Menimbang RUU Intelijen Negara

Pemerintah mengusulkan agar Badan Intelijen Negara diberi wewenang menyadap dan menangkap seseorang atau badan hukum. Kewenangan yang dipercaya dapat membuat intelijen bekerja efektif itu disampaikan saat dimulai pembahasan RUU Intelijen Negara yang diajukan DPR kepada Presiden pada 23 Desember 2010.

Usulan ini hendak mencontoh intelijen M15 Inggris yang berwenang melakukan pengintaian langsung, intrusif, dan penyadapan komunikasi. Atau Center for Strategic and International Studies (CSIS) AS yang diberi wewenang memasuki tempat terbuka/tertutup, mengakses, mencari, mengambil, memindahkan, dan mengembalikan rekaman/salinan dokumen atau benda apa pun. Juga mau mencontoh intelijen Australia, Australian Security Intelligence Organisation (ASIO), yang berwenang menyadap komunikasi, menggunakan pelacak dan pendengar, mengakses komputer, memeriksa surat, dan menginterogasi seseorang terkait terorisme.

Dalam diskursus keamanan nasional (baca: keamanan negara), menjadi tidak kontroversial jika wewenang itu diterapkan dalam keadaan darurat, ditujukan kepada pihak musuh asing yang secara nyata (imminent) mengancam kedaulatan dan keselamatan hidup bangsa. Ia menjadi kontroversial dalam diskursus demokrasi konstitusional karena dinilai melanggar kebebasan sipil (HAM) serta mengaburkan batas wewenang kekuasaan intelijen (eksekutif) dan yudikatif.

RUU Intelijen Negara yang kini dibahas DPR merancukan dua diskursus tersebut. RUU merumuskan fungsi intelijen dalam nomenklatur lama, yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan (Pasal 6). Selain itu, naskah 46 pasal ini tidak sistematis dan ada istilah serta substansi yang multitafsir sehingga berpotensi disalahgunakan.

Siapa pihak lawan?

Contohnya, istilah pihak lawan dari dalam atau luar negeri pada Bab I Ketentuan Umum butir 9. Lalu, substansi fungsi pengamanan: â?…untuk mencegah dan/atau melawan upaya, pekerjaan, kegiatan intelijen dan/atau pihak lawan yang merugikan kepentingan dan/atau stabilitas nasionalâ? (Pasal 6 Ayat 2). Sama halnya substansi fungsi penggalangan (Pasal 6 Ayat 3).

Pertanyaannya, siapa yang dimaksud pihak lawan, di dalam dan di luar negeri? Apa yang dimaksud merugikan kepentingan dan/atau stabilitas nasional? Ini membuka interpretasi seperti pada masa lalu ketika kelompokkelompok kritis, seperti serikat buruh, petani, kaum miskin kota, atau aktivis HAM dan prodemokrasi, dituduh sebagai lawan yang mengganggu kepentingan penguasa, pembangunan, dan stabilitas nasional sehingga terjadi pelanggaran HAM masif.

Istilah merugikan atau menguntungkan kepentingan dan/atau stabilitas nasional juga sebaiknya diganti melindungi keamanan nasional yang berarti keselamatan negara (bukan kekuasaan) dan keselamatan bangsa, termasuk setiap manusianya.

Keselamatan manusia juga termasuk manusia personel intelijen. Karena itu, ketentuan Pasal 16 dan 23 tentang perlindungan personel intelijen diperluas dengan mencakup jaminan kerja (kesejahteraan), keselamatan fisik diri dan keluarga, serta hak menolak perintah atasan yang dinilai menabrak hukum.

Intel juga manusia dan punya hak asasi seperti halnya warga biasa. Namun, ada bagian sumpah yang mengganjal, yaitu �saya akan memegang teguh segala rahasia intelijen negara dalam keadaan bagaimanapun juga�.

Intelijen adalah kerja rahasia dan dibenarkan untuk menjaga kerahasiaan informasi intelijen. Namun, ini tak bersifat absolut seperti klausul dalam keadaan bagaimanapun. Dalam keadaan tertentu harus ada pengecualian, misalnya saat terjadi penyalahgunaan wewenang, seperti kasus pembunuhan Munir. Personel yang diperintahkan membunuh harus mendapat kesempatan menolak atau mempertanyakan, termasuk menerangkan di muka hukum.

Batas kerahasiaan

Keterbukaan informasi untuk keadaan semacam ini tak perlu menunggu hingga masa retensi informasi intelijen berakhir (Pasal 25). Batas kerahasiaan dan keterbukaan informasi intelijen dalam UU Keterbukaan Informasi Publik perlu diperjelas oleh RUU Intelijen, setidaknya menegaskan kewajiban BIN untuk menaati keputusan Komisi Informasi Pusat apabila terjadi sengketa informasi.

Masih seputar informasi, Pasal 31 menyatakan, Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta lembaga keuangan bukan bank dan lembaga jasa pengiriman uang wajib memberikan informasi kepada lembaga koordinasi intelijen negara. Ini berpotensi mengooptasi PPATK yang independen dan didirikan oleh UU guna kepentingan penegakan hukum.

Substansi lain adalah bagian kelima Pasal 31 yang berbunyi â?…intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatisme…â?, yaitu menyadap telepon dan faksimile, membuka e-mail, memeriksa surat, memeriksa paket (lihat penjelasan RUU). Bagaimana menjamin perlindungan privasi?

UU No 39/1999 tentang Telekomunikasi menegaskan, penyadapan harus melalui perintah Kepala Polri dan Jaksa Agung. Jika diperluas untuk kepentingan intelijen, harus ada aturan ketat, misalnya perintah tertulis (warrant) yang menjelaskan alasan penyadapan, kapan, dan berapa lama. Jika penyadapan tak menghasilkan informasi yang diharapkan, informasi harus segera dihapus dan hanya bisa dibuka melalui pengadilan.

Selanjutnya, soal penangkapan. Wewenang menangkap untuk pemeriksaan telah dihapus. Namun, ada ketentuan lain yang bermakna penangkapan (sewenang-wenang), yaitu pemeriksaan intensif 7 x 24 jam tanpa penasihat hukum. Argumen yang sering digunakan adalah jika intel sebatas membuat laporan, teroris keburu kabur. Benarkah?

Masalahnya terletak pada kerja sama, misalnya Polri dan BIN. Jika koordinasi berjalan efektif dan tak ada persaingan untuk mendapat informasi di lapangan, tak sulit bagi intelijen untuk segera melapor sehingga penangkapan terjadi sebelum target melarikan diri. Lagi pula, menurut Pasal 26 UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, laporan intelijen sudah bisa digunakan polisi untuk menangkap. Jadi, wewenang ini harus tetap berada dalam sistem pemidanaan oleh badan penegak hukum, bukan intelijen.

Terakhir, pengawasan. Pasal 37 hanya mengatur pengawasan oleh DPR, khususnya panitia kerja yang ad hoc. Pengawasan yang efektif memerlukan pengawasan permanen dan dapat ditempuh dengan membentuk subkomisi intelijen di Komisi I DPR. Anggotanya bisa melibatkan anggota DPD yang disumpah untuk mengawasi administrasi, anggaran, dan operasi intelijen. Lebih ideal lagi ditambah pengawasan berlapis pada ranah internal badan intelijen, eksekutif (presiden atau menteri), dan pengawasan publik.

UU tentang intelijen jelas diperlukan. Masalahnya, apakah dengan substansi RUU yang demikian, reformasi intelijen mencapai harapan?