Mewaspadai Arus Balik Reformasi

Bulan ini, reformasi telah berusia 13 tahun. Apakah perjalanan reformasi sejauh ini telah sesuai dengan nilai yang di cita â?? citakan ?

Setiap tahun di bulan Mei, beragam kalangan dan komunitas memperingati perjalanan reformasi dengan berbagai cara.

Mulai dari demonstrasi, memorialisasi, pemutaran film, hingga mendatangi institusi negara yang dianggap bertanggungjawab terhadap kelanjutan reformasi. Tujuannya satu; mengingatkan bangsa ini bahwa hutang reformasi belum lunas.

Defisit Reformasi

Tak dapat dimungkiri, reformasi telah mengantarkan bangsa Indonesia kedalam perubahan yang cukup besar. Hal yang paling mencolok adalah munculnya peraturan perundangan yang lebih ramah dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Perangkat kenegaraan kita menjadi lebih baik pasca pemerintah meratifikasi beragam kovenan dan konvensi hukum HAM internasional, kondisi ini membawa implikasi positif pada penguatan hukum nasional.

Lebih dari itu, beragam lembaga independen negara telah dibentuk untuk memperkuat fungsi kontrol penyelenggaraan negara. Sebutlah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Ombudsman dan beragam komisi lain.

Namun, dibalik keberhasilan formal ini, harapan subtantif tak kunjung terwujud yakni hadirnya keadilan dan kesejahteraan. Dari keenam pilar reformasi yang disampaikan terdahulu, setidaknya ada 3 pilar yang dapat kita gunakan untuk melihat situasi saat ini.

Pertama terkait dengan pengadilan Soeharto dan kroni â?? kroninya. Gagasan ini boleh dikatakan nyaris tidak mungkin diwujudkan lagi. Selain Soeharto telah meninggal dunia, peradilan di Indonesia terbukti tidak kredibel melakukan hal itu ketika Alm Soeharto masih hidup.

Hingga yang bersangkutan meninggal 27 Januari 2008, berbagai upaya untuk mendorong proses hukum tak pernah berhasil.

Sebaliknya, tamparan yang sangat keras justru dihadirkan oleh pemerintah, yakni ketika pada 2010 pemerintah lewat Kementrian Sosial memasukan nama (alm) Soeharto sebagai satu diantara 10 kandidat yang akan diberikan gelar pahlawan nasional.

Meski akhirnya nama Soeharto dianulir karena memicu protes dari para korban dan kalangan aktivis HAM, ide ini tidak mustahil di tahun â?? tahun mendatang akan terus dimunculkan.

Selanjutnya, pilar kedua terkait dengan ABRI (TNI). Salah satu sukses besar dalam mereformasi TNI adalah TNI tidak lagi berpolitik. Situasi ini ditandai dengan dihapusnya fraksi TNI dari parlemen. Selain itu, pemerintah berhasil melahirkan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI sebagai penopang utama pembangunan tentara profesional.

Namun, akhir â?? akhir ini institusi TNI justru mendapat banyak sorotan. Situasi ini tidak lepas dari dugaan kuat keterlibatan TNI dalam beberapa peristiwa. Diantaranya; kasus Kebumen, operasi sajadah di Jawa Barat, intervensi kongres PSSI di Pekan Baru, kasus TNI di perusahaan SMS finance, keterlibatan petinggi TNI sebagai komisaris PT Sarwahita, pengusiran warga Rumpin Bogor, pengosongan paksa dan tindakan kekerasan terhadap penguni rumah negara dan keluarga pahlawan nasional. Pembunuhan dan penyiksaan Charles Mali di Atambua NTT dan penyiksaan di Puncak Jaya Papua, semakin menggenapi coreng moreng wajah TNI.

Coreng moreng tersebut muncul setidaknya karena belum adanya kesungguhan pemerintah untuk menjawab dan melanjutkan beberapa pekerjaan rumah reformasi TNI yang belum selesai. Diantaranya menyangkut hubungan TNI dengan lembaga HAM, standar dalam promosi jabatan, reformasi peradilan militer serta penerbitan dan aktualisasi peraturan pendukung dan turunan dari UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dan sengkarut penertiban bisnis militer.

Pilar ketiga, terkait dengan penegakan supremasi hukum yang tentu tak bisa lepas dari beragam kasus yang terjadi sepanjang Orde Baru memerintah dan seputar lahirnya reformasi 1998.

Mulai dari kasus 1965 â?? 1966, kasus penembakan misterius 1981 â?? 1983, kasus Tanjung Priok 1984, kasus Talangsari Lampung 1989 dan kasus penembakan mahasiswa Trisakti, semanggi I dan II serta tragedi kemanusiaan 13 â?? 15 Mei 1998.

Tak satu pun dari kasus â?? kasus tersebut berujung pada kejelasan. Sepanjang 13 tahun reformasi, pemerintah tak kunjung menunjukan keseriusan, yang terjadi justru sebaliknya; hak korban atas keadilan ditelantarkan, tak ada penghukuman pada pelaku, HAM tak kunjung jadi kebijakan politik.

Kerja Keras
Melihat indikator diatas, sepertinya kondisi yang kita takutkan selama ini, yakni arus balik reformasi dapat menjadi kenyataan, hanyalah persoalan waktu. Arus balik tentu lebih deras dibandingkan arus sebaliknya.

Cita â?? cita dan harapan serta impian reformasi 1998 bisa porak â?? poranda dalam sekejap. Fondasi kebebasan sipil politik sudah mulai terkikis oleh isu sektarianisme dan primordialisme. Sementara itu, kesejahteraan ekonomi masih tidak merata, jurang antara si kaya dan si miskin masih sangat dalam.

Tanda â?? tanda tersebut kian tampak ketika generasi muda, khususnya yang duduk dibangku universitas, mulai dihinggapi penyakit lupa. Pemuda dan mahasiswa saat ini sulit menemukan format gerakan sebagai manifestasi kontrol sosial dari kekuasaan.

Antar universitas tidak lagi menemukan kesepahaman ide gerakan, antar kelompok gerakan mulai menaruh kecurigaan dan kelompok mayoritas yang rata â?? rata apolitis mulai terlihat tidak peduli pada persoalan kebangsaan.

Para pelaku pelanggar HAM mulai mulus melenggang ke senayan. Mereka leluasa mendirikan partai bahkan tidak segan â?? segan bicara kebangsaan dan HAM seolah â?? olah dia menjadi manusia yang terlahir kembali.

Mantan aktivis mahasiswa dan LSM tidak sedikit yang mulai bergandengan dengan para pelanggar HAM dalam satu bingkai kepentingan. DPR semakin tak tertarik pada isu HAM dan tak jarang justru memproduksi kebijakan yang memicu kontroversi dan kemarahan publik.

Sebelum situasi ini terus berlanjut menggerogoti cita â?? cita reformasi dan akhirnya menghempaskan kita keluar dari ring demokrasi dan HAM, maka tidak ada jalan lain bahwa kita harus bangkit dan menjadikan pilar â?? pilar reformasi tetap sebagai arus utama perubahan.

Pemuda, mahasiswa, buruh, petani, mantan aktivis yang masih menjaga idealisme cita â?? cita reformasi harus bisa membendung arus balik reformasi.