Bahas RUU Intelijen di Daerah

Bahas RUU Intelijen di Daerah

KontraS Sulawesi mendukung rencana diadakannya UU Intelijen sebagaimana yang menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Sudah saatnya Indonesia memiliki aturan perundang-undangan dibidang Intelijen. Pengaturan ini seharusnya menjadi penyempurnaan atas dua hal; pertama, penyempurnaan atas lembaga intelijen yang sejauh ini tidak memiliki aturan setingkat UU. Dengan aturan setingkat UU seharusnya mengatur sejumlah hal seperti tata kelola pengorganisasian dan pengawasan dari kerja Intelijen. Kedua, pengaturan Intelijen menjadi bagian dari agenda reformasi sector keamanan (TNI, Polri, Keamanan Nasional, dll). Oleh karenanya reformasi intelijen harusnya menjadi bagian dari gambaran komprehensif dari system keamanan nasional.

Namun sayangnya, Kami mencatat sampai sejuah ini pembahasan dan substasi dari rancangan yang ada masih membuka banyak ruang perdebatan dan pencantuman sejumlah prinsip yang tidak mencerminkan penguatan nilai demokrasi dan HAM. Misalnya dalam soal “pengamanan”, “penyadapan” dan “pengawasan”. Usulan dari pemerintah meminta UU ini kedepannya mencantumkan adanya wewenang intelijen untuk melakukan “pengamanan”. Secara historis, Indonesia memiliki banyak catatan dimana intelijen banyak diberdayakan dalam kerja-kerja “pengamanan” yang berujung pada meluasnya pelanggaran HAM. Kerja-kerja ini dilakukan lewat Bakorstranas/Bakorstarada atau Satuan Gabungan Inteljen (SGI) diwilayah Konflik, seperti di Aceh, Poso, Timor dan Papua. Di Poso sendiri dalam catatab KontraS Sulawesi, kerja-kerja inteljen (SGI) bahkan bisa lebih jauh sampai memobilisasi kelompok-kelompok sipil peserta konflik. Tindakan pengamanan jelas bukan merupakan kerja intelijen melainkan kerja aparat penegak hukum, yiatu Polri.

Pemerintah juga memasukan permintaan penyadapan terhadap, diantaranya, komunikasi individual. Peran ini menjadi rancu mengingat integritas dan profesionalitas intelijen saat ini yang tidak terkontrol. Penyadapan memang bisa dilakukan sebagaimana terdapat dalam UU lain, seperti UU anti Korupsi. Namun demikian tindakan ini harus dilakukan lewat ijin pengadilan (sebagai ruang kontrol) dan artinya menjadi bagian dari sebuah proses hukum. Penyadapan tidak boleh dilakukan tanpa adanya bukti pelanggaran hukum (sebagaimana diatur dalam KUHAP).

Yang penting dicantumkan sejelas mungkin adalah pengawasan dan jaminan tunduk pada hukum jika ada kerugian dan korban akibat dari operasi intelijen, baik yang dilakukan secara resmi maupun operasi intelijen yang menggunakan wewenangnya secara berlebihan. Pengawasan harus dilakukan lewat institusional (lembaga intelijen), pengawasan politik (DPR), pengawasan hukum (komnas HAM, KPK, Pengadilan, PPATK) hingga pengawasan masyarakat sipil (LSM dan Media).

KontraS Sulawesi menegaskan bahwa RUU intelijen harus memerhatikan prinsip-prinsip HAM agar kesalahan dimasa lalu yang banyak mengorbankan masyarakat sipil tidak terulang. Kami juga meminta agar proses pembahasan RUU Intelijen tidak menempatkan “kepentingan Jakarta” semata apalagi untuk kepentingan rezim penguasa (Pemerintah dan DPR). Pembahasannya harus memerhatikan penderitaan, pengalaman dan aspirasi daerah terutama mereka yang banyak dirugikan dari ketidak profesionalan intelijen dimasa lalu, seperti di Poso.

Makassar, 10 April 2011

Haris Azhar, Koordinator Eksekutif Nasional KontraS
Andi Suaib, Koordinator Badan Pekerja KontraS Sulawesi