Matikan Korupsi, Bukan Koruptor!

Matikan korupsi, bukan Koruptor !

Selasa (19/7) kemarin, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyatakan hukuman mati bagi koruptor tetap akan dicantumkan dalam Draft RUU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ini adalah langkah mundur yang ditempuh pemerintah mengingat Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (Non-derogable rights). Selain itu langkah ini juga kontra produktif untuk membawa balik para koruptor di luar negeri dan mengembalikan aset korupsi kepada negara. Saat ini mayoritas negara dunia telah menerapkan abolisi terhadap hukuman mati dan khusus untuk pidana korupsi hanya sedikit sekali negara yang menerapkannya.Selain itu, ada beberapa alasan mengapa hukuman mati tidak tepat untuk menghukum koruptor.

Pertama, korupsi merupakan tindak pidana yang bisa di-reedukasi. Hukuman terbaik adalah dengan mengembalikan aset yang dikorupsi dan hukuman tambahan atas kejahatan itu. Jika koruptor ini diibaratkan sebagai anggota badan yang sakit, maka penyakit itu harus disembuhkan, bukan anggota badan yang dihilangkan. Yang harus dibenahi adalah pencegahan dan perbaikan sistem, diantaranya dengan pengetatan pelaporan harta kekayaan dan pembuktian terbalik serta penegakan hukum. Penguatan mekanisme pencegahan dan pengambilalihan aset korupsi merupakan faktor determinan ‘perang’ terhadap korupsi.

Kedua, satu-satunya negara selain Indonesia yang menggunakan hukuman mati untuk menghukum tindak pidana korupsi adalah China. Berdasar data yang dirilis oleh

Transparency International (Oktober 2010), hukuman mati yang diterapkan oleh China tidak berpengaruh signifikan terhadap peringkat indeks persepsi korupsi negara tersebut. Malahan, peringkatnya cenderung menurun setiap tahunnya. Ini memeperlihatkan bahwa hukuman mati tidak menimbulkan “efek jera” yang diniatkan oleh ancaman hukuman tersebut. Secara berurutan, China menempati urutan yang ke-72 pada 2008, ke-79 di tahun 2009 dan ke-78 pada 2010. Bandingkan dengan peringkatnya di tahun 2001 (57), 2002 (59) dan 2003 (ke 66). Indonesia sendiri berada di peringkat ke-111 pada 2010 dan ke 110 pada 2009, menurun jauh dari tahun 2001 (ke-88) dan 2002 (ke-96).

Ketiga, data terakhir Hands off Cain (Juni 2010) menyebutkan sebanyak 148 negara sudah melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Rinciannya, 97 negara menghapus hukuman mati untuk seluruh kejahatan, 8 negara menghapus hukuman mati untuk perkara kejahatan biasa, dan yang melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) sebanyak 43 Negara.

Sedangkan negara yang masih menerapkan hukuman mati berjumlah 49 negara. Dengan rincian, 43 negara yang menerapkan praktek hukuman mati dan 6 negara yang mencoba moratorium tapi masih menerapkan hukuman mati dalam 10 tahun terakhir. Dewasa ini, berbagai Negara yang beradab juga memperlihatkan kecenderungan yang semakin besar untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan dan perundang-undangan mereka.Keempat, sebagai Negara Pihak dari Kovenan Hak Sipil-Politik (ICCPR) Indonesia seharusnya mengurangi dan membatasi penerapan hukuman mati hanya bagi kejahatan yang paling serius. Dalam konteks ini Komite HAM (badan dari ICCPR) menjelaskan bahwa hukuman mati seharusnya tidak bisa digunakan untuk kejahatan ekonomi seperti tindak pidana korupsi.

Banyaknya negara yang sudah mengabolisi di atas akan membuat hukuman mati yang ada di draf RUU Tipikor tidak berarti, bahkan mempersulit Indonesia. Sebab, salah satu pasal di

United Nations Convention against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi â€yang juga telah diratifikasi pemerintah Indonesia- mengatur tentang pengembalian aset antar negara dan hukuman mati. Indonesia tidak bisa memaksa negara lain untuk mengektradisi koruptor dan meminta aset yang dibawanya jika mereka menolak dengan alasan hukum di Indonesia masih menerapkan hukuman mati.

Oleh karena itu kami menuntut, agar Menkumham Patrialis Akbar mencabut kembali pencantuman hukuman mati di draf RUU Tipikor. Selain tidak menghormati hak untuk hidup yang dijamin konstitusi juga tidak tepat karena terbukti tidak menimbulkan efek jera serta berpotensi menghambat proses penarikan koruptor beserta aset dari luar negeri. Kegagalan penanganan korupsi di Indonesia bukan karena efek jera yang lemah akan tetapi karena politisasi penanganan dan buruknya pelayan dan birokrasi sistem hukum di Indonesia. Harusnya hal ini yang menjadi perhatian sdr. Patrialis Akbar.

Jakarta, 20 Juli 2011

Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar
Koordinator