BAHAYA DAN ANCAMAN PELANGGARAN HAM SERTA KEBEBASAN SIPIL DALAM PENERAPAN RANCANGAN UNDANG – UNDANG INTELIJEN NEGARA
Dalam perjalanan reformasi di Indonesia yang membawa beberapa perubahan, sector yang nyaris luput dari penataan ulang adalah Intelijen Negara. Padahal berubahnya system politik Negara dari pendekatan militeristik dan otoritarian menuju Demokrasi dan penghormatan HAM sepantasnya juga merubah paradikma, peran, fungsi, dan structural Intelijen Negara. Secara umum ada tiga alasan yang mendasari mengapa RUU untuk Intelijen Negara tersebut sangat penting dalam menjamin kepastian hukum dan penerapanya di Indonesia ;
Pertama; ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan Intelijen Negara yang professional dalam deteksi dini dan mengatasi berkembangnya ancaman terhadap keamanan nasional yang semakin konflek,
Kedua; adanya tuntutan dari proses Negara Demokrasi untuk menciptakan dinas Intelijen Negara yang professional, transparan, dan akuntabel,
Ketiga; keinginan untuk membentuk kedinasan Intelijen yang transparan dan akuntabel, mengharuskan adanya pengaturan yang tegas terhadap kewenangan spesifik Intelijen Negara,
Tuntutan ini mengharuskan adanya perubahan watak dinas Intelijen Negara yang selama ini tertutup, represif dan melayani rezim, kewatak yang lebih terbuka dan dapat melayani kepentingan keseluruhan warga Negara, sehingga hak dan kebebasan masyarakat sipil tidak tercederai oleh mekanisme yang mengatasnamakan keamanan Nasional, regulasi RUU Intelijen Negara ini harusnya mengatur secara tegas hakekat dan tujuan Intelijen Negara, ruanglingkup Intelijen Negara, tugas, fungsi, serta wewenang Intelijen Negara, mekanisme pengawasan, rekrutmen, organisasi dan prinsip – prinsip pengaturan kedinasan Intelijen Negara.
RUU Intelijen Negara ini kelak diharapkan mampu menciptakan keseimbangan, antara keamanan nasional disatu sisi dan jaminan Demokrasi serta perlindungan hak – hak sipil politik (HAM) disisi yang lainya ; disatu pihak dinas Intelijen masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi munculnya ancaman bagi keamanan nasional, sementara dipihak lain kerangka kerja yang Demokratis, Humanis tetap harus menjadi dasar pijakan bagi pengaturan tugas, fungsi, organisasi serta kegiatan dinas Intelijen.
Garis keseimbangan ini secara eksplesit mengisaratkan agar dalam melaksanakan kegiatannya, Intelijen tidak melakukan fungsi dan tindakan yuridiksi Gakum (penegakkan hukum), apalagi dapat melakukan tindakan – tindakan yang dapat menghilangkan nyawa warganya. Fungsi Intelijen harus ditempatkan sebagai lembaga yang memiliki fungsi dan kemampuan untuk memberikan deteksi dini terhadap ancaman nasional, tidak lebih dari itu, dan fungsi penegakkan hukum harus diserahkan kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan.
Intelijen Negara adalah lembaga Negara yang berfungsi sebagai dinas rahasia, fungsi dan tugas utamanya adalah melakukan pengumpulan, pengolahan dan analisis terhadap data dan informasi yang terkait dengan munculnya ancaman terhadap keamanan nasional, untuk selanjutnya menjadi bahan yang direkomendasikan kepada Negara, maka dengan fungsi tersebut Intelijen adalah salah satu lembaga non yudisial (bukan penegak hukum) dan demi tegaknya HAM, Intelijen tidak bisa secara serta merta menjadi lembaga judicial yang dapat melakukan penangkapan, penahanan serta mengeksekusi warga Negara yang dicurigai mengancam keamanan nasional.
Akan tetapi harapan untuk membentuk INTELIJEN NEGARA PROFESIONAL sebagaimana yang disebutkan diatas, sepertinya jauh panggang dari pada api, bahkah akan mengalami kemunduran dan membuka celah kembalinya cara – cara militeristik seperti yang diterapkan pada masa pemerintahan orde baru, dan dapat membungkam kebebasan sipil, ancaman bagi pers, dan ancaman bagi proses demokrasi kedepan mengapa demikian?
Pada tahun ini 2011 pemerintah rezim SBY-Budiono bersama parlemen akan segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Intelijen Negara. Memilukan sekali melihat isi daru RUU tersebut, sepatutnya RUU ini dapat membangun ekspektasi reformasi Intelijen Negara baru bagi masyarakat Indonesia. Khususnya, jaminan hak asasi manusia (HAM) dan penegakan hukum yang notabene sebelumnya kerap terlanggar operasi intelijen.
Secara the facto bangsa kita belum mampu melupakan sejarah kelam rezim Orde Baru, di mana eksistensi intelijen ekstra kuat dan dominan dikuasai oleh Militer. Bukan rahasia umum, aparat Intelijen menangkap tanpa surat, memeriksa tanpa batas waktu, bahkan orang "hilang" tanpa kabar. Bukti yang sulit dielak, raibnya puluhan aktivis prodemokrasi menjelang runtuhnya rezim Soeharto. Mereka bukan ditangkap Polri atau TNI secara resmi. Namun, mereka tak ada yang kembali ke rumah sampai saat ini. Siapa yang melakukan? Kendati tak ada bukti dan saksi yang sahih, pastinya bukan orang awam atau organisasi kemasyarakatan yang melakukan kegiatan – kegiatan tersebut.
Dalam RUU Intelijen Negara ini harusnya mendasari beberapa prinsip-prinsip dasar HAM yang berhubungan langsung dengan kerja-kerja operasi Intelijen Negara di antaranya:
Pada pasal 17 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi “ Tidak boleh seorangpun secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah kehormatan dan nama baiknya”. Dalam hal hak privacy mengacu pada putusan Pengadilan HAM Eropa pada kasus Inggris diputuskan bahwa untuk aktifitas intelijen harus memiliki kerangka aturan pelaksanaan yang jelas, dan harus memenuhi syarat-syarat yang ketat seperti legalitas, proporsionalitas, professional, subsidiaritas (teknis-teknis yang intrusive harus menjadi upaya yang terakhir), akuntabilitas (autorisasi sebelumnya rekam proses dan pemantauan) serta finalitas (informasi yang diperoleh harus digunakan untuk tujuan yang sebelumnya ditetapkan untuk mendapatkan informasi itu).
Maka bersama dengan ini KontraS Sumut dan IKOHI Sumut yang juga tergabung dalam KOMJEN (Koalisi Masyarakat Sipil Sumut Mengawal RUU Intelijen Negara) merekomendasikan dan menuntut kepada pemerintah dan DPR RI-Daerah:
Kami sangat mengapresiasi sikap anggota parlemen DPR RI yang menolak rencana pemberian kewenangan menangkap untuk intelijen di dalam RUU Intelijen. Sudah seharusnya pembentukan Undang-Undang Intelijen dapat menjamin sinkronisasi antara kebutuhan negara dalam menjaga keamanan nasional dan jaminan HAM serta perlindungan kebebasan masyarakat sipil dalam bernegara dan berdemokrasi.
Demikian pernyataan sikap kami, dalam siaran pers ini atas segala perhatian dan kerjasama semua pihak kami ucapkan terimakasih.
Medan, 16 Mei 2011
Ttd
Muhrizal Syahputra SUWARDI
Koordinator KontraS Sumut Ketua IKOHI SUMUT