Atur Kerja Intelijen

Bogor, Kompas – Badan Intelijen Negara menilai Rancangan Undang-Undang Intelijen memiliki semangat untuk mengatur kerja aparat intelijen agar lebih terukur dan dapat dinilai secara obyektif. Oleh karena itu, jika sudah disahkan menjadi UU, RUU Intelijen justru akan membuat demokratisasi di Indonesia berjalan lebih baik.

�Sebagai upaya penghargaan terhadap hak asasi manusia dan hukum, dibuatlah undang-undang ini. Lewat undang-undang ini, tindakan intelijen dalam rangka menjaga keamanan nasional dapat dilakukan dengan langkah-langkah terukur,� ujar Kepala BIN Sutanto, Selasa (29/3) di Istana Bogor, Jawa Barat.

Menurut Sutanto, DPR tentu tidak sembarangan dalam membuat undang-undang itu sehingga sanksi kepada aparat intelijen yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran pun disusun sebaik mungkin. Oleh karena itu, kekhawatiran berlebihan terhadap penyadapan yang mungkin dilakukan aparat intelijen tidak perlu sampai berlebihan.

�Penyadapan nantinya tentu diarahkan hanya pada tindakan-tindakan yang bisa menyebabkan gangguan keamanan. Penyadapan bakal diarahkan kepada orang-orang yang akan melakukan kejahatan tersebut. Masyarakat umum tidak perlu khawatir karena kalau penyadapan dilakukan sembarangan, ada sanksi berat yang siap diberikan,� tutur Sutanto.

Berkaitan dengan desakan agar penyadapan yang dilakukan aparat intelijen didahului dengan meminta izin dari hakim, Sutanto hanya menyampaikan bahwa terdapat perbedaan antara kerja polisi dan kerja aparat intelijen. Polisi baru melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap pelaku setelah ada kejadian. Sebaliknya, aparat intelijen justru dituntut harus mampu mencegah jangan sampai peristiwa yang mengganggu keamanan terjadi.

�Ini bedanya antara polisi dan intelijen. Intelijen bertugas mewaspadai kemungkinan ada pihak-pihak yang akan melakukan kejahatan. Jadi, tentu belum diketahui siapa-siapa saja orangnya itu,� ujar Sutanto.

Namun, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin dalam diskusi di Jakarta, Selasa (29/3), mengatakan, ketentuan penangkapan dalam RUU Intelijen Negara dinilai dapat menjadi fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era demokrasi. Penangkapan oleh aparat intelijen tidak sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi acuan dalam penegakan hukum.

�Dalam draf RUU Intelijen, ada hal yang sangat mengganjal secara prinsip,� kata Hasanuddin dalam diskusi yang juga dihadiri Direktur Program Imparsial Al Araf dan Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar.

Dalam usulan substansi baru dari pemerintah pada Pasal 15 dalam draf RUU itu, diatur ketentuan mengenai penangkapan. Usulan Pasal 15 dari pemerintah, lanjut Hasanuddin, mengatur bahwa BIN memiliki kewenangan melakukan pencegahan, penangkalan dini, dan pemeriksaan intensif. Pencegahan, penangkalan dini, dan pemeriksaan intensif dilakukan terhadap orang yang diduga kuat terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, subversif, sabotase, dan kegiatan atau tindakan yang mengancam negara.

Dalam negara hukum dengan KUHAP sebagai acuan, kata Hasanuddin, ada syarat penangkapan. Misalnya, ada bukti permulaan yang cukup, identitas penangkap jelas, ada surat penangkapan, dan jelas dibawa ke mana. Kalau aparat intelijen memiliki kewenangan menangkap, persyaratan penangkapan dalam KUHAP itu diabaikan. �Bayangkan, Anda yang kebetulan baru bertemu seseorang teroris di jalan. Kemudian, Anda ditangkap juga,� katanya.

Haris Azhar mengungkapkan, aparat intelijen tidak perlu mengurus penangkapan atau hal-hal yang bersifat teknis dan pragmatis. Tugas intelijen sebenarnya sangat strategis, yaitu mengumpulkan informasi dan menganalisis informasi untuk kepentingan pengguna, khususnya presiden.

�Kalau intelijen mengurus penangkapan, intelijen menjadi pragmatis dan dapat digunakan untuk kepentingan pragmatis juga,� kata Haris. (ATO/FER)