Kontras:Pembahasan RUU Intelijen Terkesan Tertutup

BANDAR LAMPUNG, TRIBUN – DPR RI harus konsultasi dengan masyarakat yang menjadi korban kekerasan intelijen pada masa lalu. Hal tersebut sebagai bahan dalam menyusun rancangan undang-undang (RUU) intelijen yang sedang dibahas DPR RI.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengungkapkan, pada masa lalu, intelejen memiliki dua karakter. Yaitu, Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas) dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) untuk di daerah konflik.

"Di Aceh, banyak orang diamankan dan tidak kembali sampai saat ini. Di Lampung pun ada peristiwa Talangsari. Masyarakat dibawa tentara tanpa surat penangkapan," ujar Haris saat menjadi pembicara diskusi Menyoal RUU Intelijen: Belajar dari Masa Lalu di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Sabtu (11/6).

Setelah RUU disusun dan menjadi UU intelijen, maka seharusnya kegiatan intelijen yang terjadi pada masa lalu tidak terjadi lagi.

"Intelijen punya praktik buruk pada masa lalu. Keberadaan UU intelijen seharusnya bertujuan untuk mengamankan Indonesia. Bukan malah memastikan intelijen memiliki tangan besi," papar Haris.

Penerbitan UU intelijen telah menjadi program legislasi nasional (prolegnas) DPR RI 2011. Haris mengatakan, DPR RI menargetkan pengesahan RUU intelijen pada Juli 2011.

"Informasi yang saya dapat, pembahasan sudah masuk panja (panitia kerja). Kalau sudah masuk panja, pembahasan sudah mengecil. Hanya membahas kata-kata. Tidak lagi isi," ucap Haris.

Namun, dia mengaku pembahasan RUU intelijen terkesan tertutup dari publik. Publik tidak banyak dilibatkan dalam pembahasannya. Padahal, Undang-Undang (UU) nomor 10 tahun 2004 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan pembuatan UU harus melalui pengujian kepada publik.

Haris menduga, hal tersebut untuk menghindari pertentangan dari masyarakat. Pasalnya, banyak isi dari draf RUU yang dibahas memberikan kewenangan berlebih kepada intelijen.

"Saya ambil satu contoh pada pasal enam RUU tersebut yang memberikan kewenangan intelijen melakukan penangkapan dengan bahasa mengamankan. Padahal, KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) menyebutkan hanya polisi yang bisa melakukan penangkapan," jelas Haris.

Fungsi penangkapan yang terurai dalam RUU tersebut, tambah Haris, dinilai tidak tepat. Penangkapan yang dilakukan intelijen akan menghalangi pelaksanaan hak asasi manusia (HAM).

"Walaupun ditangkap, KUHP memberikan hak bagi keluarga maupun penasihat hukum untuk menjenguk. Kalau yang menangkap intelijen, keluarga maupun penasehat hukum mau menjenguk ke mana, kantornya di mana. Masa nanti mereka akan ketemu intelijen yang melakukan penangkapan. Ketahuan dong intelijennya," urai Haris.

Tugas intelijen, sambung dia, adalah mengumpulkan, mengolah, dan memberikan informasi kepada pengguna, yaitu presiden. UU intelijen seharusnya tidak menyimpang dan memberikan kewenangan berlebih kepada intelijen.

"Dengan pembahasan yang tidak maksimal dan partisipatif, ujung-ujungnya intelijen yang menikmati kewenangan berlebih. Karena, mereka bekerja tanpa aturan. Hal ini bisa memunculkan kekecewaan yang meluas pada masyarakat. Kalau hal ini bertentangan dengan HAM, UU ini bisa dibawa ke MK (Mahkamah Konstitusi) dan dibatalkan MK. Akhirnya, pembahasan menjadi sia-sia dan menghabiskan anggaran," jelas Haris.(ridwan)