KontraS: Evaluasi Segera Kinerja Densus 88

Cyber Sabili-Jakarta. KontraS menyesalkan aksi brutal yang kembali dilakukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri pada peristiwa Sukoharjo 14 Mei 2011. Pada peristiwa itu, setidaknya satu warga sipil (Nur Iman, pedagang angkringan) dan 2 terduga teroris (Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto) ditemukan tewas setelah terjadi kontak senjata.

Tewasnya satu orang warga sipil merupakan kecerobohan elementer yang tidak bisa ditolerir. Kecerobohan ini merupakan ujung dari ketidakprofesionalan Densus 88 untuk dapat mengindentifikasi pihak-pihak mana saja yang kemungkinan besar berada di tempat kejadian peristiwa (TKP).

KontraS meragukan profesionalitas Densus 88 dalam melakukan assessment situasi dan kondisi lapangan, ketika warga sipil akhirnya menjadi korban dalam operasi anti-terorisme di Sukoharjo. Dalam catatan KontraS, pendekatan senjata api banyak digunakan aparat Densus 88 sepanjang 2 tahun terakhir (2010-2011).

Setidaknya dari 6 operasi anti-terorisme Densus 88 di tahun 2010, 24 orang tewas tertembak oleh Densus 88, 9 orang luka tembak, 420 orang ditangkap dan diproses hukum, 19 orang merupakan korban penangkapan sewenang-wenang dan akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam aksi teror yang disangkakan.

Hingga memasuki medio Mei 2011 dari 4 operasi Densus 88, 4 orang dinyatakan tewas, 35 orang ditangkap, 5 orang lainnya merupakan korban penangkapan sewenang-wenang dan kemudian dibebaskan. KontraS mencatat, umumnya korban meninggal dalam operasi penindakan terorisme oleh Densus 88 tertembak dibagian yang mematikan: kepala, dada dan jantung.

Data ini akan semakin membesar jumlahnya jika kita membuka praktik-praktik penyimpangan yang dilakukan Densus 88 pasca Bom Bali.

Kewenangan untuk menggunakan senjata api memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian â?? dan dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum (yustisia), tak terkecuali aparat Densus 88.

Namun kewenangan tersebut hanya boleh dilakukan ketika polisi (termasuk aparat Densus 88) berada dalam kondisi genting dan terdesak sebagaimana yang disyaratkan dalam aturan kepala kepolisian danstandard operasional prosedure (SOP). Kemendesakan ini harus menjadi tolak ukur setiap aparat Densus 88. Jangan sampai kewenangan khusus yang melekat pada institusi anti-teror ini digunakan secara semena-mena.

KontraS juga menyayangkan adanya upaya paksa yang kerap dilakukan aparat Densus 88 untuk menangkap tersangka teroris di tengah kerumunan publik. Polisi dalam hal ini harus memiliki standarisasi dalam melumpuhkan tersangka teroris: Apakah dengan cara menangkap atau dengan praktik melumpuhkan yang dapat menghilangkan nyawa seseorang? Standarisasi ini penting untuk mengukur apakah sebuah operasi anti-terorisme dapat dilakukan di tengah pemukiman warga. Termasuk dengan menghitung risiko keamanan warga sipil.

Densus 88 dalam agenda Perang Melawan Teror (War on Terror) memiliki peran khusus dalam memutus jaringan terorisme di Indonesia. Bahkan institusi ini dapat berkoordinasi dengan banyak badan keamanan di tingkat regional dan internasional untuk memutus simpul-simpul jaringan teroris dunia. Namun sebagai sebuah institusi yang berada di bawah naungan Mabes Polri, Densus 88 bukanlah lembaga yustisiasuperbody.

Densus 88 harus terbuka dengan praktik-praktik pengawasan evaluasi dan independen sehingga dapat menjamin prinsip akuntabilitas institusi Kepolisian RI. Praktik pengawasan ini mutlak diperlukan untuk mengontrol kebijakan-kebijakan prosedur internal Densus 88, apakah bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan standar operasi prosedur dalam tubuh kepolisian, bahkan secara spesifik di dalam Densus 88 itu sendiri.

Perang melawan terorisme dalam agenda global bertujuan untuk menciptakan rasa aman kepada seluruh manusia. Bukan menciptakan teror-teror baru dan atau memberikan pembenaran atas nama politik keamanan dunia. Setiap pembenaran tidak dapat ditoleransi. Publik Indonesia membutuhkan lembaga penegak hukum yang profesional, tunduk pada otoritas sipil, patuh pada prinsip-prinsip penegakan HAM dan mampu memberikan rasa aman kepada setiap warga Indonesia.

KontraS juga menghimbau kepada pemerintah dan seluruh jajaran yang terkait di dalamnya untuk segera melakukan evaluasi program deradikalisasi. Evaluasi ini penting untuk dilakukan karena dalam tataran konsep dan implementasinya tidak melibatkan multi stakeholder. Saatnya perang melawan terorisme tidak mengedepankan pendekatan kekerasan atau tindakan lain yang melanggar HAM dan mengedepankan jaminan kebebasan sipil.