Perspektif Yuridis Kasus Batalyon 744

PERSPEKTIF YURIDIS KASUS BATALYON 744

Prolog

Beberapa pekan terakhir, perhatian publik NTT tertuju pada kasus Batalyon 744. Betapa tidak, satuan TNI yang bermarkas di Tobir, Kabupaten Belu ini diduga telah melakukan pelanggaran HAM yang berakibat adanya korban mati, korban luka, korban terintimidasi dari kalangan sipil.  Sejumlah diskursuspun dibangun oleh berbagai kalangan baik lewat forum-forum diskusi, perayaan, termasuk diskusi media.

Secara garis besar, berbagai diskursus yang dikembangkan dapat dipetakan berdasarkan fokus kajiannya, yakni: (1) dari sudut kasus, dengan menjadikan kematian salah satu korban Charles Mali sebagai sentral, (2) dari sudut kebijakan ketatanegaraan, dengan menggugat militerisme di Timor Barat dan Indonesia pada umumnya yang berujung pada adanya pelanggaran HAM, serta (3) dari sudut kehadiran militer dalam peta perebutan sumberdaya alam secara global. Ke dalam kancah diskursus ini, KontraS Nusa Tenggara terpanggil untuk mengajak publik NTT mengarahkan perhatian kasus Batalyon 744 dalam perspektif yuridis secara lebih utuh.     

 Posisi Kasus

Jika mengacu kepada dokumen yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tanggal 21 Maret 2011 yang ditujukan kepada Panglima TNI, maka paling tidak secara yuridis Kasus Batalyon 744 dapat didudukan posisinya, sebagai berikut:

  • Kasus Dengan Anggota TNI (Mr X) Sebagai Korban

Dalam kasus ini, menurut informasi versi TNI diduga bahwa pada tanggal 5 Maret 2011 ada Anggota TNI (Mr X) bersama isteri yang sedang melintas dengan kendaraan roda dua, dimintai uang oleh sejumlah pemuda mabuk. Selain itu, isteri Mr X, mengalami tindak percabulan. Korban kemudian melapor ke kesatuannya, Batalyon 744.

Setelah korban melapor ke kesatuannya, semestinya komandan atau pimpinan satuan menindaklanjuti laporan tersebut ke pihak yang berwajib, yakni Sub Denpom Atambua. Oleh karena secara yurisdiksi, Polisi Militer yang memiliki kompetensi untuk melakukan penyelidikian/penyidikan kasus tersebut. Dalam hal ini, Polisi Militer yang berkompetensi untuk melakukan pengejaran, penangkapan, dan penahanan terhadap para pelaku yang diduga melakukan tindak pidana pemerasan dan percabulan. Apabila ternyata dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi Militer, dan ada unsur tindak pidana dengan minimal 2 (dua) alat bukti permulaan yang kuat, maka kasus tersebut dapat ditindaklanjuti ke penyidikan. Oleh karena status para pelakunya adalah orang sipil, maka Sub Denpom Atambua wajib melimpahkan perkara tersebut ke pihak Kepolisian Resor Belu.

Sayangnya, sampai saat ini dugaan kasus pemerasan vide Pasal 368 ayat (1) KUHP dan kasus percabulan vide Pasal 289 KUHP belum pernah ditangani secara hukum. Padahal, kedua kasus inilah yang menjadi penyebab dari rentetan kasus berikutnya. Atas dasar asas kesamaan di depan hukum (equality before the law), sudah sewajarnyalah kasus dugaan pemerasan dan percabulan tersebut harus ditangani. Oleh karena Mr X dan isteri juga adalah WNI yang di depan hukum mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan WNI lainnya.   Namun selama kasus ini belum ditangani secara hukum maka dapat dikatakan bahwa kasus ini hanya merupakan rekaan TNI semata dan merupakan kriminalisasi terhadap korban masyarakat sipil.

. Kasus dengan sejumlah masyarakat sipil sebagai korban

Pada saat Anggota TNI (Mr X) melapor ke kesatuan, maka pada hari itu juga (5 Maret 2011), ada sejumlah Anggota TNI yang melakukan pengejaran terhadap para pelaku yang diduga melakukan pemerasan dan percabulan.  Pengejaran ini tidak berhasil. Pada tanggal 8 Maret 2011 sejumlah Anggota TNI melakukan pengerebekan lanjutan. 2 (dua) orang Anggota TNI mendatangani rumah 2 (dua) pelaku (Charles Mali dan Hery Mali). Karena tidak menemukan yang dicari, mereka menangkap orangtua kedua pelaku, yakni Raimundus Mali dan Modesta Dau. Kedua orangtua ini bersama orangtua 7 (tujuh) pelaku yang lain kemudian di bawa ke Markas Batalyon 744, dan dikenakan wajib lapor dari jam 08.00 Wita hingga jam 17.00 Wita.

Pada tanggal 7 Maret 2011, aksi pengejaran dan penggerebekan oleh TNI diketahui oleh Pemda Kabupaten Belu cq. Kesbanglinmas. Kesbanglinmas kemudian melakukan koordinasi dengan pihak TNI. Akan tetapi aksi TNI tetap berlanjut.

Wajib lapor para orangtua berlangsung selama 7 (tujuh) hari hingga tanggal 13 Maret 2011. Pada tanggal ini, para pelaku diserahkan oleh keluarga ke Markas Batalyon 744.  6 (enam) orang yang diserahkan keluarga, yakni: (1) Charles Mali, korban mati, dan (2) Hery Mali, (3) Oktovianus Mau, (4) Alfonso Lopez, (5) Cosme Tilman, (6) Tomi Nubatonis masing-masing korban penganiayaan.  Setelah para pelaku diserahkan ke Markas Batalyon 744, mereka ditempatkan ke dalam Capela (Gereja) dan mengalami tindak kekerasan yang menyebabkan Charles Mali meninggal dunia.

Dari rentetan kejadian perkara tersebut, maka sesungguhnya terdapat sejumlah kasus, yakni: (1) Pengerahan pasukan, untuk melakukan pengejaran, dan penggerebekan, (2) penangkapan secara melawan hukum, (3) Perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, (5) pembunuhan berencana, (6) penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban, (7) penodaan agama, dan (8) pembiaran terjadinya tindak pidana.

Pada KASUS PENGERAHAN PASUKAN, untuk melakukan pengejaran, penggerebekan, dan penangkapan secara melawan hukum, jelas merupakan suatu tindakan yang ada unsur komandonya. Adalah tindak mungkin selama 7 (tujuh) hari, tindakan ini berlangsung hanya sebatas tindakan oknum secara pribadi.  Belum lagi pada hari ketiga (7 Maret 2011) ada koordinasi dari Pemda Belu. Kasus ini merupakan kasus pelanggaran yurisdiksi oleh Batalyon 744, karena tidak mempunyai kompetensi penegakan hukum. Seharusnya, tindakan tersebut dilakukan oleh Polisi Militer.

Untuk KASUS PERAMPASAN KEMERDEKAAN SECARA MELAWAN HUKUM, merujuk pada Pasal 333 KUHP dengan ancaman maksimal 12 (dua belas) tahun. Korban dalam kasus ini adalah para orangtua yang dikenakan wajib lapor selama 7 (tujuh) hari dan keenam korban tindak kekerasan. Pasal 333 KUHP berkaitan dengan proses penahanan secara melawan hukum, termasuk dilakukan oleh pihak yang tidak berkompetensi untuk itu.

Untuk KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA, merujuk pada Pasal 340 KUHP dengan acaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama duapuluh tahun. Unsur perencanaan sangat kuat terdapat dalam kasus ini, karena Batalyon 744 sebagai satu kesatuan telah tahu apa yang harus dilakukan apabila para pelaku dugaan pemerasan dan percabulan ditemukan. Paling tidak 7 (tujuh) hari pengerahan pasukan, penggerebekan, penangkapan, dan penahanan secara melawan hukum dan adanya koordinasi Pemda Belu cq. Kesbanglinmas, pasti melibatkan unsur komando. Artinya, ada perintah jelas tentang apa yang harus dilakukan pada sasaran. Apalagi kalau ternyata, alat-alat tindak kekerasan telah dipersiapkan sebelumnya di tempat kejadian perkara (TKP, Capela).

Untuk KASUS PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA KORBAN, merujuk pada Pasal 351 dengan ancaman maksimal penjara 7 (tujuh) tahun, jika korban mati. Kasus penganiayaan ini, dari rentetan kejadian sesungguhnya merupakan pasal paling subsidair yang dapat dikenakan pada Batalyon 744. Oleh karena, dengan Pasal 351 KUHP, maka pertanggungjawaban pidana lebih diarahkan pada pelaku dan tidak untuk institusi.

Untuk KASUS PENODAAN AGAMA, merujuk pada Pasal 156a KUHP dengan ancaman maksimal lima tahun penjara. Unsur penodaan agama, terutama Agama Khatolik sangat jelas terjadi ketika tindak kekerasan terjadi dalam Kapela yang menyebabkan salah satu korban (Charles Mali) meninggal dunia. Kapela bagi Agama Khatolik adalah sarana peribadahan, dan tidak dapat digunakan sebagai tempat penahanan dan tindak kekerasan. Apalagi, kejadiannya para korban diperintahkan untuk berdo’a di depan altar kemudian mengalami tindak kekerasan. Belum lagi, dari pengakuan salah satu korban, bahwa ketika korban Charles Mali terjatuh, ada Anggota TNI yang mengeluarkan kalimat yang kurang lebihnya berbunyi, “Kamu minta kamu punya Tuhan Yesus tolong.”  Dari ungkapan seperti ini, jelas bahwa penempatan para korban ke dalam Kapela, penyiapan alat-alat tindak kekerasan dalam Kapela dan tindak kekerasan dalam Kapela yang didahului dengan do’a di depan altar oleh para korban merupakan rangkain tindakan penodaan terhadap Agama Khatolik.

Untuk KASUS PEMBIARAN TERJADINYA TINDAK PINDANA, merujuk pada Pasal 165 KUHP dengan ancaman maksimal sembilan bulan penjara. Pasal ini selayaknya dapat dikenakan kepada pejabat Kesbanglinmas Kabupaten Belu. Oleh karena, semestinya mereka paham tentang duduknya perkara dari kasus yang terjadi. Paling tidak, pejabat Kesbanglinmas Kabupaten Belu dapat melakukan koordinasi lebih jauh untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan oleh Batalyon 744.

Mencermati lebih jauh kasus Batalyon 744, dari keterangan keluarga korban mati (Charles Mali), bahwa permintaan keluarga agar korban diautopsi ternyata tidak ditindaklanjuti oleh pihak Polisi Militer. Terhadap jazad korban hanya dilakukan pemeriksaan luar saja.  Sementara, dari pemberitaan media massa, para tersangka (oknum TNI) dikenakan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya korban. Padahal Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah, yakni: (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, dan (5) keterangan terdakwa. Untuk alat bukti keterangan saksi, minimal dapat digunakan keterangan saksi korban yang lain, karena mereka ikut mengalami secara langsung tindak kekerasan yang dialami oleh korban Charles Mali. Begitupula alat bukti keterangan terdakwa, dapat diperoleh dari para pelaku. Persoalannya, Pasal 351 ayat (3) mensyaratkan adanya pembuktian bahwa matinya korban benar-benar diakibatkan oleh tindak kekerasan dari para pelaku. Satu-satunya cara untuk membuktikannya adalah dengan autopsi. Pemeriksaan luar, tidak bisa menerangkan sebab-sebab kematian korban. Artinya, unsur pokok dari Pasal 351 ayat (3) KUHP tidak ada alat pembuktiannya.  Alat bukti yang ada, hanya berkaitan dengan adanya tindak kekerasan terhadap korban Charles Mali. Sementara untuk kematian korban, dapat saja oleh penyebab lain.    

Epilog
Berdasarkan analisa dan perspektif yuridis ini maka penegasan dan tuntutan kami adalah sebagai berikut:

  1. Penanganan Kasus Batalyon 744 harus dilihat secara utuh dari hulu hingga hilir; Penanganan kasus jangan hanya terfokus pada terbunuhnya korban Charles Mali, tapi juga keseluruhan kasus; pada kasus Pertama anggota TNI (Mr X) dan Para orangtua, dan 5 (lima) pemuda yang ikut ditahan dan mengalami tindak kekerasan juga adalah korban yang wajib dilindungi secara hukum.
  2. Dari rentetan kejadian tersebut diatas, Sesungguhnya terdapat delapan kasus yang harus diproses Hukum, yakni: (1) Pengerahan pasukan, untuk melakukan pengejaran, dan penggerebekan, (2) penangkapan secara melawan hukum, (3) Perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, (5) pembunuhan berencana, (6) penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban, (7) penodaan agama, dan (8) pembiaran terjadinya tindak pidana.
  3. Pengenaan hanya Pasal 351 ayat (3) KUHP jo. Pasal 55 KUHP kepada 23 tersangka Pelaku, semoga bukan bagian PENGHINDARAN dari TANGGUNGJAWAB  hukum dari Batalyon TNI 744.
  4. TNI AD (melalui  Dandrem 161 Wirasakti) berjanji untuk melakukan penegakan hukum yang transparan dan adil, karena itu harus benar-benar dapat dibuktikan; Pemerintah, masyarakat sipil dan media harus melakukan pengawalan sebaik-baiknya dan memastikan hal ini terpenuhi tanpa kecuali.

Kupang, 9 April 2011

Marthen SaluWinston Neil Rondo
Badan Pekerja KontraS Nusa TenggaraBadan Pengurus KontraS Nusa Tenggara