RUU Intelijen Harus Belajar dari Peran Intelijen di Kasus-kasus Pelanggaran HAM masa lalu

RUU Intelijen Harus Belajar dari Peran Intelijen di Kasus-kasus Pelanggaran HAM masa lalu

KontraS merespon positif rencana pembahasan RUU Intelijen sesuai Prolegnas 2011. Namun demikian hadirnya draf naskah Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara perlu berkaca pada akuntabilitas kasus-kasus planggaran HAM masa lalu. Dalam catatan KontraS ujung pangkal ruwetnya akuntabilitas intelijen kita dapat dimulai dari penelusuran praktik-praktik kebijakan intelijen di masa Orde Baru. Keterlibatan badan intelijen negara pada serangkaian kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah konsekuensi dari pemberian kewenangan nyaris tak terbatas dimasa pemerintahan Orde Baru. Hal ini bisa kita lihat dari munculnya badan-badan ekstra-negara yang dulu dibentuk, seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Badan Koordinasi Bantuan pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan sumirnya batasan kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN) hingga sekarang.

Dalam catatan KontraS, operasi-operasi intelijen yang dilakukan oleh Kopkamtib, Bakorstanas bahkan Unit Satuan Gabungan Intelijen (SGI) muncul dalam berbagai laporan penyelidikan pelanggaran HAM, seperti laporan-laporan Komnas HAM, seperti; Laporan Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T †12 Juni 2000), Laporan Tindak Lanjut Hasil penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok (13 Oktober 2003), Laporan Tim Adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989 (2008), Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia †Timor Leste (2008).

Selain itu, operasi-operasi intelijen lainnya juga muncul dalam kasus-kasus penembakan misterius (Petrus, 1983), kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998, penerapan DOM di Aceh, Konflik Poso, Konflik Ambon dan serangkaian Konflik antara OPM dan TNI Papua. 

Pendekatan politik keamanan masa lalu dalam operasi-operasi intelijen di atas, hadir dalam wujud pelanggaran-pelanggaran HAM dengan varian-variannya sebagai berikut: penangkapan pihak-pihak yang diduga sebagai ekstrem kanan-ekstrem kiri dan ekstrem lain-lain; penculikan; pembunuhan di luar proses hukum; mengetahui, membiarkan dan memerintahkan penguburan (secara diam-diam) para korban (khususnya pada kasus Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989); melakukan tindak intimidasi saksi-saksi peristiwa untuk tidak memberitahukan jumlah korban yang sebenarnya (Talangsari 1989); Penyiksaan (kasus penculikan paksa, Tanjung Priok, Talangsari); menciptakan kecurigaan dan perpecahan di antara masyarakat (Timor Timur 1999); menjadikan kematian anggota keluarga GAM, baik perempuan maupun anak-anak adalah bagian dari prestasi operasi yang wajib dibanggakan (DOM Aceh); kekerasan terhadap perempuan, penangkapan sawenang-wenang disertai penyiksaan dan stigmatisasi terorisme kepada warga (Konflik Poso)

Belajar dari pengalaman masa lalu, badan-badan intelijen kita yang didesain tertutup dan minim akuntabilitas, banyak digunakan sebagai alat untuk melanggengkan politik keamanan nasional Orde Baru. Pola ini nampaknya ingin diulang dalam draf naskah RUU Intelijen Negara 2011. Bahkan, setelah mendapatkan masukan dari pemerintah, draf RUU Intelijen Negara memiliki kecenderungan untuk memperkuat kewenangan badan-badan intelijen negara (termasuk BIN di dalamnya) dan menghadirkan LAKIN yang minim pemenuhan akuntabilitas.

Pengalaman masa lalu juga memperlihatkan, institusi-institusi pengawasan negara independen, seperti Komnas HAM yang memiliki mandat melekat untuk melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM masih memiliki keterbatasan dalam mengakses dokumen-dokumen intelijen yang terkait dengan dugaan pelanggaran HAM sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Meski Komnas HAM menyebutkan nama-nama pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam laporan-laporan penyelidikan Komnas HAM, namun rekomendasi tersebut tidak pernah berujung pada tindakan persekusi dan pemulihan hak-hak korban yang terlanggar HAM-nya. Keterbatasan ini adalah akibat dari ketertutupan institusi TNI (termasuk di dalamnya institusi-institusi militer masa lalu seperti  Kopkamtib dan Bakorstanas), BIN dan ketiadaan dukungan negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh dua institusi tersebut. 

Masuknya usulan pemerintah terkait kewenangan untuk melakukan pencegahan dan penangkalan dini serta pemeriksaan intensif (Pasal 15), adalah usulan yang melampaui kewenangan utama dari badan-badan intelijen negara. idealnya badan-badan intelijen negara dirancang sebagai badan negara yang tidak memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan, sebagaimana yang dimiliki oleh Polri dan Kejaksaan Agung.

Selain itu, eksistensi LAKIN yang diproyeksikan sebagai payung koordinasi antar badan intelijen negara, juga harus mendapat pengawasan yang ketat dan terkontrol. Jangan sampai lembaga koordinasi ini mereproduksi kebijakan-kebijakan sekuritisasi berlebihan, sebagaimana yang dilakukan Kopkamtib dan Bakorstanas dulu.

Untuk itu, KontraS secara khusus mengajukan rekomendasi terkait dibahasnya RUU Intelijen Negara. Rekomendasi ini diharapkan dapat diperhatikan oleh DPR RI (Komisi I) dan Pemerintah (Menkumham dan Menhan) sebagai masukan yang dapat mendorong adanya akuntabilitas badan-badan intelijen negara, khususnya yang tunduk pada supremasi sipil dan hak asasi manusia.

  1. Pembahasan RUU Intelijen negara harus dapat dibawa pada ruang-ruang publik. Khususnya di wilayah-wilayah konflik, di mana operasi intelijen kerap dilakukan. Agar operasi-operasi intelijen yang sebelumnya tidak pernah menghadirkan ruang tranparansi dan akuntabilitas bisa diukur oleh publik;
  2. Dalam RUU Intelijen Negara, perlu dihadirkan mekanisme koreksi sebagai wujud pertanggungjawaban negara, apabila operasi-operasi intelijen menghasilkan suatu pelanggaran HAM, sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Negara berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kebenaran atau investigasi (duty to truth seeking), prosekusi dan penghukuman bagi pelaku yang bersalah (duty to prosecute and punish), dan pemberian ganti rugi kepada korban (duty to provide reparation);
  3. Sebagai wujud akuntabilitas dan pertanggungjawaban masa lalu, negara wajib memberikan kepastian hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan institusi intelijen, dengan melakukan kebijakan pengakuan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu melalui ruang permintaan maaf kenegaraan, membawa para pelakunya pada ruang-ruang pengadilan HAM adhoc, serta memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM masa lalu melalui pemberian ganti rugi;
  4. Negara juga harus bisa membuka ruang mekanisme keluhan dari seseorang yang menjadi diduga menjadi korban;
  5. Negara memiliki kewajiban untuk menginvestigasi atau memverifikasi, keluhan tersebut. Di beberapa tempat mekanisme ini tidak hanya menerima keluhan dari seorang warga biasa, namun juga dari anggota dinas intelijen itu sendiri untuk konteks tertentu (jika mekanisme internal tidak dapat bekerja maksimal);
  6. RUU Intelijen Negara harus membuka ruang pengawasan yang luas, tidak saja hanya dibebankan semata-mata kepada DPR sebagai pengawas utama, namun juga pengawasan ini melibatkan komisi-komisi negara independen lainnya, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, PPATK.         

 

Jakarta, 5 April 2011

 

Haris Azhar, SH,
MA
Koordinator Badan Pekerja
Eksekutif Nasional KontraS