Setetes Embun Keadilan buat Aan

Di tengah gersangnya dunia peradilan, keme- nangan Aan Susandhi di tingkat kasasi bagaikan setetes embun yang me- nyiram dahaga. Setelah berjuang sejak Desember 2009, Aan divonis tak bersalah oleh Mahkamah Agung, 31 Mei lalu. Ter- bukti, kasusnya rekayasa oknum polisi dan jaringan mafia hukum.

Buat saya, ternyata Tuhan berkuasa lebih dari apa pun. Waktu di tahanan, saya merasa bertemu Tuhan. Alhamdulillah saya kuat walau sering down juga,� cerita Aan Susandhi (31), seorang pegawai biasa. Tadinya ia bekerja di bagian keuangan PT Maritim Timur Jaya (MTJ). Ayahnya sudah meninggal. Sudah lama Aan dan adiknya saling menopang ekonomi keluarganya dan membantu ekonomi keluarga mertuanya. Dari awal, Aan dan pengacara dari Kontras, Edwin Partogi, merasa upaya mereka bisa dikatakan mustahil karena berhadapan dengan institusi hukum dan perusahaan besar.

Perjalanan tidak mudah. Tidak hanya Aan yang didekati berbagai pihak. Para wartawan yang memberitakan pun ikut mendapat ancaman. Keputusan MA oleh hakim Sri Murwahyuni, M Zaharuddin, dan Mansyur Kartayasa menjadi akhir yang melegakan. �Masih ada hakim-hakim yang tidak tunduk kepada mafia yang merekayasa kasus Aan. Keputusan ini juga hasil nyata pembenahan di institusi hukum,� kata Edwin.

Kasus itu bermula ketika ada konflik internal di kantornya. Aan diminta bersaksi untuk menjerat salah satu anggota direksi, David Tjioe. Tanggal 14 Desember 2009, Aan diperiksa polisi di bekas kantornya di lantai 8 Gedung Artha Graha. Ia diminta berbohong dalam membuat berita acara pemeriksaan bahwa David memiliki senjata api ilegal, tetapi Aan menolak.

Akibatnya, di depan polisi ia dipukuli petinggi PT MTJ, Viktor B Laiskodat. Aan juga ditelanjangi dan dibentak-bentak. Puncaknya, tiba-tiba seorang polisi mengaku menemukan bubuk ekstasi 0,1467 gram di dompet Aan. Aan lalu dijemput polisi dari Polda Metro Jaya. Saat urinenya dites, hasilnya negatif. Namun, Aan tetap ditahan.

Polisi menjebak dengan narkoba, boleh dibilang sudah menjadi modus jahat yang diketahui masyarakat luas. Hal itu diakui mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Oegroseno yang sempat memeriksa kasus Aan. Oegroseno menyatakan memang ditemui indikasi pelanggaran dan rekayasa. Namun, ketika Oegroseno diganti Irjen Budi Gunawan, hasil pemeriksaan langsung berubah total, tak ditemui pelanggaran apa pun. Kasus penganiayaan yang dilaporkan Aan pun dihentikan (surat perintah penghentian penyidikan/SP3).

Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terungkap fakta beberapa oknum Polri mendapatkan uang dari PT MTJ. Rekayasa kasus juga terbukti karena surat berita acara penggeledahan badan/pakaian berbeda waktu dan petugasnya antara surat dan kenyataan. Di Pengadilan Tinggi Jakarta, Aan dinyatakan bersalah dengan vonis empat tahun penjara dan denda Rp 800 juta.

Namun, MA membebaskan Aan dari semua tuduhan. Walaupun demikian, masih ada beberapa catatan, seperti kasus Viktor dalam kasus penganiayaan Aan yang macet, Komisaris Besar Johnny Siahaan pun bebas padahal telah dinyatakan bersalah oleh Majelis Sidang Etika Profesi. Belakangan, keputusan itu dianulir Kepala Polda Maluku. Sementara dua anak buah Johnny dihukum. (SF/EDN)