencana pemberian kewenangan menangkap kepada intelijen.

"Pemberian kewenangan tersebut sama saja dengan melegalisasi penculikan dalam undang-undang intelijen mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia," kata Direktur Program Imparsial Al Araf, di Jakarta, Senin (28/3).

Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, the Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid, Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua, PSHK, MAPI, dan Media Link merupakan bagian dari Koalisi Advokasi RUU Intelijen.

Menurut Al Araf, badan intelijen negara adalah bagian dari lembaga intelijen non-judicial yang tidak termasuk dalam bagian dari aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa sehingga adalah salah dan tidak dibenarkan pemberian kewenangan menangkap itu.

"Dalam negara hukum, kewenangan menangkap maupun menahan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ini sangat membahayakan perkembangan demokrasi di Indonesia," katanya.

Akibatnya, masyarakat atau aktivis tidak akan bisa bebas mengekspresikan pemikiran atau pendapat mereka, misalnya mengeritisi kinerja pemerintahan.

Al Araf juga mengingatkan, aturan mengenai rahasia intelijen dalam RUU itu juga masih belum jelas, padahal ada ancaman penjara lima tahun jika dinyatakan telah melakukan kelalaian membocorkan rahasia atau informasi intelijen tersebut.

"Ukuran rahasia atau tidak itu belum jelas. Ini bisa jadi pasal karet, yang notabene mengancam kebebasan seseorang atau pers untuk mendapatkan informasi," kata Al Araf.

Mestinya, pembahasan RUU Intelijen ini juga mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik dan yang lainnya sehingga dapat tetap menjamin kebebasan masyarakat dalam mengakses berbagai informasi penting yang dibutuhkan, katanya.

Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) sebagai lembaga baru yang diatur dalam RUU ini akan menjadi lembaga yang menggantikan kedudukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang memiliki kewenangan sangat luas.

Padahal, LKIN seharusnya tidak boleh memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan aliran dana, dan lain-lain. Pelaksanaan fungsi operasional diserahkan kepada lembaga-lembaga intelijen yang sudah terbentuk yang telah memiliki kewenangan operasional.

Mengenai pengaturan mekanisme pengawasan dalam RUU Intelijen Negara ini hanya dilakukan dalam bentuk pengawasan parlemen oleh DPR yang dilaksanakan oleh perangkat kelengkapan DPR yang membidangi pengawasan intelijen.

"Tidak ada ketentuan yang mengatur pengawasan internal, pengawasan eksekutif, maupun pengawasan hukum. Di titik ini, pengawasan yang dilakukan oleh parlemen sebaiknya dilakukan oleh komisi intelijen tersendiri di dalam parlemen, yakni dengan membentuk komisi baru yang khusus mengawasi intelijen," kata Al Araf.

Oleh karena itu, Koalisi Advokasi RUU Intelijen mendesak kepada parlemen dan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam melakukan pembahasan RUU Intelijen Negara dan tetap membuka ruang yang luas bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan pandangan di dalam upaya menyempurnakan RUU Intelijen Negara yang ada.

"Kami pun mengapresiasi secara penuh terhadap anggota parlemen yang menolak rencana pemberian kewenangan menangkap untuk intelijen di dalam Undang-Undang Intelijen. Sudah seharusnya pembentukan Undang-Undang Intelijen dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara untuk tetap menjamin dan melindungi kebebasan masyarakat sipil dan hak asasi manusia di satu sisi dan menjaga serta melindungi keamanan nasional di sisi lain," demikian Al Araf.(ant/waa)