Kemunduran Peradilan dalam Pengungkapan Penyiksaan

Kemunduran Peradilan dalam Pengungkapan Penyiksaan

Pada tanggal 16 Maret 2011 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyampaikan putusan Mahkamah Agung Nomor 1010K/Pdt/2009 terkait dengan gugatan beberapa organisasi Hak Asasi Manusia atas beberapa peristiwa penyiksaan yang selama ini terjadi di Indonesia. Mahkamh Agung menolak permohonan kasasi dari Para pemohon dikarenakan alasan-alasan permohonan tidak dapat dibenarkan. Mahkamah Agung memandang bahwa pemohon kasasi tidak memenuhi syarat mengajukan gugatan (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 dan 3 Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok sebagai dasar atau pedoman untuk memeriksa gugatan yang menggunakan legal standing.

Putusan tersebut memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 215/PDT.G/2008/PN.JKT.PST. Atas putusan ini kami memandang telah terjadi kemunduran terhadap peradilan yang mengabaikan kebiasaan-kebiasaan yang hidup di lingkungan peradilan dan yang kedua adalah telah mengabaikan kewajiban untuk memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan bagi korban penyiksaan.

Pengabaian terhadap kebiasaan-kebiasaan yang hidup di lingkungan peradilan terlihat dari ketiadaaan memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap orang, organisasi dan atau badan hukum untuk melakukan upaya hukum sebagaimana telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan. Secara konsisten, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung telah mengecilkan dan menyempitkan pemaknaan hak gugat organisasi yang secara terang-terangan pada perkara-perkara sebelumnya mengenai hak gugat organisasi  Hak Asasi Manusia seperti para penggugat yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan (KontraS), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) telah diterima dan diakui oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lemahnya perspektif hakim terhadap pemahaman gugatan dengan mekanisme legal standing ini memberikan dampak buruk terhadap kondisi hukum sekarang ini.    

Putusan ini juga telah menurunkan tingkat kepercayaan korban penyiksaan terhadap institusi peradilan sebagai gerbang terakhir untuk dilakukan penegakan hukum. Mekanisme gugatan dengan legal standing/hak gugat organisasi adalah salah satu terobosan guna melindungi kepentingan korban yang selama ini diliputi perasaan takut dalam memperjuangkan hak-haknya bebas dari penyiksaan. Pengadilan seharusnya mampu membaca hal ini dan memberikan ruang sebesar-besarnya kepada korban untuk memaparkan apa yang dialaminya dan menyatakan bahwa itu merupakan pelanggaran yang selanjutnya bagi pelaku dan penanggung jawab institusinya harus bertanggung jawab terhadap peristiwa-peristiwa penyiksaan yang terjadi selama ini. Bagi korban, niat ini adalah untuk mendorong reformasi institusi sehingga korban-korban yang masuk kedalam gugatan adalah korban penyiksaan terakhir.

Terhadap proses ini, Jaringan anti penyiksaan Indonesia bersama korban menekankan tiada lelah-lelahnya untuk terus memperjuangan agar Indonesia bebas dari penyiksaan. Upaya-upaya diluar pengadilan akan terus dilakukan baik dengan melakukan pembelajaran terhadap masyarakat luas arti pentingnya menolak penyiksaan maupun terhadap institusi-institusi Negara guna mendorong untuk terus melakukan perbaikan dalam melakukan penegakan hukum.  Terhadap institusi peradilan, kami mendorong agar lebih terbuka lagi terhadap kondisi dan keadaaan hukum sekarang guna menegakkan hukum dan keadilan. Demikian pernyataan press ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 13 April 2011
Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia