Kegagalan Sistematis dalam Mengungkap Kebenaran

Jakarta, Kompas – Sejak rezim Orde Baru tumbang pada Mei 1998, ditemukan kegagalan sistematis dalam upaya negara mencapai kebenaran, terutama untuk kejahatan yang paling serius. Retorika reformasi dinilai tidak sesuai dengan kenyataan. Keadilan transisi pun dinilai keluar jalur.

”Hal yang paling mencolok adalah tidak ada tindakan yang diambil pejabat tinggi pemerintah, terkait pola kegagalan yang terus muncul dalam upaya mengungkap kebenaran dan meraih pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kasus-kasus kekerasan terjadi, tetapi pelakunya hanya mendapat hukuman ringan,” kata Direktur International Center for Transitional Justice (ICTJ) Galuh Wandita saat diskusi publik dan peluncuran laporan ”Keluar Jalur, Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya Soeharto” di Jakarta, Kamis (7/4).

Laporan tersebut disusun oleh ICTJ bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Sejak Soeharto berkuasa, ratusan ribu orang Indonesia menderita karena rangkaian pelanggaran HAM, termasuk perubahan konstitusi, reformasi di sektor hukum dan keamanan, serta pembentukan lembaga baru untuk mengungkap kebenaran tentang pelanggaran masa lalu. Namun, upaya-upaya tersebut gagal dalam memberikan rasa keadilan bagi korban, terutama masih berlakunya impunitas dalam kejahatan HAM. Oleh karena itu, penting bagi ICTJ dan Kontras untuk tetap berupaya mendorong tercapainya keadilan. Jika kekejaman pada masa lalu itu tidak ditangani, pola pelanggaran serupa dapat terulang.

Laporan itu juga menggarisbawahi tingkat pembebasan yang mencapai 100 persen terhadap orang yang didakwa melakukan pelanggaran di pengadilan HAM. ”Dari total 34 orang tertuduh dari berbagai kasus yang dibawa ke pengadilan, hanya 18 orang yang dinyatakan bersalah. Pada akhirnya semua terdakwa dibebaskan dalam tahap banding,” kata Koordinator Nasional Kontras Haris Azhar.

Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae menanggapi bahwa yang sedang dan akan terjadi adalah suatu pengedaluwarsaan isu-isu HAM sebagai isu-isu politik, dalam arti bahwa ia tidak bersifat absolut, tetapi relatif. ”Yang dibawa ke pengadilan ternyata dibebaskan. Semua aman, semua bersih. Solusi instan ternyata lebih penting daripada solusi jangka panjang. HAM,” kata Dhakidae. (LOK)